Harianjogja.com, JAKARTA—Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan atau BI-Rate sebesar 25 basis point (bps) menjadi berada pada level 5,5 persen. Hal tersebut diumumkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta pada Rabu (21/5/2025).
Suku bunga deposit facility turun sebesar 25 bps menjadi berada pada level 4,75 persen. Begitu pula suku bunga lending facility yang diputuskan untuk turun sebesar 25 bps menjadi pada level 6,25 persen.
Selain keputusan tersebut, Bank Indonesia (BI) juga menyampaikan bahwa ketidakpastian perekonomian global sedikit mereda dengan adanya kesepakatan sementara antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok untuk menurunkan tarif impor selama 90 hari.
“Perkembangan ini mengakibatkan lebih baiknya prospek ekonomi dunia bila dibandingkan dengan proyeksi April 2025, yaitu dari sebelumnya 2,9 persen menjadi 3 persen,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Mei 2025 di Jakarta, Rabu.
Lebih lanjut, Perry menyampaikan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok diperkirakan lebih baik dari proyeksi April 2025 yang kemudian berdampak positif pada berbagai negara lain, termasuk Eropa, Jepang dan India.
Penurunan tarif diperkirakan juga menurunkan proyeksi inflasi Amerika Serikat sehingga mendorong tetap kuatnya ekspektasi penurunan Fed Funds Rate (FFR).
Sementara itu, yield US Treasury lebih tinggi dari perkiraan sejalan dengan meningkatnya risiko kesinambungan fiskal Amerika Serikat yang memerlukan penerbitan utang pemerintah yang lebih tinggi.
BACA JUGA: Volatilitas Rupiah Terjaga, BI-Rate Diproyeksi Turun di RDG Mei
Di pasar keuangan global, pergeseran aliran modal dari Amerika Serikat ke negara dan aset yang dianggap aman, safe haven asset and countries masih berlanjut dan mulai diikuti dengan peningkatan aliran modal ke emerging market.
Akibatnya, indeks mata uang dolar Amerika Serikat terhadap negara maju (DXY) terus melemah dan juga diikuti pelemahan terhadap mata uang negara berkembang di Asia (ADXY).
Namun demikian, ke depan perkembangan negosiasi tarif impor antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan negara-negara lain masih dinamis sehingga ketidakpastian perekonomian global tetap tinggi.
“Kondisi ini memerlukan kewaspadaan serta penguatan respon dan koordinasi kebijakan untuk menjaga ketahanan eksternal, mengendalikan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri,” kata Perry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara