“Kau harus tahu, betapa pentingnya lamang tapai ini bagiku. Mungkin sekarang darahku sudah berwarna kehitaman seperti kuah tapai, walau kulit ini putih serupa lamang. Seluruh kebutuhan kami sudah ditopang oleh lamang tapai ini sejak lama.”
“Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Aku akan berusaha selalu ada dalam kehendakmu.”
Kalimat itu meluncur dari mulut Robi, sahabat yang tak pernah lelah menegakkan semangatku, meskipun selama ini aku masih sering menolak keinginannya secara halus. Robi adalah teman sedari kecil. Ia menyimpan rasa yang tak sempat tumbuh sepenuhnya, dan aku—aku membiarkannya tergantung di antara pertemanan dan cinta yang tak pernah jelas arahnya. Bukan karena aku tak menyukai lawan jenis. Aku hanya takut kehilangan sahabat, takut cinta malah menjauhkan, bukan mendekatkan. Di sisi lain, aku sadar, sejak kecil aku dibesarkan dalam ruang yang penuh manja—oleh perempuan yang kupanggil ibu, yang kini telah tiada.
Seminggu setelah ibu meninggal, mau atau tidak aku harus mengambil alih usaha yang sudah ia geluti puluhan tahun—kedai “Lamang Tapai” yang menjadi urat nadi keluarga kami. Itu adalah amanat terakhirnya. Tapi baru saja aku mencoba berdiri, dunia sudah memukulku jatuh; buku resep warisan turun-temurun itu hilang. Kotak kecil tempat ibu biasa menyimpannya kini hanya menyisakan sebuah cincin dan sepucuk surat bertinta emas.
Dalam beberapa hari terakhir, para pelanggan berdatangan seperti biasa, namun menemukan kedai masih tutup. Mereka pun berbalik arah, mencari lamang tapai ke tempat lain. Seingatku, hanya ada dua kedai lamang tapai di kota Padang ini—dan satunya berjarak sekitar sepuluh kilometer dari sini. Aku bisa saja membuat ulang, tapi tanpa resep itu, rasanya akan jadi penghinaan.
“Kau sudah datang ke rumah Etek Lena? Barangkali dia tahu di mana resep itu, atau bisa mencatat ulang dari ingatannya.”
Robi kembali memberi solusi. Ide yang seharusnya datang dari pikiranku sendiri. Tapi Etek Lena memang belum terlihat datang kembali sejak pemakaman ibu minggu lalu. Padahal biasanya, tiap pagi, dialah orang pertama yang menyapa dari depan pintu. Etek Lena tak ubahnya seperti ibuku sendiri. Sejak kecil, ia mengasuh dan mengajariku. Di sela-sela membakar lamang, ia selalu menyelipkan bekal sekolah—selalu ada lamang spesial dan tapai terbaik.
“Rasa asam pada tapai ini akan dibunuh oleh lamang, karena dari mereka kau akan mengenal dunia ini.” Kalimat itu seperti mantranya, tiap pagi sebelum aku berangkat ke sekolah.
Tanpa pikir panjang, aku dan Robi melaju dengan vespa tuanya ke rumah Etek Lena. Kami hanya mendapati gembok besar tergantung di pintu. Seorang tetangga bilang, Etek Lena sudah pulang kampung empat hari lalu. Saat itulah aku tahu, Etek Lena ternyata bukan asli Padang. Kampung halamannya di Batusangkar, tempat lamang tapai menjadi sajian sakral dalam upacara adat dan hari besar keagamaan. Begitu aku baca dari informasi di ponsel.
“Jadi bagaimana? Kita ke Batusangkar? Tapi kita tidak tahu alamat pastinya.”
Robi membuatku ragu, tapi tak ada pilihan lain. Kedai harus berjalan, dan keuanganku hanya bergantung padanya.
Perjalanan Padang–Batusangkar kami tempuh dengan suara vespa tua meraung-raung menembus pikiran. Di tengah perjalanan, di Air Terjun Lembah Anai, Robi kembali bicara tentang perasaannya. Aku menanggapinya datar, lalu mengalihkan pembicaraan soal masa depan usaha.
