Harianjogja.com, JAKARTA—Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan penerapan campuran etanol 10% (E10) untuk bahan bakar tidak akan mengganggu produksi pangan nasional, karena bahan bakunya menggunakan molase atau hasil samping tebu.
Saat ini upaya negara-negara dunia mencari sumber energi alternatif ramah lingkungan kini mengarah pada pengembangan bioetanol dalam skala besar. Bahan bakar ini memiliki angka oktan tinggi dan emisi karbon rendah. Indonesia menargetkan penerapan campuran etanol 10% atau E10 terhadap bahan bakar minyak (BBM) pada 2026.
Bioetanol menjadi salah satu pilihan utama dalam transisi energi bersih. Sejumlah negara telah lebih dahulu memanfaatkannya sebagai bahan bakar alternatif.
Brasil menjadi contoh paling sukses dengan memadukan sektor pertanian tebu dan kebutuhan industri energi. Negara tersebut memproduksi etanol secara masif sehingga tidak lagi bergantung pada impor minyak untuk memenuhi kebutuhan transportasi dan industri.
Amerika Serikat, Eropa, India, dan Thailand juga terus memperluas penerapan bahan bakar campuran etanol. Brasil bahkan telah mencapai penggunaan E80 untuk transportasi, sementara negara lainnya bergerak menuju E-20.
Di Indonesia, program penggunaan etanol masih dalam tahap awal. Penerapan E5 baru sebatas proyek percontohan dengan BBM Green 95 yang kini memasuki fase uji coba.
Meski demikian, pemerintah mulai mempercepat langkah menuju E10, seiring keberhasilan berbagai negara dalam mengembangkan bioetanol. Pemerintah juga menyiapkan sistem distribusi bahan bakar ini melalui jalur darat, laut, dan udara, termasuk penggunaan pesawat kargo untuk menjangkau wilayah terpencil.
Langkah ini diharapkan memperkuat kemandirian energi nasional sekaligus mendukung komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon melalui transisi energi bersih.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani mengungkapkan pemerintah menargetkan produksi 1,2 juta kiloliter etanol pada 2028 atau lebih cepat. “Maka itu, didorong pemakaian sekarang bioetanol,” ungkap Eniya kepada Bisnis.com, jaringan Harianjogja.com beberapa waktu lalu.
Untuk menggolkan proyek bioetanol, pemerintah akan mengatur harga. “Harga bioetanol setiap bulan dikeluarkan oleh ESDM. Saat ini jika pemakan sebagai bahan bakar ada masalah cukai yang masih diterapkan, dan saat ini dalam proses pembahasan untuk bisa menurunkan harga komersialnya,” jelas Eniya.
Lebih jauh, dia menekankan pemerintah akan memprioritaskan bahan baku etanol berasal dari dalam negeri. “Perlu didongkrak dengan pabrik dari swasta, tidak hanya Pertamina. Semua nanti bisa bermitra,” cetusnya.
Sebaliknya, momok produksi massal bioetanol adalah kesanggupan penyediaan bahan baku tanpa mengganggu sektor pangan. Bioetanol yang kini umumnya diproduksi berbasis tebu secara massif akan menambah beban sektor pangan.
Persoalan Limbah
Hal inipula yang disorot pemerintah. Menurut Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Edi Wibowo, produksi E10 hanya akan menggunakan molase tebu.
Molase merupakan cairan kental berwarna cokelat tua yang merupakan hasil samping dari proses pembuatan gula.
Oleh karena itu, dia menilai pembuatan E10 tak akan menggerus produksi gula. "Molase itu kayak produk samping dari gula tadi. Gulanya terdapat [tetap diproduksi]. Nah ini [molases] untuk sampingnya bisa diolah lagi [menjadi E10]," ucap Edi di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (30/10/2025).
Dia lantas mencontohkan produksi gula di Brasil pun tak tergerus. Padahal, negara itu telah mencampurkan bioetanol dengan bensin hingga 27% atau E27. Bahkan, kata dia, Brasil bakal meningkatkan campuran bioetanol hingga 100% atau E100. "Makanya disebut molase pakai fleksibel engine, kan? Sekarang E27 mandatory-nya sampai E100 di Brasil," ucap Edi.
Pengembangan bioetanol berbasis material non pangan pun masuk dalam isu global. Salah satu yang menyorot potensi besar itu adalah Toyota Motor Corporation (TMC).
TMC secara serius mengejar inovasi agar kemunculan bioetanol tak mengusik kepentingan pangan. President Carbon Neutral Engineering Development Center Keiji Kaita mengatakan perusahaan tengah menggelar penelitian bioetanol berbasis nonpangan. Mayoritas sumber bahan baku itu berasal dari limbah tanaman atau sisa produksi. “Sisa perasan tebu, mungkin juga batang atau daun jagung yang dibuang para petani,” ungkapnya seusai kegiatan Toyota Global Workshop, di Tokyo, pada Jumat (31/10/2025).
Dia meyakini keberadaan bioetanol sejalan dengan komitmen transisi energi dari pemerintah. “Tidak hanya untuk mengikis karbon, tetapi hal itu membantu mengurangi impor bahan bakar,” jelas Kaita.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com

3 hours ago
1
















































