Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY sedang menyelenggarakan gelar wicara di Sekolah Tinggi Multi Media (STMM) "MMTC" Yogyakarta, Rabu (15/10/2025). - Harian Jogja - Andreas Yuda Pramono
SLEMAN—Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY terus gencar melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai dunia media dan penyiaran. Dalam gelar wicara yang digelar di Sekolah Tinggi Multimedia (STMM) "MMTC" Yogyakarta, Rabu (15/10/2025), KPID membeberkan berbagai persoalan yang dihadapi media penyiaran di era modern. Beragam persoalan tersebut pada akhirnya menuntut satu solusi utama: media harus bertransformasi.
Acara yang mengusung tema "Sinyal Kita Terputus? Mencari Frekuensi Baru Penyiaran di Era Konvergensi" ini secara implisit menyiratkan bahwa transformasi adalah sebuah keharusan untuk bertahan di industri penyiaran. Tiga narasumber hadir untuk memaparkan pandangan dari perspektif yang berbeda.
Dosen Program Studi Manajemen Produksi Siaran STMM “MMTC” Yogyakarta, Eko Wahyuanto, menegaskan bahwa transformasi media penyiaran adalah sebuah keniscayaan seiring perkembangan zaman. “Perilaku masyarakat sebagai konsumen konten mulai berubah. Perlu ada multiplatform yang basisnya jaringan internet. Kalau media tidak segera mereformasi diri, ia akan segera ditinggalkan,” ujarnya.
Eko menambahkan, pelaku penyiaran bisa memanfaatkan nostalgia masyarakat dengan konten berkarakter media konvensional, seperti radio, yang diwujudkan dalam bentuk podcast. "Artinya, ada pasar yang bisa jadi ceruk untuk berbisnis," katanya. Menurutnya, radio dan televisi harus beralih ke ranah multiplatform dengan hybrid marketing agar penawaran iklan menjadi lebih optimal.
Tantangan Regulasi di Era Digital
Dari sisi regulasi, Kepala Bidang Pengawasan KPID DIY, Febriyanto, menyoroti celah hukum bagi kreator konten di platform digital. “Undang-undang yang bisa diterapkan jika ada pelanggaran oleh kreator konten adalah UU ITE, tapi tetap harus ada yang melaporkan,” jelas Febriyanto. Ia menekankan bahwa regulasi penyiaran saat ini hanya mengikat lembaga penyiaran berizin, sementara konten di dunia maya rentan mengamplifikasi hoaks. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi industri tidak hanya soal teknologi, tetapi juga pembaruan regulasi.
Febriyanto mengungkapkan, KPID bersama KPI Pusat terus mendorong pembaruan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. “UU yang telah diubah beberapa kali itu belum mengatur konten media digital. Sudah sepuluh tahun RUU Penyiaran selalu masuk Prolegnas tapi terpental dalam pembahasan. Harapan kami, podcast dan media digital ada pengawas dan regulasinya,” paparnya.
Kesenjangan Aturan dan Peluang Bisnis
Direktur SinPo TV, Ariawan, memberikan contoh nyata kesenjangan aturan ini. “Media sosial tidak diatur [oleh UU Penyiaran], tapi TV ada aturannya. Lihat saja podcast, ada yang secara sengaja sambil merokok dan bahkan mengajak penonton untuk merokok. Kami di TV, jika ada orang lewat sedang merokok saja bisa kena tegur KPI,” ujarnya. Oleh karena itu, ia mendukung adanya regulasi yang ketat bagi kreator konten.
Meski demikian, Ariawan tidak menampik peran vital media sosial sebagai peluang bisnis baru yang menggantikan peran TV dan radio tradisional dalam mengakses informasi. “Kita perlu menyesuaikan tren anak muda. Kalau tidak bisa, ya kita hilang. Maka dari itu, media sosial kami gencarkan dan jadikan sarana branding,” tegasnya. Melalui pengelolaan media sosial yang baik, SinPo TV mampu men-generate adsense dan menjalin kerja sama iklan dengan pihak lain.
Mahasiswa Prodi Manajemen Produksi Siaran STMM “MMTC” Yogyakarta, Azhar Naufaldi, mengatakan ia memiliki ketertarikan terhadap sarana publikasi film. Ia yang mengetahui ada acara gelar wicara kemudian mendaftarkan diri.
“Pembahasan kali ini menarik; yang paling saya suka pemaparan dari Pak Febriyanto dari KPID DIY,” kata Azhar.
Azhar menyampaikan bahwa pemahaman terhadap regulasi penyiaran harus dimatangkan. Bukan hanya UU Penyiaran, namun juga UU Pers. Lewat UU Pers, konten kreator sebenarnya punya rambu-rambu dalam membuat konten.
“Anak-anak kecil lebih suka nonton Youtube yang bukan Youtube Kids. Makanya perlu ada pemahaman aturan. Film pun juga ada yang dipublikasikan di Youtube,” katanya. (Advertorial)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News