Kau tahu, tidak semua cerita dimulai dengan petir yang membelah langit atau suara jeritan dari hutan yang sepi. Ada justru berawal dalam diam, dalam rutinitas harian yang begitu biasa hingga kita nyaris tak sadar bahwa sesuatu yang besar sedang mengetuk pintu. Cerita ini dimulai di Taratak Marelang, sebuah dusun kecil yang bahkan tak pernah tercatat dalam buku perjalanan atau atlas manapun. Jujur saja, ia lebih seperti nama ditiup angin ke dalam telinga para pengelana, hanya bisa ditemukan oleh mereka yang tersesat atau putus harapan. Letaknya di lereng bukit yang terlalu sunyi untuk disebut megah, tapi terlampau indah untuk sekadar dilupakan. Disana, pagi hari selalu berbalut kabut tipis yang menyerupai napas lembut hutan, dan malam bertabur bintang yang terasa begitu dekat, rasanya bisa kau raih hanya dengan menjulurkan tangan.
Dan di tempat itulah, Ibu menanam bulan.
Bukan, ini bukan kiasan. Sore itu, Ibu benar-benar menggali tanah di pekarangan belakang rumah, tepat di bawah pohon jambu tua yang sudah puluhan tahun jadi saksi bisu berbagai kisah. Gerakannya lamban, tapi pasti. Jemarinya yang keriput mencengkeram erat alat penggali, seolah tahu persis di mana harus berpijak, seolah tanah itu bagian dari dirinya. Tubuhnya yang renta, yang dulu cekatan menumbuk padi atau menenun kain, kini bergerak dengan keanggunan yang menyiratkan niat besar, niat yang entah mengapa, terasa sangat kuno dan dalam. Di tangannya, ia menggenggam sebuah benda bundar berpendar lembut, seolah memendam rembulan kecil di dalam genggaman. Benda itu terbungkus kain tenun usang yang biasa ibu pakai saat menenun benang-benang patah harapan, benang-benang yang katanya ia campur dengan bisikan doa.
“Kain ini, sudah menampung cahaya bertahun-tahun lamanya.” katanya suatu kali.
Aku, Yana, duduk membeku di teras, segelas kosong di tangan, menyaksikan ritual senyap itu dengan perasaan campur aduk. Ada yang tak biasa dalam sorot mata Ibu, ketenangan yang jauh melampaui usianya, seolah ia memegang rahasia alam semesta.
“Bu, itu apa?” tanyaku, suaraku lebih berupa bisikan keheranan, nyaris samar ditelan angin sore.
Ia menoleh, senyumannya muncul seperti cahaya pertama setelah hujan. Kerutan di sudut matanya melengkung, membentuk jejak tawa yang tak pernah pudar, tawa yang entah bagaimana selalu menenangkan.
“Ini bulan, nak. Dulu, waktu kau kecil sekali, sering demam, kau mimpi buruk. Kau terus saja minta Ibu menangkap cahaya, biar mimpi gelapmu takut datang. Maka Ibu ke ladang, memanggil langit, dan malam itu, bulan pecah sedikit di tangan Ibu.”
Aku mengerutkan dahi, mencoba sungguh-sungguh mencari ingatan itu, tapi tak kutemukan apa pun yang menyerupai kisah magis itu. Mungkin itu hanya dongeng yang ia ciptakan, cara Ibu menenangkan ketakutan masa kecilku yang terlalu imajinatif.
“Bu, seriusan mau tanam bulan?”
Ibu mengangguk pelan, tanpa keraguan sedikit pun. Matanya menatap lurus penuh makna yang tak bisa kubaca, tapi yang aku tahu itu penting.
“Ini caranya agar cahaya tidak pergi dari rumah kita,” katanya, suaranya pelan namun menusuk, menancap langsung di hati.
“Setelah Ayahmu pergi, setelah listrik sering padam dan dusun kita tenggelam dalam pekat yang pekat, dan setelah doa-doa kita seringkali menemukan langit, kita butuh cahaya sendiri.”
Ada kesungguhan yang mendalam di wajah Ibu, aura keyakinan yang tak bisa kutertawakan atau kuabaikan. Ia bukan sekadar menanam benda mati. Ia sedang menghidupkan harapan di tengah tanah yang kering kerontang. Dan aku diam-diam takut. Bagaimana jika harapannya tumbuh menjadi sesuatu yang tak bisa lagi dipahami oleh akal sehatku? Bagaimana jika harapannya tumbuh menjadi kenyataan yang mengubah segalanya?