Setiba di Batusangkar, kami menuju pasar tradisional untuk mencari lepau nasi. Lapar sudah tak tertahankan. Di jalan yang becek, kami melihat banyak pedagang lamang tapai, kebanyakan ibu-ibu paruh baya. Tapi wajah Etek Lena tak tampak dari mereka.
“Ayolah, kita makan dulu. Perutku makin kacau,” keluh Robi.
Selesai makan, aku memberanikan diri bertanya pada seorang pedagang. Namanya Amak Minah. Ia ramah dan bercerita panjang tentang lamang tapai, tapi seperti kuduga, ia tak akan mengungkap resepnya. Lidahku mengenali rasa; tak satu pun lamang tapai di pasar itu menyamai buatan Etek Lena.
Dari Amak Minah, kami mendapat petunjuk tentang satu daerah terkenal akan lamang tapainya—Limo Kaum. Memang tidak jauh dari pasar itu. Kami melaju lagi, mengikuti arah peta di ponsel.
“Dapur Lamang Tapai Marilik.”
Tulisan itu terpampang di depan sebuah lepau di tepi lebuh raya Limo Kaum. Kata Amak Minah, tempat ini penuh kuliner khas.
“Dulu kami sajikan lamang tapai untuk makan ditempat,” kata pemilik lepau. “Tapi karena sekarang sudah jarang orang yang makan lamang tapai di hari biasa, makanya lepau ini sekarang hanya menerima orang yang belanja untuk di bawa pulang saja.”
Ia menyarankan datang ke satu lepau di ujung jalan yang barau buka beberapa minggu ini. Tidak ramai memang, tapi katanya masih saudara jauh. Jadi mungkin kami akan mendapatkan rasa yang berbeda untuk kepentingan penelitian skripsiku, karena aku mengaku seorang mahasiswa yang sedang meneliti tentang lamang tapai ini.
“Lamang Tapai Raso Saisuak.”
Tulisan itu terpampang di lepau terakhir. Tulisan tangan, natural. Aku memesan. Hanya satu sendok kuah tapai sudah cukup. Aku tahu rasanya. Ini buatan Etek Lena.
Pemilik lepau, pria muda bernama Rinto, berkata bahwa baru beberapa minggu ini ia menjual lamang tapai kembali, setelah kedatangan seorang perempuan dari Padang. Adik dari almarhum ibunya. Ia-lah yang kini membuatkan lamang tapai untuk lepau tersebut.
“Boleh aku bertemu ibu itu? Aku butuh data untuk penelitian skripsi” tanyaku.
Rinto menunjuk sebuah rumah gadang di seberang. Aku bergegas menyeberang, meninggalkan Robi yang masih menikmati sepiring lamang.
Tanganku pelan membuka pintu rumah gadang yang memang tidak terkunci, rumah ini seperti tempat tinggal banyak keluarga. Lebih tepatnya mungkin rumah gadang kaum. Mataku liar melihat setiap sudut yang terbuka, kakiku diam-diam menginjak lantai ruang tengah yang sepi. Hanya ada hiasan lama, foto, TV, dan beberapa lukisan yang sudah tua. Di satu ruangan aku melihat seorang Wanita yang sedang menyulam entah apa, dan Aku tahu itu Etek Lena.
“Di sini Etek rupanya. Kenapa Etek menghilang?”
Etek Lena terkejut. Wajahnya berubah. Ia menggiringku masuk ke ruang tamu.
“Kenapa Etek lari sejauh ini? Kenapa bawa buku resep itu? Kenapa tinggalkan kedai kita?” tanyaku.
“Begini nak, kau boleh berprasangka. Tapi—”
“Aku tak terima tapi-tapi. Kembalikan buku resep itu sebelum aku laporkan ke polisi.”
