Citra Kebijakan Ekonomi Sumbar: Saatnya Menghindari Simbolisme dan Membuktikan Kinerja

1 month ago 18

Program MEDAL Of Honda Klikpositif

KLIKPOSITIF – Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat kembali menjadi sorotan publik. Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Triwulan II 2025, laju pertumbuhan ekonomi provinsi ini hanya mencapai 3,94%. Angka ini bukan hanya lebih rendah dari rata-rata nasional yang berada di kisaran 5,12%, tetapi juga menempatkan Sumbar sebagai salah satu dari 10 provinsi dengan pertumbuhan ekonomi terendah secara nasional. Jika dibandingkan dengan Triwulan I 2025, saat ekonomi Sumbar tumbuh 4,66%, tren ini mengindikasikan pelemahan. Maka wajar jika publik mempertanyakan: di mana sesungguhnya arah kebijakan ekonomi daerah ini?

Citra kebijakan pembangunan ekonomi Sumbar tidak mencerminkan transformasi yang dibutuhkan. Perencanaan masih didominasi target-target makro nasional yang tidak selaras dengan kapasitas riil daerah. Pemerintah provinsi belum menunjukkan keberanian dalam menyusun strategi sektoral yang berbasis potensi aktual. Sektor pertanian, perdagangan, dan administrasi pemerintahan tetap mendominasi PDRB, sementara sektor pengolahan, industri kreatif, dan manufaktur belum diberdayakan secara optimal. Tidak ada sinyal kuat bahwa ekonomi Sumbar sedang bergerak ke arah industrialisasi atau ekonomi berbasis inovasi.

Gagalnya agenda konversi Bank Nagari menjadi Bank Nagari Syariah memperburuk persepsi terhadap keseriusan pengambil kebijakan dalam mengarusutamakan nilai-nilai ekonomi berbasis kearifan lokal. Narasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABSSBK) yang seharusnya menjadi fondasi moral ekonomi daerah justru kehilangan makna ketika praktik rentenir masih dibiarkan tumbuh di pasar-pasar tradisional, dan sistem keuangan syariah tidak mendapatkan dukungan kelembagaan yang memadai. Lebih ironis, praktik “pagang-gadai” yang rawan menjadi pintu masuk eksploitasi terhadap petani kecil masih bertahan tanpa inovasi regulatif dan kelembagaan.

Kelemahan lainnya tampak pada postur fiskal daerah. Belanja modal masih berkisar 20–25% dari total APBD, sementara belanja rutin terus menyerap porsi terbesar. Belanja publik belum diarahkan untuk menciptakan lompatan produktivitas. Tidak ada upaya sistematis untuk mendorong kemitraan UMKM digital, industri hilir pertanian, atau sektor pariwisata unggulan. Bahkan sektor yang selama ini dipromosikan, seperti pariwisata halal dan ekonomi kreatif, hanya sebatas jargon tanpa ekosistem pendukung yang nyata.

Sisi kelembagaan pun belum banyak berubah. Hingga kini, belum terbentuk forum kebijakan ekonomi daerah yang menghubungkan pemerintah, BUMD, pelaku swasta, dan perguruan tinggi dalam satu kerangka koordinasi yang solid. Akibatnya, program pembangunan berjalan sendiri-sendiri, tanpa sinergi. Kepemimpinan daerah tampak pasif dalam membangun agenda transformasi bersama. Padahal, tanpa peran aktif gubernur sebagai lokomotif sinergi lintas sektor, kebijakan ekonomi tidak akan menciptakan akselerasi pertumbuhan.

Situasi ini menuntut evaluasi mendalam dan perombakan strategi secara menyeluruh. Pemerintah provinsi perlu melakukan pemetaan ulang sumber pertumbuhan ekonomi baru, menyusun ulang prioritas belanja yang produktif, dan membangun sistem monitoring berbasis indikator strategis seperti investasi, ketenagakerjaan, produktivitas, dan daya saing. Citra kebijakan pembangunan harus bertransformasi dari simbolisme menjadi aksi nyata yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Mengejar pertumbuhan ekonomi 6,3–7,3% bukan hal mustahil bagi Sumatera Barat, asalkan ada keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Kepemimpinan yang berani jujur mengevaluasi, reformis dalam menyusun strategi, dan visioner dalam membangun kelembagaan ekonomi adalah syarat mutlak. Tanpa itu semua, Sumatera Barat hanya akan menjadi provinsi dengan semangat besar, tetapi jejak pertumbuhan yang kecil.

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news