Serikat Pekerja di Persimpangan Era Digital

1 week ago 14

Klikpositif Program September - iklan hayati

SERIKAT pekerja di Indonesia sedang berdiri di sebuah persimpangan besar. Di satu sisi, mereka mewarisi sejarah panjang perjuangan yang lahir dari penderitaan buruh yang bekerja belasan jam sehari tanpa hak yang layak. Di sisi lain, mereka menghadapi tantangan baru yang jauh lebih kompleks: digitalisasi dan revolusi industri 4.0.

Tantangan ini bukan hanya soal upah atau jam kerja, tetapi menyangkut eksistensi pekerja manusia di tengah derasnya arus otomatisasi. Pertanyaannya, apakah serikat pekerja siap menjawab tantangan ini, ataukah mereka akan tertinggal di belakang oleh perubahan zaman?

Sejarah Panjang Perjuangan Buruh

Gerakan buruh tidak pernah lahir di ruang kosong. Ia tumbuh dari kondisi kerja yang keras dan tidak manusiawi. Pada abad ke-19, buruh bisa dipaksa bekerja hingga 16–19 jam sehari. Robert Owen, seorang pengusaha sekaligus reformis sosial asal Inggris, menggagas kampanye yang legendaris: “Eight Hours Movement”, membagi waktu sehari menjadi tiga bagian—delapan jam bekerja, delapan jam beristirahat, dan delapan jam untuk keluarga.

Kampanye itu kemudian dilanjutkan oleh Tom Man pada 1884, yang berhasil mendesak Trades Union Congress menetapkan aturan kerja delapan jam sehari. Dari sinilah lahir Hari Buruh pada 1 Mei, yang hingga kini diperingati sebagai momentum solidaritas pekerja sedunia.

Di Indonesia, peringatan Hari Buruh sempat dilarang di era Orde Baru, namun akhirnya diakui kembali pada tahun 2014 sebagai hari libur nasional. Semua ini adalah bukti bahwa suara buruh, bila terorganisir, mampu mengubah arah sejarah.

Serikat pekerja adalah pilar utama dalam perjuangan itu. Ia menjadi ruang bagi pekerja menyampaikan keluh kesah, memperjuangkan hak, sekaligus menjembatani dialog dengan manajemen maupun pemerintah. Tanpa serikat, pekerja cenderung tidak memiliki posisi tawar.

Sayangnya, serikat pekerja di Indonesia sering dicap negatif. Ada anggapan bahwa serikat adalah organisasi “kasar”, “ribut”, atau “pemicu mogok”. Stigma ini membuat sebagian pekerja enggan terlibat. Padahal, keberadaan serikat justru penting agar aspirasi buruh tidak tercecer.

Di dalam keluarga, anak bisa mengadu pada orang tua. Demikian pula di perusahaan, pekerja membutuhkan ruang yang aman untuk bersuara tanpa rasa takut. Serikat hadir sebagai wadah itu. Melalui forum bipartit, serikat bisa menyalurkan aspirasi, mencari solusi, bahkan menemukan jalan tengah antara kepentingan buruh dan manajemen.

Namun, agar citra itu berubah, serikat pekerja perlu membuktikan diri sebagai organisasi yang bukan hanya piawai melakukan aksi jalanan, tetapi juga mampu menghadirkan solusi strategis di tengah perubahan industri.

Era Digitalisasi: Ancaman atau Peluang?

Kini, buruh dihadapkan pada tantangan baru: digitalisasi. Otomatisasi pabrik, mesin robotik, kecerdasan buatan, hingga layanan berbasis aplikasi telah mengubah wajah dunia kerja. Pekerjaan manual yang dulu dikerjakan ribuan orang kini bisa digantikan mesin dalam hitungan detik.

Contohnya jelas. Di pabrik rokok, banyak proses manual kini tergantikan mesin modern. Di jalan tol, petugas gerbang bergeser menjadi sistem pembayaran otomatis. Bahkan di sektor jasa, algoritma menggantikan sebagian besar pekerjaan administratif.

Apakah ini berarti buruh akan hilang? Tidak. Tetapi tanpa kesiapan, buruh bisa tergilas. Inilah medan baru perjuangan serikat: memastikan pekerja tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dalam dunia digital.

Digitalisasi sebenarnya menghadirkan dua wajah. Bagi yang siap, ia membuka peluang besar: bisnis online, keterampilan digital, pekerjaan kreatif yang tak tergantikan robot. Namun bagi yang tidak siap, ia adalah bencana yang menghapus mata pencaharian.

Tugas Baru Serikat: Pendidikan dan Literasi Digital

Serikat pekerja harus menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Mereka tidak bisa hanya fokus pada isu klasik seperti kenaikan upah atau jam kerja. Di era baru ini, isu utama adalah kompetensi.

