Falsetto Kamar A38

3 hours ago 2

Klikpositif Program September - iklan hayati

“Saya bukan pembunuhnya, Pak. Demi Tuhan mana pun yang Bapak yakini. Nyanyiannya saja yang kebetulan merdu dan bikin sesak. Itu pun saya dengar dari kamar mandi, bukan mengintip.”

Tang!

Tamparan dari si penyidik berkumis itu masih sama seperti dua jam yang lalu, ketika saya baru ditarik dari indekos.

“Ngaku saja, bajingan!” katanya.

Tapi saya belum bisa. Karena tidak ada yang bisa saya akui.

Saya tidak pernah menyapa wanita itu. Serius. Bahkan nama lengkapnya baru saya tahu saat Bapak berkumis ini—yang menampar saya barusan—membacanya dari kartu pengenalnya. Inggit Gayatri, nama yang bahkan terlalu lembut untuk dilafalkan sambil duduk terkekang di ruangan bau keringat dan solar seperti ini.

Saya cuma tetangga yang sederet dengan kamarnya; saya A37, dia A38. Di antara kami cuma ada dinding dan langit-langitnya yang keropos. Dinding kamar mandi, maksud saya.

Saya tahu ini terdengar aneh. Tapi suara nyanyian Inggit selalu menyelinap dari dinding itu. Dia sering menyanyikan “Leaving on a Jet Plane” dari John Denver. Tipis tapi pas, falsettonya itu… ah, sudahlah. Nanti Bapak itu bilang saya mesum lagi.

Duk!

Perut saya terasa seperti dikocok. Penyidik satunya—yang lebih muda dan kali ini bau kapur barus—bilang saya menikmati suara Inggit sambil…, saya tidak bisa lanjutkan. Itu tuduhan jorok. Tapi saya memang merekam suaranya, iya. Bukan pakai kamera, cuma rekam suara buat didengar malam-malam kalau insomnia. Bukan buat disebar. Bukan buat dijadikan… bukti pembunuhan.

Saya ke kamar Inggit cuma untuk beli es lilin. Itu saja satu-satunya alasan saya berani ketuk pintunya. Saya bilang, “Es lima ribu” lalu dia akan tersenyum singkat, memberikan dua es beda rasa dari kulkas kecilnya. Kalau diingat-ingat, saya ini pelanggan tetapnya, atau mungkin malah satu-satunya. Kadang saya tetap beli walau sudah punya. Kalau itu baru bisa dibilang modus.

Pernah saya coba ubah kalimat pertama saya jadi, “Gimana kuliahnya?” Tapi kerongkongan saya tercekat, yang keluar tetap, “Es lima ribu.” Saya pengecut, iya saya tahu. Tapi saya bukan pembunuh.

Plak!

Penyidik berkumis itu kembali bicara.

“Kamu rekam. Kamu simpan. Kamu bayangkan. Kamu sembunyi di balik dinding. Kamu cinta, tapi tak kamu bilang. Lalu kamu bunuh!”

“Asu!” saya teriak. Meski perih, meski dada masih nyeri kena sepatu boot-nya tadi.

Hari itu siang yang cukup panas. Saya ingat karena kaus Real Madrid KW saya sampai basah. Saya mau beli es lilin, seperti biasa. Tapi yang menyambut bukan Inggit. Seorang laki-laki judes. Wajahnya kayak preman pasar atau supir angkot sepi setoran.

Saya kaget dan curiga. Bahkan sempat saya bayangkan pria itu tidur sekamar dengan Inggit. Rasanya ingin saya tendang pintunya dan tarik dia keluar. Tapi, ya sudahlah. Saya cuma pelanggan es lilin yang cupu.

Belakangan saya tahu dari dua orang ini kalau laki-laki itu kakak Inggit, Toyo. Sutoyo, lengkapnya. Kerja di luar kota, cuma sesekali pulang. Mungkin sama seperti saya, dia juga jadi terduga dan sedang ditanyai di ruangan lain.

Sejak kejadian itu, Inggit makin jarang bernyanyi. Mungkin karena ada si Toyo. Atau mungkin karena… entahlah. Tapi saya sudah punya rekaman lama. Saya putar malam-malam. Suara gemericik air, falsetto, lirik patah-patah.

So kiss me and smile for me…

Saya tahu kedengarannya aneh, tapi itu satu-satunya hiburan saya. Indekos kami itu sempit, dindingnya tipis, jaringan internet kayak siput, listrik kadang mati. Mau menonton yang “enak-enak” pun buffering-nya minta ampun. Jadi suara Inggit itu… oase di tengah hamparan gurun.

Lalu sore kemarin indekos kami itu ramai. Saya baru pulang dari kampus saat melihat kerumunan di depan kamar A38. Orang-orang saling dorong. Lalu datang rombongan lelaki tegap. Mereka memasang tali kuning, sekaligus mengusir kami semua.

