SINTETA 2025: Menyatukan Kearifan Lokal, Inovasi Teknologi, dan Hilirisasi Pertanian untuk Indonesia Berkelanjutan

20 hours ago 3

Exhibition Scoopy x Kuromi - Klikpositif

KLIKPOSITIF — Suasana Aula Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas pagi itu terasa hangat dan khidmat. Lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Salim membuka rangkaian acara Seminar Nasional Teknologi Pertanian (SINTETA 2025). Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun bergema, dipimpin oleh Amanda Iba Suci, disusul dengan Tari Pasambahan dari Unit Kegiatan Seni Universitas Andalas sebagai simbol penyambutan tamu kehormatan.

SINTETA tahun ini mengangkat tema besar “Inovasi Teknologi Pertanian untuk Pertanian Ramah Lingkungan dan Ekonomi Berkelanjutan.” Acara ini dibuka oleh Sekretaris Rektor Universitas Andalas, Dr. Aidinil Zetra, MA, mewakili Rektor, dan turut dihadiri oleh Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Dr. Ir. Alfi Asben, M.Si., para dosen, mahasiswa, serta tamu undangan dari berbagai institusi.

Neswati, selaku ketua pelaksana menyampaikan bahwa SINTETA 2025 tidak hanya menjadi ajang berbagi ilmu, tetapi juga wahana membangun sinergi antara akademisi, pemerintah, dan pelaku industri untuk memperkuat sektor pertanian Indonesia di era modern.

Sesi pertama menampilkan Feri Arlius, yang berbicara tentang “Kearifan Lokal dan Teknologi Informasi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.” Dengan gaya penyampaian yang inspiratif, beliau menekankan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh memutus hubungan manusia dengan akar budaya dan pengetahuan tradisionalnya.

“Teknologi informasi tanpa kearifan lokal akan melahirkan kemajuan tanpa makna. Sebaliknya, kearifan lokal tanpa teknologi akan tertinggal dalam arus perubahan,” ujar Feri di hadapan ratusan peserta.

Ia mencontohkan sistem-sistem tradisional seperti hutan larangan di Riau, sasi di Maluku, dan awig-awig di Bali sebagai bentuk kearifan lokal yang menjaga keseimbangan alam. Jika prinsip-prinsip itu dipadukan dengan teknologi modern seperti IoT, AI, dan big data, maka pengelolaan sumber daya alam bisa lebih efisien sekaligus berkelanjutan.

Bagi Feri, sinergi ini bukan sekadar wacana, melainkan arah baru bagi pembangunan nasional yang berakar pada nilai budaya dan berwawasan lingkungan.

Pembicara kedua, Efri Mardawati dari Universitas Padjadjaran, membawa audiens menyelami dunia biorefineri sebuah konsep yang mengubah limbah pertanian menjadi produk bernilai tambah.

Melalui paparannya berjudul “Inovasi Teknologi Konversi Biomassa melalui Penerapan Biorefineri dalam Rangka Hilirisasi Bioproduk Agroindustri Berkelanjutan,” beliau menjelaskan bahwa Indonesia menyimpan potensi biomassa yang luar biasa besar.

“Limbah pertanian bukan sekadar sisa, tetapi sumber daya yang belum digarap,” ujarnya. Efri mencontohkan berbagai hasil riset dan praktik yang telah dikembangkan, seperti pembuatan selulosa bakteri dari limbah agroindustri, biorefineri tandan kosong kelapa sawit (TKKS), hingga pengembangan perekat alami ramah lingkungan.

Namun, menurutnya, hilirisasi bukan sekadar tentang teknologi dan produksi, melainkan tentang pemerataan manfaat. “Kita harus memastikan bahwa petani dan masyarakat desa ikut merasakan hasil dari inovasi ini. Di situlah letak keadilan sosial dalam pembangunan pertanian,” tegasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya dukungan kelembagaan, inkubasi bisnis, serta kolaborasi riset antara universitas, pemerintah, dan pelaku industri agar hilirisasi dapat berjalan secara berkelanjutan.

Sesi ketiga diisi oleh Prof. Dr. Ir. Desrial, M.Eng., IPU, APEC Eng, dari IPB University sekaligus Tenaga Ahli Kementerian Pertanian RI. Dalam materinya “Program Hilirisasi Komoditas Pertanian untuk Ketahanan Pangan Nasional,” beliau memaparkan capaian besar sektor pertanian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Menurutnya, keberhasilan swasembada beras yang awalnya ditargetkan empat tahun, kini dapat tercapai hanya dalam satu tahun. Bahkan, Indonesia kini memiliki cadangan beras sebesar 4,2 juta ton dan tidak lagi melakukan impor.

Desrial menjelaskan bahwa keberhasilan tersebut tidak terlepas dari sinergi antara mekanisasi pertanian, peningkatan produktivitas, serta hilirisasi komoditas pertanian.

“Hilirisasi bukan hanya strategi ekonomi, tetapi juga pondasi kemandirian pangan,” ujarnya.

Ia mencontohkan potensi besar komoditas gambir di Sumatera Barat yang kini tengah dikembangkan pemerintah dengan rencana pembangunan dua pabrik pengolahan gambir serta kerja sama riset dan kunjungan ke luar negeri untuk memperkuat industri hilir.

“Indonesia harus bertransformasi dari pengekspor bahan mentah menjadi produsen utama produk olahan bernilai tinggi,” tegasnya dengan optimis.

Seminar Nasional Teknologi Pertanian (SINTETA 2025) menjadi bukti nyata bahwa ilmu pengetahuan, inovasi teknologi, dan nilai budaya dapat berpadu untuk membangun masa depan pertanian Indonesia. Melalui tiga perspektif besar kearifan lokal, biomassa berkeadilan, dan hilirisasi pangan nasional para pakar menegaskan bahwa keberlanjutan pertanian tidak hanya bergantung pada mesin dan data, tetapi juga pada manusia yang menjaga maknanya.

SINTETA 2025 bukan sekadar seminar, tetapi momentum refleksi bahwa masa depan pertanian Indonesia harus berpijak pada akar tradisi, digerakkan oleh teknologi, dan diarahkan pada kesejahteraan rakyat.

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news