Bila Kau Terobsesi pada Rumah Tua dan Orang Gila yang Menghuninya

16 hours ago 2

Iklan -Klikpositif Program Februari Hayati

“Kau memang memimpikannya. Jangan berpura-pura bodoh tidak mengingatnya; suara tembakan, desing peluru, orang-orang tertawa dan menangis, derap langkah kaki yang berlari ketakutan, anjing-anjing yang menggonggong. Tentu saja kau juga memimpikan wajah lelaki itu. Kepala bertanduk rusa. Mata cekung yang tajam. Tulang pipi yang menonjol.”

Judul novel ini sangat menggoda, “Tersesat Setelah Dilahirkan Kembali”. Tersesat adalah sebuah kondisi yang menakutkan, kehilangan arah sehingga melenceng dari tujuan, berhadapan dengan marabahaya, dan bisa saja tidak kembali dalam keadaan selamat. Namun ganjilnya, tersesat juga mempunyai daya pukau begitu kuat, menarik-narik jiwa madar untuk menentang arus, mengabaikan tegah, dan terjebak di dalam kesalahan berulang—sengaja tersesat! Terlahir kembali juga merupakan frasa yang seksi; begitu banyak persona yang ingin terlahir kembali, sebut saja terlahir kembali setelah tersesat dalam kesalahan yang tak terampuni, misalnya.

Bagaimana saya tak akan tertarik membuka halaman demi halaman buku ini? Blurb di sampul belakang buku tak kalah merayu: Di hamparan tanah matrilineal pedalaman Sumatra, seorang lelaki asing dituntut mengikuti tradisi maskulin berburu babi. Tradisi itu kemudian menuntun si lelaki kepada obsesi dan kegilaan; melemparkannya kepada situasi asing dan baru; menjumpai mitos yang dikultuskan masyarakat setempat; dan menguak peristiwa pembantaian di masa silam. Di antara gegar budaya dan kegagalan beradaptasi, si lelaki juga berupaya menjawab dilema dari makna cinta yang sesungguhnya. Tak cuma blurb yang keren, foto profil dan bionarasi singkat sang pengarang juga sangat paten: Yoga Zen adalah penulis yang lahir di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Naskah novel pertamanya, Tersesat Setelah Terlahir Kembali, memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2023.

Ada tiga hal yang menurut saya pesona kunci dari novel bersampul biru pudar dengan ilustrasi samar wajah manusia tirus kerempeng menyerupai tengkorak ini: rumah jengki yang eksotik, anjing pemburu babi, dan gejala skizofrenia pada tokoh (-tokoh) cerita. Ketiga hal ini saling berpilin, berjalin, berpulun-pulun hingga menjadi tragedi bathtub berdarah di bab sembilan.

Rumah Jengki adalah gaya arsitektur modernis yang berkembang di Indonesia pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an, menggantikan dominasi desain kolonial Belanda. Dipengaruhi oleh arsitektur Amerika pascaperang, gaya ini mencerminkan semangat kebebasan rakyat Indonesia. Ciri khasnya meliputi bentuk asimetris, sudut tajam, atap unik, serta fasad dan jendela dengan desain tidak konvensional. Rumah Jengki menolak bentuk geometris khas arsitektur kolonial dan menjadi simbol perubahan serta kebangkitan identitas nasional dalam desain bangunan.

Di dalam novel ini—lelaki asing si tokoh cerita yang saking teralienasinya tidak diberi nama oleh pengarang—melihat sebuah rumah mewah berasitektur jengki di kampung halaman istrinya (Kota K) ketika berjalan-jalan membawa anjing peliharaan. Tak hanya rumah jengki itu yang menyedot perhatiannya, seorang lelaki lain—parlente namun dikatakan orang tidak waras—yang menghuni rumah itu seorang diri membuat si lelaki asing terobsesi. Rumah jengki itu sangat mencolok, berdiri megah di dekat pohon beringin yang ‘ditunggui’ makhluk astral Inyiak Rampai. Kehadiran lelaki gila pensiunan tentara bernama Leman yang tinggal di sana menjadi paket lengkap yang membuat si lelaki asing tidak menuruti larangan istrinya. Galibnya anak kecil yang semakin dilarang semakin penasaran.