Pekerja perlu didorong untuk meningkatkan keterampilan—upskilling dan reskilling—agar mampu mengisi ruang pekerjaan yang tidak bisa digantikan mesin. Kreativitas, keterampilan interpersonal, dan literasi digital adalah kunci.

Serikat harus bertransformasi menjadi pusat pendidikan pekerja. Mereka bisa menggelar pelatihan, bekerja sama dengan lembaga pendidikan, atau bahkan mendorong perusahaan menyediakan program pelatihan. Serikat juga harus mengedukasi anggotanya untuk lebih adaptif, berpikir kritis, dan kreatif dalam menghadapi tantangan zaman.

Jika dulu serikat memperjuangkan jam kerja delapan jam, maka kini perjuangan barunya adalah memastikan buruh mampu bekerja di sektor yang relevan dengan kebutuhan industri digital.

Kapitalisme Global dan Ancaman Eksploitasi Baru

Di balik digitalisasi, ada persoalan besar lain: kapitalisme global. Para pemodal cenderung memilih mesin karena lebih murah dan efisien. Manusia dianggap tidak produktif, mudah lelah, dan menuntut hak.

Kita menyaksikan ribuan buruh kehilangan pekerjaan karena perusahaan besar memilih efisiensi. Gudang Garam, misalnya, pernah melakukan PHK besar-besaran. Di sektor energi, kebijakan impor yang terpusat hanya pada satu pintu membuat SPBU swasta harus merumahkan karyawan. Semua ini menunjukkan bahwa buruh kerap menjadi korban dari kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada modal.

Musuh sejati buruh bukanlah sesama pekerja, melainkan sistem kapitalisme yang merajalela. Jika serikat tidak mampu membaca arah kebijakan, maka buruh akan terus dirugikan. Serikat harus menjadi garda depan dalam melawan kebijakan yang tidak adil dan memastikan pekerja tetap memiliki ruang hidup yang layak.

Peran Pemerintah: Penengah atau Penonton?

Tidak bisa dipungkiri, pemerintah memiliki peran vital. Sayangnya, pemerintah sering terjebak dalam tarik-menarik kepentingan. Di satu sisi, buruh menuntut kesejahteraan. Di sisi lain, pengusaha mengancam akan memindahkan investasi ke luar negeri jika tuntutan buruh dipenuhi.

Dalam posisi itu, pemerintah sering memilih jalan tengah yang justru tidak memihak buruh. Padahal, pekerja adalah tulang punggung ekonomi. Tanpa mereka, roda produksi tidak akan berjalan.

Sudah saatnya pemerintah lebih serius hadir. Kementerian Ketenagakerjaan harus menjadi garda depan, bukan sekadar regulator. Pendidikan keterampilan digital, perlindungan sosial, hingga program pelatihan harus diprioritaskan. Pemerintah juga harus berani menolak tekanan pengusaha yang hanya memikirkan keuntungan.

Solidaritas Baru di Era Disrupsi

Serikat pekerja di era digital harus memperluas ruang solidaritasnya. Mereka tidak bisa hanya bergerak di sektor formal. Dunia kerja kini sangat cair: pekerja kontrak, gig worker, pekerja lepas, bahkan pekerja berbasis platform digital. Mereka juga membutuhkan perlindungan dan wadah aspirasi.

Solidaritas lintas sektor harus dibangun. Serikat harus merangkul pekerja di berbagai bidang, membangun aliansi, dan memperkuat jaringan. Jika dulu perjuangan buruh hanya soal pabrik dan industri, kini perjuangan harus meluas ke dunia digital.

Penutup: Menolak Tertinggal, Menyongsong Masa Depan

Serikat pekerja adalah warisan perjuangan panjang. Mereka lahir dari keringat dan air mata, dari sejarah penuh penderitaan. Namun untuk bertahan, serikat tidak boleh hanya bernostalgia. Mereka harus bertransformasi.

Digitalisasi tidak bisa dihentikan. Menolaknya sama saja dengan menolak roda sejarah. Yang bisa dilakukan adalah memastikan bahwa perubahan ini tidak menggilas buruh, melainkan justru membuka peluang baru. Serikat pekerja harus hadir sebagai pelopor adaptasi, pendidik, sekaligus benteng terakhir pekerja.

Perjuangan buruh di era digital bukan lagi sekadar menuntut upah, tetapi memastikan manusia tetap berharga di tengah dunia yang semakin dikuasai mesin. Serikat pekerja harus berani berdiri di garis depan, melawan kapitalisme yang eksploitatif, memperjuangkan pendidikan dan keterampilan, serta menegakkan keadilan sosial.

Jika serikat mampu menjawab tantangan ini, maka mereka tidak hanya akan bertahan, tetapi justru akan memimpin pekerja memasuki masa depan. Masa depan di mana buruh tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai kekuatan yang mampu menggerakkan bangsa menuju keadilan dan kemanusiaan.(*)

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news