Harianjogja.com, SLEMAN—Kenaikan upah minimum sebesar 6,5% menuai banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai pentingnya perubahan paradigma dari buruh murah ke paradigma produktivitas kerja.
Di kalangan pengusaha, tak sedikit yang meminta keputusan ini untuk ditinjau ulang. Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM, Hempri Suyatna justru melihat potensi perusahaan mampu adaptif terhadap kebijakan ini.
BACA JUGA: Resmi! Pemerintah Terbitkan Aturan Soal Formula Kenaikan UMP 2025
"Jadi saya mungkin di konteks di awal mungkin akan terjadi sedikit guncangan. Tapi saya kira, saya yakin bahwa perusahaan itu akan adaptif ya terhadap mungkin kemampuan-kemampuan untuk kemudian bisa bertahan," kata Hempri dihubungi pada Sabtu (7/12/2024).
Alih-alih terus terpaku pada buruh murah, Hempri menjabarkan soal era produktivitas kerja dengan buruh yang lebih produktif dan efisien. Misalnya, memperkerjakan seorang buruh dengan upah tinggi Rp3 juta akan lebih efisien ketimbang memperkerjakan dua buruh dengan upah Rp2juta. Artinya upah buruh rendah tak selalu berkorelasi dengan pembiayaan yang lebih murah dan efisien.
"Ini yang saya kira harus didorong bahwa Indonesia itu keunggulannya bukan sekedar rupah buruh murah. Tapi kemudian juga adalah produktivitas kerja itu yang saya kira mungkin harus didorong," ujarnya.
"Perusahaan-perusahaan harus juga berpikir bahwa sekarang yang mungkin harus dijadikan sebagai acuan adalah produktivitas kerja bukan sekedar upah buruh murah," tandas Hempri.
Untuk meningkatkan produktivitas kerja, investasi-investasi pada peningkatan kapasitas tenaga kerja imbuh Hempri menjadi penting. Upaya peningkatan kapasitas ini kata Hempri bisa dibantu oleh pemerintah ataupun oleh perusahaan sendiri.
Dengan buruh yang produktivitas kerjanya tinggi, upah tinggi yang diberikan bisa jadi lebih hemat bagi perusahaan dari pada memperkerjakan banyak buruh dengan upah rendah dengan produktivitas kerja yang sama. Paradigma ini lah yang menurut Hempri harus diubah oleh perusahaan.
"Paradigma produktivitas kerja itu yang sekarang harus dijadikan sebagai paradigma untuk perusahaan-perusahaan, termasuk pemerintah. Sehingga bukan zamannya lagi upah burung murah, tapi produktifitas kerja itu yang harus dikejar," tegasnya.
Pemerintah lanjut Hempri harus melakukan dialog dengan perusahaan maupun buruh. Agar guncangan-guncangan terhadap mungkin konteks pertumbuhan ekonomi tidak tterjadivSeperti ketakutan yang timbul akibat upah minimum nasional naik harga barang dan jasa akan naik, harus bisavdistabilkan oleh pemerintah.
"Itu yang harus juga diantisipasi. Fungsi-fungsi pemerintahan harus bagaimana menjaga stabilitas harga, menjaga inflasiannya," kata dia.
Jangan sampai dengan justru gaji naik, tapi kemudian tidak bermakna, tidak berimplikasi pada kesejahteraan lantaran barang-barang jadi tidak bisa terbeli.
"Jangan hanya sekedar kemudian meningkatkan upah minimum, tapi harus juga mendorong mungkin rangkaian-rangkaian kebijakan yang memang bisa mendorong bahwa upah itu kemudian bermakna," lanjutnya.
Yang diharapkan, peningkatan upah ini dapat mengerek pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. "Ketika daya beli meningkat itu kan harapannya pertumbuhan ekonomi juga meningkat," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News