Etek Lena memegang pundakku, memberi isyarat agar suara dikecilkan. Ia tinggal di rumah gadang, banyak orang di sana. Ia mengajakku duduk, menenangkan. Ia tahu betul, bagaimana Aku kepadanya. Sudah terbiasa manja, harus ia turuti semua kehendakku. Aku anak majikannya yang harus dia hormati walaupun majikannya sudah tiada.
“Masih ingat kau waktu SMP dulu? Tangismu meraung-raung karena kehendakmu tak dipenuhi. Kau lempar seisi rumah, dan kau bakar barang-barang di teras. Di antara yang terbakar, ada buku resep itu.”
Aku tercekat. Ingatanku mengambang. Benar, aku terbiasa dimanja. Semua harus kudapat saat itu juga.
“Sejak hari itu, aku simpan resep itu dalam ingatan. Karena bagi kami, resep bukan sekadar takaran, tapi sejarah.”
Aku menunduk. Tak tahu harus berbuat apa.
“Dan ada hal yang kau harus tahu, nak. Tentang dirimu dan resep itu.”
Napas Etek Lena bergetar. Ia bicara pelan.
“Ayahmu dulu jatuh sakit, butuh operasi. Kami tak punya uang. Aku, sebagai ibumu, meminjam pada majikanku, perempuan yang kau panggil Ibu selama ini. Sebagai jaminan, aku menyerahkanmu dan resep keluarga.”
Kata-kata itu menampar keras. Aku bukan anak ibu yang selama ini kupeluk. Aku adalah anak yang tergadai bersama resep.
“Setelah ayahmu meninggal, aku tetap bekerja pada ibumu. Menjadi pengelola kedai. Tapi aku tak pernah berhenti menjadi ibumu, walau dari kejauhan.”
Aku terdiam. Runtuh. Tapi satu hal tetap ada: rasa percaya pada getaran suaranya. Etek Lena tak pernah berdusta.
“Kalau kau ingin resep itu, ibu bisa menuliskannya kembali. Itu juga hakmu. Setiap perempuan dalam kaum kita berhak mewarisinya.”
Bibirku kelu. Dadaku sesak. Aku percaya, tapi luka ini terlalu baru. Terlalu dalam. Aku kira tidak secepat itu dunia bisa berubah, aku harus mengatur dulu semuanya. Nafasku, pikiranku, dan mungkin takdirku.
“Aku tidak tahu harus bagaimana, Tek. Aku kalah. Andai dulu aku dengar saran Etek, mungkin aku tak kehilangan semuanya.”
Etek Lena memelukku. Tangannya gemetar. Suaranya lirih:
“Kau telah membakar leluhurmu, nak. Tapi kau masih bisa membangunnya kembali.”
Dan aku pun pergi dari rumah itu, tanpa jawaban. Tak tahu kapan akan kembali. Tapi dalam hati, aku tahu: mungkin saja, dari abu yang terbakar itu, aku akan menemukan rasa yang sejati.
***
Beberapa bulan kemudian, kedai “Lamang Tapai” kembali buka. Tidak semeriah dulu, tapi cukup ramai untuk menghidupkan dapur. Di papan nama, aku tambahkan satu kalimat kecil yang ditulis tangan: “Warisan Raso”. Resepnya kutulis sendiri, hasil dari malam-malam panjang bersama Etek Lena. Robi masih sering datang, kadang membantu di dapur, kadang hanya duduk menikmati segelas kawa dan sepotong lamang.
Kami tidak pernah benar-benar membahas masa lalu lagi. Tapi setiap sendok tapai yang kuhidangkan, ada cinta yang kembali ditanak, ada luka yang pelan-pelan terasa manis.
Lamang tapai—kuliner, warisan, dan ironi hidupku sendiri. Biarkan ia mengajariku tentang apa yang aku tak ingin tahu, menerima apa yang sudah menjadi garis takdirku sendiri. Ibuku masih tetap seorang Wanita yang menjaga resep dan warisan, terlepas ia kandung atau pun angkat. Karena sejatinya Wanita Minangkabau adalah Wanita yang ditetapkan menjaga setiap warisan leluhurnya. Baik harta, ataupun pemikiran dan adat.