“Ayah, di manakah Ayah? Sedang apakah Ayah saat ini?”
Dalam gerimis yang turun bagai jarum-jarum kecil, ada sejumput kegelisahan yang memeluk tubuh gadis kecil itu. Dipandanginya langit. Dipandanginya sekawanan burung yang melintas menuju kejauhan deret bukit yang bagai pagar raksasa, dan berdiri begitu angkuhnya dalam gemulung abad yang berlari.
Sebuah lanskap semesta yang belumlah lama ia kenali dalam labirin jiwanya. Hamparan danau, jalanan yang lengang, dan segala denyut hidup yang bernapas dalam timbunan matahari yang jauh dari segala kebisingan kota. Betapa kini sepi bagai menyergapnya kala teringat sang ayah yang berada di negeri jauh itu. Terlebih sebuah angkutan umum serta merta melintas di depannya, dan membuatnya hanya terpana setelah angkutan umum itu berlalu dan menghilang di sebuah kelokan. Di bagian belakang angkutan umum itu, ia sempat melihat gambar seorang ayah yang menggendong seorang anak perempuan dengan wajah yang ceria.
“Ayah, cepat pulang ke sini ya, Yah.” Bibirnya seperti menggumam, kala mulai memasuki pagar rumah, dan melangkah lebih cepat meski memakai tongkat lantaran gerimis semakin deras dan angin bertiup sangat kencang. Tak beberapa lama kemudian, hujan pun mengguyur bumi begitu lebatnya. Tanpa disadarinya, tiga kupu-kupu kertas yang dibuatnya, tergeletak saja di bawah tiang jemuran. Begitu juga ikan asin yang dijemur sang ibu. Tampak basah kuyup dan bagai tak berdaya untuk mengabarkan kepada gadis kecil itu, tentang pesan sang ibu yang sehari-hari berjualan makanan di tepi danau itu.
***
Dan ia mesti segera menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Dari hiruknya suasana perkotaan yang menyisakan nestapa panjang. Hingga akhirnya ia diboyong ke rumah tepi danau yang penuh pemandangan mengagumkan itu.
“Ini dulunya rumah nenek, Raisya. Tapi setelah beliau meninggal, rumah ini kosong dan tak ada yang menghuninya.”
“Iya, Ayah. Rumah nenek bagus ya. Banyak bunga-bunga di halamannya, Ayah. Aku suka. Suka bunga-bunga, buah belimbing, dan buah jambu yang merah itu, Ayah.”
Ia menyampaikan rasa senang yang begitu asing sejak hari pertama tinggal di rumah tepi danau. Meski agak sedih lantaran harus berpisah dengan teman-teman baik di kota, namun semuanya itu serta merta terobati dengan asri dan nyamannya lingkungan di sekitar rumah nenek yang berpagar bambu, dan hadirnya teman-teman baru yang menerima apa adanya akan kekurangan di tubuhnya.
Ia dan siapa pun, tentu tak pernah menginginkan peristiwa memilukan itu terjadi. Pada suatu pagi saat berangkat sekolah sendirian, ia mengalami kecelakaan hebat hingga kaki sebelah kirinya harus diamputasi, dan membuatnya harus berjalan dengan sebuah tongkat dalam usia yang masih belia.
***
Sang ibu pun pulang ke rumah larut senja dengan keuntungan penjualan lumayan dari hari sebelumnya. Hujan telah reda. Namun masih menyisakan tik tok gerimis yang bunyinya membuat suasana hatinya menjadi kian rusuh saat duduk melonjor sambil memainkan remote televisi. Pintu rumah tiba-tiba terbuka, hingga hawa dingin pun serta merta masuk bagai dimasuki sebongkah kegelisahan yang dibalut cuaca dan perguliran usia.
“Semuanya basah, Raisya. Kita harus menjemur lagi esok. Semoga esok cuaca terik ya.” Ia melihat sang ibu memegang niru penjemur ikan asin yang basah kuyup diguyur hujan. Tak ada tanda-tanda kemarahan yang terpancar dari wajah sang ibu. Dan ia hanya bisa meminta maaf dan berjanji tak mengulangi lagi esok hari.
Namun ia pun tiba-tiba bagai tersadar setelah sang ibu berlalu menuju dapur. Kupu-kupu kertas di bawah tiang jemuran lupa diambil dan tertinggal begitu saja. Dalam hatinya, kupu-kupu kertas itu pasti telah basah kuyup atau bahkan telah hanyut dibawa air. Ia sama sekali tak ingin memastikan kupu-kupu kertas itu selamat dari guyuran hujan, dan tetap memilih duduk di kursi kayu itu.
***
Ia tahu, semenjak sang ayah bekerja sebagai pekerja tower dan kabel yang berpindah-pindah lokasi, menjadi sangat jarang sekali pulang dan berkumpul dengan keluarga. Dan bagi sang ayah, pekerjaan itu terpaksa harus diterima dan dilakukan agar asap dapur tetap mengepul. Sebelum melakoni perkerjaan yang ditawari seorang kenalan lama itu, sang ayah pernah mencecap pekerjaan sebagai pekerja bangunan, dan sebagai sopir angkutan kota.
