Ilustrasi pinjol atau pinjaman oline. - Foto dibuat oleh AI - Stokcake
Harianjogja.com, JAKARTA—Pinjaman konsumtif pinjaman oline (pinjol) oleh borrower berdasarkan rasio perbandingan utang terhadap penghasilan dinilai masih sulit diimplementasikan.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengemukakan pelaksanaan aturan ini membutuhkan informasi soal hutang calon borrower di lembaga jasa pembiayaan lainnya yang diperoleh dari SLIK.
Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini diatur dalam SEOJK Nomor 19/2025 mengenai penyelenggaraan fintech peer-to-peer (P2P) lending mengatur bahwa rasio utang terhadap penghasilan mencakup seluruh sumber pinjaman seperti pindar, perbankan, perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, pergadaian, dan pembiayaan lainnya.
“Apakah ini bisa diterapkan? Saya rasa cukup sulit untuk melihat batasan hutang tersebut jika hanya dari self assessment. Maka butuh akses kepada SLIK yang sampai saat ini saya belum melihat mekanisme yang optimal,” katanya kepada Bisnis.com, jaringan Harianjogja.com, Minggu (31/8/2025).
Dia meneruskan, apabila menggunakan skor kredit (credit scoring) dengan SLIK ini akan memakan waktu yang lebih lama untuk memberikan pinjaman kepada borrower dan akan berimbas mengurangi waktu dari proses pemberian hutang di pindar.
Bahkan, imbuhnya, ini bisa berdampak pada berkurangnya jumlah borrower ke depan. Meski begitu, di satu sisi Huda memahami maksud dan tujuan OJK mengeluarkan aturan itu adalah untuk memperbaiki kualitas peminjaman.
BACA JUGA: Demonstrasi di DPRD DIY Senin Siang, Ini Isi Tuntutannya
Dengan demikian, dia berpendapat bahwa kasus gagal bayar bisa berkurang dan mencegah terjadinya over financing dalam menyalurkan pembiayaan. Pasalnya, saat ini acap kali terjadi orang sudah menumpuk hutangnya, tetapi tetap saja berhutang.
“Ini yang sering membuat orang kesulitan dalam membayar hutangnya. Orang sudah menumpuk hutangnya, tapi tetap berhutang. Akibatnya potensi gagal bayarnya meningkat. OJK melalui pembatasan rasio hutang dengan pendapatan ini ingin mengurangi risiko tersebut,” katanya.
Sebagai informasi, SEOJK itu salah satunya mengatur soal ketentuan pembatasan pinjaman konsumtif oleh borrower, yang mana rasio perbandingan utang atau pinjaman dengan penghasilan borrower paling tinggi sebesar 40% pada 2025 dan 30% pada 2026.
Adapun, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik Djafar menyikapi bahwa pihaknya menyambut baik SEOJK tersebut.
“Kami menyambut baik atas aturan ini, tentunya tujuan dari aturan ini agar industri ini menjadi lebih prudent dan sehat,” katanya, Minggu (31/8/2025).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com