“Penjual es lilin itu mati. Ini hampir putus,” kata salah satu tetangga sambil menggaris lehernya dengan telunjuknya sendiri.

“Asu! Ngomong sembarangan!” saya marah. Tapi kemudian saya lihat sendiri, kantong kuning itu keluar dari kamar. Ada jejak tetesan merah. Tentu saya tahu beda merah darah dan saus tomat.

Dan sekarang saya di sini, di ruang ini, diikat, ditempeleng, dituduh, dipaksa mengaku membunuh Inggit.

“Kenapa kamu rekam?” kata si penyidik berkumis.

“Saya suka suaranya,” jawab saya.

“Suaranya saja?”

“Suaranya, dan… mungkin juga orangnya. Tapi saya tidak pernah menyapanya lebih dari tiga kata. Esnya-lima-ribu. Sudah!”

“Kamu cinta?”

“Mungkin. Tapi cinta yang asu, yang tidak pernah bilang-bilang.”

“Cinta yang menggorok leher?” tanya penyidik muda yang mulai saya sahuti bacot dalam hati.

Saya diam. Bukan karena sepakat kata-katanya, tapi karena saya kehabisan cara menjelaskan. Saya tidak pernah lihat darah. Saya tidak pernah masuk ke kamar Inggit. Bahkan membayangkannya pun saya tidak berani. Saya cuma punya rekaman. Dan itu sekarang jadi satu-satunya barang bukti.

Kalau penyidik berkumis ini mau kasih kesempatan, saya masih bisa putar rekamannya di gawai saya yang sudah mereka ambil. Suaranya lirih, tapi hangat. Seperti suara malaikat yang tidak peduli hak hidup abadinya akan segera dicabut.

Percuma, dua penyidik sialan ini tidak mau mendengar. Mereka lebih suka menampar. Lebih suka pukulan. Lebih suka menyebut saya penyimpang. Mereka tidak mau tahu bahwa saya hanya jatuh cinta diam-diam. Dari dinding ke dinding. Dari kamar mandi ke kamar mandi.

Kalau Inggit masih hidup, mungkin dia akan marah. Mungkin dia akan jijik. Tapi mungkin juga, dia akan memaafkan. Karena tidak ada yang saya rusak. Tidak ada yang saya sentuh. Sekali lagi saya hanya mendengar dan merekam nyanyiannya.

Tapi saya tidak bisa bilang itu terus. Penyidik tidak percaya. Mereka lebih percaya darah daripada suara. Lebih percaya bercak daripada falsetto. Saya hanya ingin pulang. Atau kalaupun tidak, saya ingin setidaknya ada yang tahu: saya bukan pembunuhnya.

Sekiranya itu yang saya pikirkan sebelum pintu besi di sebelah kiri saya berderit. Menyelinaplah bayangan seorang laki-laki ke tengah dua penyidik di depan saya. Ia sedikit merunduk agar wajahnya kebagian pijar bohlam. Ini kali kedua saya melihat wajah seperti preman pasar atau sopir angkot sepi setoran itu.

“Seleramu tidak buruk, kawan,” katanya berlagak seakan kami teman lama yang baru bertemu lagi.

Saya tidak mengerti apa maksud omongannya barusan, sama seperti saya tidak mengerti mengapa posisinya lebih leluasa dari saya: tidak dikekang, bersih dari lebam, tanpa raut cemas sedikit pun.

“Si sundal itu memang paling suka lagu-lagu jadul. Kadang, dia pikir dia Lana Del Rey. Tapi aku suka. Situ, suka juga, kan?”

Nada bicaranya mulai terdengar menjengkelkan. Ia menyeringai sambil berjalan pelan mengitari tubuh saya yang mulai lemas.

“Sebenarnya, aku ini tidak masalah berbagi. Toh, situ cuma kebagian suara. Tapi dia itu lho, sudah jarang nyanyi kalau aku pulang. Jadi… ya sudahlah, mending istirahat sekalian, kan?”

Telinga saya mulai pengang, mungkin gegara omongan laki-laki ini, atau efek tamparan dan pelungku dua orang tadi—yang kini mulai saya curigai bukan penyidik sungguhan. Lagi pula, sejak saya diseret ke sini, mereka sama sekali tak menunjukkan surat penangkapan, lencana, id card atau identitas aparat. Sialan. Saya bodoh sekali mau mati cuma-cuma di tangan preman.

Saya tidak paham, apakah sekarat rasanya memang begini, kurang lebih hanya seperti diserang kantuk setelah begadang sampai pagi. Entahlah. Tapi yang pasti, di sela dengusan nafas saya yang mulai susah diatur, kadang saya kembali mendengar nyanyian Inggit di balik dinding ruangan ini.

But, I’m leavin’ on a jet plane

Don’t know when I’ll be back again

Oh babe, I hate to go


Regent Aprianto, lahir 1998 di Gorontalo. Senang menulis puisi dan cerpen, dan telah terbit di beberapa media cetak dan daring. Saat ini menetap sementara di Makassar.

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news