BUKITTINGGI,KLIKPOSITIF – Pengamat Pariwisata, Eddi Novra M.Par mengatakan saat ini nasib pemandu wisata berada di ujung tanduk.
Dia mengatakan di tengah upaya Indonesia membangun pariwisata sebagai pilar utama ekonomi nasional, terdapat ironi yang menyedihkan di balik layar industri ini.
“Para pemandu wisata, yang merupakan garda terdepan dalam menyampaikan nilai budaya dan keindahan alam Indonesia, justru menghadapi krisis legalitas akibat kekosongan regulasi dan ketidakjelasan kewenangan penerbitan lisensi,” ungkap Akademi dari UM Sumbar ini, Kamis 31 Juli 2025.
Eddi menjelaskan setidaknya sampai tahun 2014 pemandu wisata selalu di up-grade kartu kepemanduan itu oleh dinas pariwisata sesuai dengan wilayahnya, seperti kartu Guide Muda di aktivasi oleh Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota dan kartu Guide Madya di aktivasi oleh Dinas Pariwisata Provinsi, melalui skema penyegaran.
Hal ini kata dia, ditemukan di sejumlah daerah, termasuk di Provinsi Sumatera Barat, Dinas Pariwisata Provinsi tidak lagi mengeluarkan kartu pemandu wisata (guide license).
Dosen dari Fakultas Pariwisata ini mengatakan, berdasar pertemuan tertutup yang dilakukan dengan pejabat Dinas Pariwisata Sumatera Barat, diketahui bahwa penghentian penerbitan kartu ini dilakukan karena kekhawatiran akan implikasi hukum.
Padahal, ungkapnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, khususnya Pasal 26 dan 27, disebutkan bahwa setiap tenaga kerja pariwisata wajib memiliki kompetensi dan sertifikasi profesi. Namun, tanpa petunjuk pelaksanaan yang tegas dari pemerintah pusat atau daerah, Dinas-Dinas Pariwisata kini enggan mengambil risiko administratif dalam menerbitkan kartu tersebut.
Kekosongan kewenangan ini dimanfaatkan oleh berbagai organisasi kepemanduan wisata baik lokal maupun nasional yang kemudian menerbitkan kartu atau lisensi mereka sendiri.
“Sayangnya, legalitas dan pengakuan terhadap lisensi yang diterbitkan oleh organisasi non-pemerintah ini tidak selalu diakui secara formal oleh otoritas pariwisata, dan sering kali tidak berlaku lintas daerah,” kata dia.
Kebingungan dan eksploitasi di lapangan
membuat banyak pemandu wisata akhirnya berada dalam posisi rentan. Mereka tetap diwajibkan membayar biaya pelatihan dan lisensi kepada organisasi, namun tidak memperoleh kepastian hukum atas status profesional mereka. Tanpa lisensi resmi dari pemerintah, mereka tidak bisa terdaftar dalam sistem perlindungan tenaga kerja formal, tidak diakui oleh biro perjalanan besar, dan bahkan tidak diperkenankan bekerja di beberapa objek wisata berskala nasional.
Eddi Novra menyebut situasi ini menunjukkan adanya kelemahan struktural dalam tata kelola profesi pemandu wisata.
“Negara gagal menyediakan infrastruktur hukum yang utuh bagi profesi pemandu wisata. Ketika negara absen, organisasi informal mengambil alih peran, yang akhirnya menciptakan ketimpangan dan membuka ruang eksploitasi,” jelas Eddi.
Ia menegaskan bahwa profesi pemandu wisata tidak bisa diserahkan pada mekanisme organisasi saja tanpa keterlibatan negara sebagai penjamin legitimasi dan perlindungan hukum.
Sertifikasi profesi, kata dia, harus tunduk pada sistem nasional melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), bukan hanya berdasarkan keputusan internal asosiasi.
Perlu Tindakan Segera
Kondisi ini menandakan adanya ketidaksinkronan antara regulasi pusat dan praktik daerah. Pemerintah daerah merasa tidak memiliki dasar hukum untuk mengeluarkan lisensi, sementara pemerintah pusat belum memberikan petunjuk teknis yang operasional.
Sementara itu, sambungnya, para pemandu terus berada dalam ketidakpastian. Banyak dari mereka yang telah berpengalaman dan terlatih justru tersisih dari industri karena tidak memiliki kartu resmi. Sebaliknya, tidak sedikit pemandu yang memiliki lisensi dari organisasi tertentu namun belum tentu memiliki kompetensi sesuai standar nasional.
“Jika hal ini terus dibiarkan, bukan hanya pemandu wisata yang dirugikan, tetapi juga kualitas pengalaman wisatawan akan menurun, karena tidak adanya standardisasi layanan,” tambah Eddi Novra.
Dia mengatakan untuk menyelamatkan profesi pemandu wisata dari kekacauan administratif ini, diperlukan langkah cepat dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk menyusun peraturan teknis pelaksanaan UU No. 10 Tahun 2009 yang menjelaskan kewenangan penerbitan lisensi pemandu.
Kemudian mengintegrasikan sistem lisensi lokal dengan sertifikasi nasional melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan BNSP.
Terakhir dia berharap meningkatkan peran pemerintah daerah sebagai mitra aktif dalam pengawasan dan pemberdayaan pemandu wisata, tanpa harus merasa terancam secara hukum.
“Sebagai negara dengan kekayaan budaya dan keindahan alam yang luar biasa, Indonesia membutuhkan pemandu wisata yang profesional dan terlindungi secara hukum. Sudah saatnya negara hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pelindung profesi yang menjadi wajah terdepan pariwisata nasional,” kata dia.
*
👉Silahkan bergabung di Grup FB SUMBAR KINI untuk mendapatkan informasi terupdate tentang Sumatera Barat.