Harianjogja.com, JOGJA – Beberapa waktu belakangan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jogja mulai melakukan uji coba dalam rangka rencana penarikan retribusi sampah. DLH mulai melakukan uji coba berupa penimbangan sampah pada 29 Oktober hingga 4 November 2024. Lalu, masa uji coba kembali diperpanjang pada 5 November dan 7 November 2024.
Perpanjangan masa uji coba ini dilakukan untuk mengetahui lebih detail terkait dengan jumlah sampah di masing-masing depo lantaran penghitungan yang dirasa belum maksimal. Kabid Pengelolaan Persampahan DLH Kota Jogja Ahmad Haryoko menjelaskan pihaknya kini tengah merumuskan mekanisme pemungutan retribusi sampah di masing-masing depo.
“Setelah dari kajian teman-teman konsultan, nanti baru ada kesimpulan,” ujar Haryoko saat dikonfirmasi, Rabu (6/11/2024).
Haryoko menambahkan kajian nanti akan meliputi mungkin atau tidaknya pemungutan retribusi sampah diterapkan di Kota Jogja, sekaligus mempertimbangkan respon masyarakat terkait dengan kebijakan ini. Selain itu, kajian juga akan turut membahas terkait mekanisme penarikan retribusi. Haryoko mengatakan jika nantinya jadi diterapkan, retribusi tak akan dibayarkan secara tunai di depo. Sebab, ini justru akan memunculkan masalah baru dan kemungkinan terjadinya pungli. Dia mengatakan pembayaran retribusi akan dilakukan secara digital atau non-tunai.
“Nanti kalau bisa kerja sama dengan bank untuk pembayaran, itu pasti nanti sistem dengan digital non-tunai, entah Qris atau apa. Tapi tidak mungkin menerapkan pembayaran di depo. Sangat riskan untuk nantinya terjadinya sesuatu,” tuturnya.
Haryoko menuturkan selama ini iuran sampah di Kota Jogja terbilang sangat ringan, yakni Rp 3.000 perbulan dengan jumlah sampah yang tak dibatasi. Mekanisme semacam ini dinilai tak adil dan tidak tumbuh rasa tanggung jawab dari masyarakat untuk mengolah sampah. Haryoko menyebut lewat kebijakan ini, DLH ingin mengedukasi masyarakat untuk benar-benar memilah dan mengolah sampahnya masing-masing. Semakin banyak sampah, maka akan semakin banyak pula iuran sampah yang dibayarkan. Selain itu, besaran iuran untuk sampah yang sudah dipilah dan belum dipilah pun berbeda.
“Masyarakat kita paksa untuk bisa mengolah sampahnya, semaksimal mungkin. Baru nanti yang tidak bisa dimanfaatkan dan harus dibuang itu hanya sedikit sekali, yang harus dibayar oleh masyarakat sedikit uangnya. Itulah yang kita berikan ke masyarakat terkait dengan edukasi bagaimana mempertanggungjawabkan atas sampah yang dihasilkannya,” ungkapnya.
Terkait dengan besaran retribusi, Haryoko mengaku belum bisa menuturkan secara detail dan memastikan itu masih menjadi bagian dari kajian. Uji coba berupa penimbangan sampah ini juga menjadi bagian dari sosialisasi kepada masyarakat
“Kita juga ingin mengetahui seberapa besar volume sampah di masing-masing depo yang kita uji cobakan itu. Jadi nanti kita bisa menghitung bukan hanya sekadar koefisien dari harga, tapi juga menghitung volume sampah di lokasi itu yang dikumpulkan berapa untuk bisa kita menghitung sekaligus di tingkat hilirnya untuk pemusnahan sampahnya,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News