Foto ilustrasi. Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluarkan awan panas guguran erupsi pada Minggu (14/1 - 2024). Istimewa
Harianjogja.com, SLEMAN—Gunung Lewotobi Laki-Laki Flores Timur, Nusa Tenggara Timur kembali erupsi pada Selasa (10/12/2024) pada pukul 06.07 WITA dengan menyemburkan kolom abu vulkanik setinggi 2.000 meter di atas puncak.
November lalu, Gunung Lewotobi bahkan sempat menghasilkan kolom abu hingga 12 kilometer pada awal erupsi.
Guru Besar Bidang Ilmu Vulkanologi, Fakultas Teknik UGM, Prof. Agung Harijoko menerangkan tingginya kolom erupsi kali ini menjadi fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurutnya, tipe erupsi Gunung Lewotobi tergolong tipe stromboli dengan kolom erupsi maksimal dua kilometer. Namun kali ini kolom erupsi yang terjadi mencapai hampir lima kali lipat.
"Hal ini menunjukkan adanya dinamika baru dalam aktivitas vulkaniknya," tutur Agung Harjoko, Selasa (3/12/2024).
Selain ancaman langsung dari letusan, Harijoko juga menyampaikan dampak tidak langsung berupa sebaran abu vulkanik yang bisa menjadi masalah serius.
Abu tersebut kata Harijoko dapat merusak tanaman, mengancam kesehatan masyarakat, serta mengganggu aktivitas ekonomi. Termasuk penghentian sementara penerbangan di wilayah tersebut.
"Kondisi ini menjadi tantangan besar, terutama dalam memastikan keselamatan masyarakat dan keberlangsungan aktivitas ekonomi di sekitar wilayah terdampak," katanya.
Meski warga telah dievakuasi, namun mereka masih menghadapi ancaman lain, seperti kerusakan rumah akibat tumpukan abu vulkanik yang berat. Belum lagi risiko kesehatan dari partikel abu halus dan terganggunya pasokan bahan pangan akibat terganggunya transportasi.
"Pemerintah perlu memperhatikan dampak ekonomi yang ditimbulkan, termasuk kerugian di sektor pertanian dan bisnis lokal. Penanganan harus mencakup pemulihan pasca-bencana, seperti bantuan ekonomi untuk petani dan pengusaha kecil yang terdampak," katanya.
Perihal upaya mitigasi bencana, Harijoko menekankan pentingnya sistem monitoring gunung api yang lebih komprehensif untuk memberikan peringatan dini terhadap erupsi yang akurat.
Di Jogja, Harijoko mengungkapkan jika sistem monitoring Gunung Merapi sudah sangat lengkap, menggunakan seismometer untuk mendeteksi gempa vulkanik, geokimia untuk memantau gas vulkanik, serta analisis geologi untuk memahami komposisi magma. "Sistem seperti ini idealnya diterapkan di wilayah lain yang rawan gunung api," katanya Harijoko.
Pengamat Vulkanologi, Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM, Haryo Edi Wibowo menambahkan mitigasi bencana tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan kolaborasi erat dengan akademisi, media dan masyarakat. Sinergi ini diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang tanggap bencana dan mampu bertahan di tengah ancaman geologis.
"Dalam jangka panjang, pemerintah perlu memperkuat sistem mitigasi dengan pendekatan berbasis sains, teknologi, dan edukasi publik. Jika dilakukan dengan baik, langkah-langkah ini tidak hanya mengurangi risiko korban jiwa, tetapi juga meminimalkan dampak ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh erupsi gunung api," tegas Haryo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News