***
Bulan yang ditanam Ibu itu sungguh bukan bola lampu. Bukan pula lentera biasa. Tapi sebongkah cahaya padat, sebesar kelapa, yang berdenyut halus seperti jantung bayi baru lahir, hidup. Dari sela-sela kain tenun usang itu, pendar lembut mengalir, menari di antara jari-jari Ibu saat ia perlahan menurunkannya ke dalam lubang sedalam siku. Tanah yang dingin seolah menerima hangatnya benda itu dengan napas lega, dengan desahan hening. Ia lalu menimbunnya, perlahan, seolah menyelimuti bayi yang terlelap, sangat hati-hati. Setelahnya, ia duduk di samping gundukan kecil itu, menyiramnya dengan air dari kendi tanah liat, lalu membacakan puisi. Bukan puisi dari buku-buku lama yang pernah kulihat di sekolah, melainkan semacam doa yang terdengar seperti gumaman pelan seorang perempuan yang sudah terlalu lama bicara pada dirinya sendiri, pada angin, pada rumput yang tumbuh, bahkan pada sunyi itu sendiri.
Selama 40 malam berikutnya, kami menyiram tanah itu. Rasanya seperti merawat kubur seseorang yang belum mati, sebuah paradoks yang aneh. Ibu menabur abu dupa yang harumnya menenangkan, serpih mimpi yang katanya ia kumpulkan dari bantal-bantal usang yang menyimpan jejak tidur kami, dan melantunkan nyanyian yang tak pernah diajarkan di sekolah manapun, dalam bahasa yang tak bisa dituliskan, namun bisa dirasakan hingga ke relung jiwa, menggetarkan tulang rusukku. Mantra-mantra itu bukan sekadar kata-kata, melainkan getaran, sebuah frekuensi cinta dan keyakinan yang mengalir dari dada Ibu, dari jiwanya yang paling dalam. Aku hanya mengamati dari jendela kamarku, mencatat dengan diam setiap perubahan kecil yang terjadi. Seperti ketika kupu-kupu datang tiap sore, yang biasanya tak ada, atau ketika angin berembus pelan membawa aroma pandan yang begitu khas dari arah yang sama, setiap hari. Setiap pagi, aku memeriksa gundukan itu, mencari tanda, mencari keanehan. Aku mencari yang tak mungkin, dan ajaibnya, Ibu percaya itu akan datang.
Pada malam ke-41, bulan purnama memancarkan cahayanya tepat di atas pohon jambu, sebuah retakan muncul di tanah itu. Bukan retakan kasar yang merusak, melainkan pecahan lembut, seolah membuka jalan bagi sesuatu yang baru, yang harus muncul. Dan sesuatu itu, sungguh-sungguh tumbuh.
***
Bukan pohon. Bukan bunga. Tapi seorang anak perempuan. Ya Tuhan, dari tanah itu, muncul tubuh mungil, matanya bersinar seperti bulan yang memecah kabut, dan setiap jejak langkahnya membuat rerumputan di sekitarnya menyala kehijauan, seolah disentuh sulur-sulur energi yang tak terlihat. Ia tidak menangis. Ia hanya duduk di bawah pohon jambu, memeluk lututnya, menatap kami dengan pandangan suci, tanpa celah, tanpa dosa, tanpa pertanyaan.
Ibu menamainya Sasi
“Sasi Bulang” dalam tradisi lama Taratak Marelang adalah malam perayaan bulan. Namun Ibu berkata, nama itu berarti lebih dari sekadar perayaan.
“Sasi adalah penanda,” ujarnya, suaranya bergetar menahan haru, tapi matanya berbinar bangga.
“Ia tumbuh bukan untuk tinggal selamanya. Tapi untuk mengingatkan dunia bahwa cahaya pernah menyapa bumi, dan bahwa cahaya bisa ditanam bahkan di tanah yang penuh luka.”