***
Dan tentang kupu-kupu kertas itu, sebetulnya ia merasa senang dan bahagia lantaran sang ayah pernah berhasil mewarnai gambar seorang ayah yang memakai kupu-kupu kertas di punggung saat memanjat tower itu. “Warnanya bagus, Ayah. Raisya suka.” Begitulah kegembiraannya kala sang ayah pulang membawa gambar yang ia buat, dan berhasil diwarnai sang ayah dengan warna yang begitu ciamik dan serasi itu.
Ia menyadari, bahwa pekerjaan ayah sering berada di ketinggian dan sangat beresiko itu. Makanya, setelah sang ayah berhasil mewarnai gambar yang dibuatnya, kali ini ia sengaja membuat kupu-kupu kertas ukuran besar dengan tujuan agar sang ayah memakai kupu-kupu kertas itu pada bagian punggung. Imajinasinya begitu liar. Harapannya tak lain, yaitu agar sang ayah bisa terbang jika sewaktu-waktu sang ayah terjatuh dari tower dan bisa menyelamatkan diri.
“Pakai ini ya, Ayah. Foto dan bawa hasil fotonya saat pulang nanti ya, Ayah.” Begitulah pesannya pada sang ayah saat berangkat lima hari yang lalu. Ia juga tak lupa mengingatkan janji sang ayah untuk membelikan kaki palsu, agar ia bisa berjalan dengan lebih baik ke sekolah, ketimbang harus memakai tongkat yang telah ia pakai selama satu tahun itu.
“Doakan ayah sehat selalu dan mendapat banyak rezeki ya.”
Ia pun menganggukkan kepala, dan tersenyum begitu melihat sang ayah berlalu pergi sambil membuka pagar bambu. Setelah sejenak saling bertatapan, sang ayah pun menaiki sebuah bus yang mengantar sang ayah menuju kota jauh. Ia yang berdiri di sisi sang ibu, tampak begitu sedih, dan tanpa disadarinya air mata pun mengalir di pipi melepas kepergian sang ayah pada pagi itu.
Ia harus merelakan sang ayah yang dituntut dunia kerja itu. Sedangkan lima hari lagi, ia akan berulang tahun dalam usianya yang tepat menginjak delapan tahun. Meskipun nanti sang ayah tak hadir dalam perayaan ulang tahunnya, namun ia berharap bahwa sang ayah benar-benar menepati janji, dan membawakan kaki palsu pada kepulangan berikutnya.
***
Dan nun jauh di sana, setelah sepuluh hari meninggalkan rumah, maka sang ayah telah berada di daerah terpencil dan terpinggir. Setelah melewati perjalanan jauh dan medan yang terjal dengan kendaraan pembawa logistik, maka sang ayah pun melepas penat dengan rombongan di bawah sebuah pohon.
Sementara di rumah tepi danau, ada kebahagiaan tiada tara yang didapat oleh gadis kecil bermata bulat dan indah itu. Beberapa orang relawan sosial dan kemanusiaan yang sempat melakukan survei tiga hari sebelumnya itu, memberikan kado ulang tahun berupa kaki palsu yang sangat diidam-idamkan gadis kecil itu. Ternyata, selidik punya selidik, seorang relawan sempat memperhatikan gadis kecil itu dan sang ibu, di rumah tempat disemayamkannya jenazah anak laki-laki yang meninggal tersengat listrik saat mengejar layangan itu.
Gadis kecil itu pun tentu tak bisa menyembunyikan kegembiraannya atas pemberian kaki palsu itu. Ia sama sekali tak menduga, mengapa orang-orang itu tahu persis tanggal berapa ia mesti akan berulang tahun? Ia pun ingin sang ayah yang jauh di daerah terpencil sana, segera tahu berita yang amat menggembirakan itu.
Dan sang ayah memang menyadari, bahwa hari itu, adalah hari ulang tahun gadis kecilnya yang kedelapan tahun. Tapi lantaran tuntutan kerja, sang ayah tampak begitu disibukkan dengan perintah demi perintah dari sang mandor yang mengawas di lapangan. Setelah kepulangan kelompok relawan yang memberikan kaki palsu itu, maka tepat saat itu pula, sang ayah mulai disibukkan dengan berbagai peralatan kerja. Sang ayah sedang memanjat tower setinggi 45meter bersama dua rekan lainnya.
Setelah sampai di ketinggian, sang ayah tiba-tiba teringat dengan kupu-kupu kertas buatan gadis kecil itu. Sang ayah sempat bersorak kepada orang-orang di bawah, dan mengatakan barangkali kupu-kupu kertas itu terletak antara di dalam mobil, atau di dalam tas pakaian yang terletak di tempat khusus barang-barang para pekerja.
“Kupu-kupu kertas buatan anakku. Kupu-kupu kertas buatan anakku.”
Persis seperti apa yang ditirukan sang mandor dalam wawancara dengan seorang pewarta yang menyambangi tempat itu. Taklama setelah berkata begitu, sang ayah terjatuh bersama dua rekan lainnya dari tower yang tiba-tiba roboh. Tubuh sang ayah terpental dan seketika tergeletak di tanah yang penuh bebatuan. []
2025

6 hours ago
3


















