Berburu babi di Minangkabau merupakan tradisi turun-temurun yang bertujuan untuk memberantas hama babi yang merusak lahan pertanian. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh laki-laki dewasa dan menjadi bagian dari identitas mereka. Dalam pepatah Minang disebutkan, “baburu babi suntiang niniak mamak, pamenan dek nan mudo dalam nagari”, yang menunjukkan bahwa berburu babi adalah kebanggaan bagi pemuka adat dan hiburan bagi para pemuda. Selain menjadi ajang kompetisi keterampilan dan keunggulan anjing pemburu, tradisi ini mencerminkan dinamika masyarakat Minangkabau, di mana individu bersaing untuk memperoleh pengakuan, status, dan kedudukan dalam adat. Lebih dari sekadar perburuan, kegiatan ini juga dianggap sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keseimbangan alam dan perannya dalam kehidupan.

Cerita dalam novel ini tak lepas dari ritual berburu babi, lengkap dengan anjing peburu yang mendapat perhatian dan kasih sayang induk semang melebihi keluarga sendiri. “Kau harus punya anjing, Sayang!” (hal. 6) kata istri si lelaki asing narsis bergaya flamboyan sebelum mereka menikah seolah anjing adalah prasyarat untuk dapat diterima sebagai bagian koloni. Hal ini dipenuhinya dengan memelihara seekor anjing yang dinamai Taro serta anjing pemberian sang mertua benama Poli. Kedua anjing ini kelak memicu konflik yang membuat si lelaki menunjukkan gejala skizofrenia mengalahkan veteran tidak waras di rumah jengki.

Menurut situs holodoc.com, skizofrenia adalah penyakit gangguan kejiwaan kronis yang terjadi ketika pengidapnya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap. Umumnya, pengidap gangguan kesehatan mental ini menunjukkan gejala psikosis, yaitu kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikiran pada diri sendiri. Salah satunya skizofrenia paranoid yang didominasi gejala delusi dan halusinasi. Perilakunya sering tampak waspada, curiga, dan mungkin bersikap defensif atau agresif.

Berlapis-lapis realitas bersiliweran di kepala si lelaki asing; mengalami déjà vu sewaktu ikut berburu babi, dia seperti mendengar dan melihat objek-objek di masa lalu di daerah perbukitan dan lembah sekitar waduk yang terkait dengan peristiwa pembantaian oleh militer, mimpi-mimpi dan delusi ketika dia menggauli istrinya, suara-suara yang terus berbisik, “Tidak. Kehebatan itu muncul berkat perasaan benci yang begitu kuat. Dan kau sadar bahwa itu cuma bersifat sementara. Setelah kau kembali bergulat dengan kegelisahan. Kilat dan tembakan. Kau coba pejamkan mata dan berusaha keras untuk tidur. Gelap. Wajah itu kembali terbayang dalam kegelapan…” (hal. 89), kilasan-kilasan ingatan yang membentuk paralelisasi kehidupannya dengan sang istri yang berprofesi sebagai dokter dan mati muda dengan kehidupan Leman yang juga memiliki istri dokter, tiba-tiba pulang ke kota kelahiran dengan lelaki yang diakui sebagai suami, lalu mati muda pula tanpa keturunan, serta kehidupan Mak Utiah alias Bernawi yang mengaku pahanya cacat berlubang karena diparok anjing berbulu loreng bernama Sugeng yang identik dengan seseorang.

“Aku merasa seperti mengenal hutan ini, dan setiap tumbuhan yang tumbuh di dalamnya seakan menjadi bagian dari diriku dan hal itu mengingatkanku kembali kepada masa lalu. Kepada dua masa lalu,” (hal 31). Apa yang sesungguhnya terjadi? Anda akan menemukan fakta mengejutkan apabila sampai membaca ke bab sepuluh.

Yoga Zen dengan cerdik menyisipkan berbagai isu sensitif dalam labirin peristiwa novelnya, seperti kekerasan seksual dan pembungkaman di sekolah, pemujaan pada sosok mitologis di negeri berbudaya religius, hakikat cinta perilaku menyimpang, pembantaian massal dalam kemelut politik, dan gangguan kesehatan jiwa yang menjadi ancaman laten masyarakat modern. Rahasia-rahasia yang menempel ke tokoh-tokoh unik; Leman, Mak Utiah, Oho, Dokter Darti, Buya Roes, Haji Muncak, Kapten Sujoso, Siyo Gagok, dan seekor kucing kelabu tua bernama Qor. Benar-benar gila parah! Sungguh wajar rasanya bila nanti Marjin Kiri dengan Aliansi Penerbit Independen Internasional menerjemahkan novel ini. []

Keterangan Buku

Judul Buku : Tersesat Setelah Terlahir Kembali

Penulis : Yoga Zen

Penerbit : Marjin Kiri

Cetakan 1 : Januari 2025

Tebal : iv + 170 hlm; 14 x 20,3 cm

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news