Sasi bukan anak biasa, itu pasti. Ia tidak makan, tidak bicara, tidak tidur tapi ia hadir. Dan kehadiran itu, sungguh, sudah lebih dari cukup. Keberadaannya mengubah dusun kami. Air sungai yang dulunya keruh kini menjadi bening sebening kristal, memantulkan langit dengan sempurna, seolah cermin raksasa. Sawah menghijau dua kali panen, bulir-bulir padinya berisi, berlimpah ruah, melebihi apa yang pernah kami bayangkan. Orang-orang yang dulu sering kehilangan arah, tiba-tiba menemukan jalannya, langkah mereka mantap menapaki jalanan dusun yang dulunya sepi, seolah ada kompas tak terlihat di dada mereka. Anak-anak tak lagi takut gelap, justru mereka bermain hingga larut, di bawah pendar Sasi yang menenangkan, tawa mereka mengisi malam. Bahkan burung-burung yang semula enggan hinggap, kini bersarang di sekitar rumah kami, kicauan mereka mengisi udara dengan melodi sukacita yang tak pernah putus.
Orang-orang mulai berdatangan. Dari dusun tetangga, dari kota seberang, bahkan kudengar dari seberang pulau. Mereka datang membawa bayi, membawa bunga, membawa doa yang belum sempat dipanjatkan. Mereka duduk di ruang tamu kami, menatap Sasi seolah ia adalah lilin di tengah badai yang tak kunjung reda. Mereka tidak bicara banyak, hanya memandangi. Kadang mereka menangis, entah karena apa. Kadang tertawa pelan, seperti teringat lelucon lama. Kadang hanya diam saja lama sekali, seperti baru saja mengingat sesuatu yang penting yang telah lama menghilang, sesuatu yang hanya Sasi yang bisa membangkitkan kembali.
Ibu tetap tenang. Wajahnya memancarkan kedamaian, seolah semua kegelisahan dunia tak mampu menyentuhnya.
“Sasi bukan untuk disembah,” katanya lembut pada kerumunan itu, suaranya menembus keramaian.
“Ia untuk disayangi. Ia adalah pengingat bahwa kita semua adalah cahaya. Bahwa kita semua bisa menanamnya.”
***
Namun, tidak semua orang menyukai keajaiban. Kegelapan selalu takut pada terang, bukankah begitu?
Suatu sore yang panas, kepala dusun datang bersama pejabat kota, membawa surat dan segel berwarna merah menyala yang terasa begitu menakutkan. Wajah mereka tegang, mata mereka memancarkan kecurigaan yang menusuk, dan langkah mereka menapak tanah dengan angkuh, seolah mereka pemilik bumi ini.
“Cahaya ini bukan milik pribadi!” seru kepala dusun, suaranya menggelegar, memecah kesunyian Taratak Marelang yang damai.
“Ini sumber energi! Ini potensi ekonomi! Kalian harus serahkan dia pada negara! Ini demi kemajuan!”
Ibu tertawa. Tertawa lembut seperti hujan pertama setelah musim kemarau panjang, tawa yang mengalun tipis, namun memuat kebijaksanaan ribuan tahun, seolah ia sudah tahu akhir dari semua ini.
“Kalau cahaya bisa kalian bungkus dengan segel dan diklaim milik negara. Kenapa selama ini kalian takut pada gelap? Kenapa kalian tak bisa menciptakannya sendiri?” ujarnya.
Malam itu, petugas datang lagi. Kali ini lebih banyak, lebih garang. Mereka membawa jaring, senter, dan wajah-wajah sangar yang tak kenal ampun. Mereka mencoba menyentuh Sasi, hendak membawanya pergi, merebutnya dari kami. Tapi tak satupun bisa. Tangan mereka menembus tubuh Sasi, seperti menembus cahaya mentah, kosong, tak berwujud, tak bisa digenggam. Dan ketika mereka mencoba mencabut tanah tempatnya tumbuh, akar-akar pohon jambu tua itu menjerat kaki mereka bukan dengan marah, melainkan melindungi, seolah tanah itu sendiri menolak dicabut dari akar keajaiban yang telah tumbuh. Petugas-petugas itu jatuh bangun, bingung, ketakutan. Mereka lalu pergi. Dengan takut. Dengan malu. Meninggalkan jejak kebingungan dan kekalahan di tanah basah yang akan segera dihapus hujan.
Dan kami, kami tetap menanam cinta
***
Pada malam ke-99, ketika bulan merangkak naik ke puncaknya, cahayanya membanjiri pekarangan, Sasi berbicara padaku. Suaranya seperti bisikan angin yang membawa melodi kuno dari zaman entah kapan, seperti gemercik air yang jernih, jernih sekali.
“Aku harus kembali,” katanya, matanya menatap langit, memantulkan ribuan bintang yang seolah berkedip mengucapkan selamat tinggal.
“Kenapa?” tanyaku, suaraku tercekat, berusaha menahan tangis yang menggunung di dada, yang rasanya siap meledak kapan saja.
“Bukankah kau baru tumbuh? Bukankah kami baru menemukanmu? Kami baru mencintaimu!”
Ia menoleh padaku, senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang penuh pengertian dan sedikit melankolis, sebuah senyum yang akan selalu kurindukan.
“Karena aku tidak ditanam untuk selamanya, Yana. Aku datang agar manusia tahu jika hati mereka cukup bersih, bulan pun mau tinggal di dada mereka. Bahwa cahaya bisa ditanam, dan tumbuh, meskipun tanahnya penuh luka. Meskipun terasa begitu berat.”
Aku menangis. Air mataku tumpah, membasahi pipi, membasahi bumi, bercampur dengan embun malam. Rasa kehilangan yang menusuk, begitu dalam, seolah sebagian dari diriku ikut pergi. Dan Ibu hanya menatapku penuh haru, air matanya tak menetes, tapi matanya memancarkan kesedihan dan kebanggaan yang sama besar, sebuah kekuatan yang tak tergoyahkan.
“Setiap cahaya datang untuk menyalakan cahaya lain. Sasi sudah membuatmu bersinar, Yana. Sekarang giliranmu. Kau adalah penanda berikutnya, penjaga cahaya.”
Lalu Sasi mencium tanah. Mengucap satu kalimat terakhir, sebuah perintah sekaligus doa yang menggema dalam hatiku, yang takkan pernah pudar. “Jaga Ibu.”
Dan tubuhnya berubah menjadi ribuan partikel cahaya, berkilauan seperti debu peri yang menari. Partikel-partikel itu melayang perlahan, naik ke langit, satu-satu, seperti bintang yang gugur dalam diam, namun naik, bukan jatuh. Perlahan, ribuan partikel itu menyatu kembali dengan bulan, meninggalkan jejak pendar yang begitu kuat di langit malam, seolah bulan itu kini memancarkan memori Sasi. Taratak Marelang terasa hening, namun bukan hening yang kosong, melainkan hening yang dipenuhi memori cahaya dan janji yang abadi.
Sebulan setelah Sasi pergi, Ibu wafat. Tanpa sakit. Tanpa peringatan. Ia hanya tidur di bawah pohon jambu, di tempat ia menanam bulan, dan tak bangun lagi. Wajahnya tenang. Bahkan senyum tipis terukir di bibirnya, seolah baru selesai memeluk cahaya yang paling ia cintai, cahaya yang selama ini ia genggam.
Malam itu, langit di Taratak Marelang terang sekali. Bulan bersinar lebih besar dari biasanya, pendarannya memenuhi setiap sudut dusun, seolah ingin menyentuh bumi sekali lagi, memeluknya dengan hangat, mengucapkan selamat tinggalnya sendiri. Aku mengubur Ibu di tempat yang sama ia menanam bulan, di bawah pohon jambu yang kini terasa begitu sakral, begitu penuh makna. Dan kupahat batu nisan yang sederhana, bertuliskan dengan huruf yang tak sempurna namun penuh rasa, sebuah pengakuan hati
“Disini, Ibu menanam bulan. Dan cahaya itu tumbuh di hati kami selamanya.”
***
Epilog
Kini aku tinggal sendiri. Tapi dusun tak lagi sepi. Malah sebaliknya, ia semakin ramai. Orang-orang datang membawa anak-anak mereka. Mereka bukan lagi mencari mukjizat yang kasat mata, melainkan menanam doa-doa di pekarangan kami, di tanah yang sama tempat Ibu menanam bulan dan Sasi tumbuh. Kadang mereka hanya duduk, diam, merasakan hangatnya tanah yang pernah menyimpan cahaya, menghirup aroma ketenangan yang tersisa. Mereka pulang dengan senyum tipis, dengan mata yang berbinar, seolah telah menemukan sesuatu yang lama mereka cari, sesuatu yang lebih dari sekadar harapan.
Dan setiap tanggal kematian Ibu, bulan turun sedikit lebih rendah. Pendarannya terasa lebih dekat, lebih hangat, seolah ingin berkata
“Cahaya sejati, tidak pernah pergi. Ia hanya berpindah rumah. Dari langit, ke hati yang berani menanamnya.”