Harianjogja.com, JOGJA—Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan rata-rata upah minimum nasional sebesar 6,5% untuk tahun 2025. Keputusan ini berdasarkan hasil rapat terbatas bersama pihak terkait.
Presiden mengatakan kenaikan ini sedikit lebih tinggi dari usulan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, yang sebelumnya merekomendasikan kenaikan sebesar 6%. Keputusan itu diambil setelah rapat terbatas yang membahas upah minimum sebagai jaring pengaman sosial bagi pekerja, terutama yang bekerja kurang dari 12 bulan.
Presiden menjelaskan bahwa keputusan final diambil setelah melalui diskusi mendalam, termasuk dengan para pimpinan buruh. Presiden juga menekankan bahwa penetapan ini bertujuan meningkatkan daya beli pekerja sambil tetap menjaga daya saing usaha.
Sementara itu, untuk upah minimum sektoral, akan ditentukan oleh Dewan Pengupahan di tingkat Provinsi, Kota, dan Kabupaten. “Untuk upah minimum sektoral akan ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Provinsi, Kota dan Kabupaten,” kata Prabowo, dalam pengumumannya di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, belum lama ini.
BACA JUGA : Pemda DIY Kaji Kenaikan Upah di Lima Sektor Pekerjaan Menjadi UMS pada 2025
Presiden menambahkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan upah minimum ini akan diatur melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Prabowo juga mengatakan kenaikan rata-rata upah minimum nasional sebesar 6,5% karena kesejahteraan buruh adalah sesuatu yang sangat penting. "Kesejahteraan buruh adalah sesuatu yang sangat penting. Kita akan berjuang terus perbaikan kesejahteraan mereka," katanya.
Dalam pertemuan dengan para pimpinan asosiasi dan perwakilan buruh, Presiden menyampaikan bahwa Program Makan Bergizi Gratis untuk anak dan ibu hamil juga merupakan suatu tambahan kesejahteraan untuk buruh. Presiden memutuskan bahwa anggaran rata-rata untuk makan bergizi setiap anak dan ibu hamil yakni Rp10 ribu per hari, sehingga jika buruh memiliki keluarga dengan tiga anak, mereka mendapat bantuan senilai Rp30 ribu per hari atau sekitar Rp2,7 juta per bulan.
Sementara itu Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengatakan bahwa pertemuan Presiden Prabowo dengan pimpinan asosiasi buruh berlangsung di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat siang, selama dua jam lebih. Dalam pertemuannya, Prabowo hanya membahas soal kenaikan upah minimum nasional tahun 2025 sekitar 15 menit.
"Pak Prabowo lebih banyak menjelaskan tentang persatuan ya, bahwa kita harus membangun sama-sama semua kalangan diajak membangun ekonomi yang kuat. Lebih banyak bicara tentang diskusi itu, baru terakhir tentang upah minimumnya hanya sekitar 15 menit lah," kata Said.
Said menilai kenaikan upah minimum nasional ini diterima oleh perwakilan buruh karena mendekati usulan kenaikan sebesar delapan persen. Ia berharap upah minimum sektoral bisa mendekati usulan sebesar delapan persen atau lebih tinggi dari upah minimum kabupaten/kota.
Perlu Transparansi Metodologi Kenaikan UMP
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan perlu ada keterbukaan metodologi penghitungan Upah Minimum Provinsi (UMP). Hal itu penting, agar kebijakan yang diambil dapat mencerminkan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha.
Apindo berharap adanya penjelasan terkait dasar perhitungan yang digunakan untuk menentukan kenaikan UMP sebesar 6,5%. "Hingga saat ini, belum ada penjelasan komprehensif terkait metodologi perhitungan kenaikan ini, terutama apakah telah memperhitungkan variabel produktivitas tenaga kerja, daya saing dunia usaha, dan kondisi ekonomi aktual," kata Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, beberapa waktu lalu.
BACA JUGA : Upah Minimum Sektoral Naik di Atas 6,5%, Begini Tanggapan Apindo DIY
Penjelasan penetapan UMP 2025 juga diperlukan bagi dunia usaha untuk mengambil sikap ke depan terhadap ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih terus berlanjut. Apindo, lanjut Shinta, berpandangan kenaikan UMP yang cukup signifikan ini akan berdampak langsung pada biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional perusahaan, khususnya di sektor padat karya.
"Dalam kondisi ekonomi nasional yang masih menghadapi tantangan global dan tekanan domestik, kenaikan ini berisiko meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional. Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru,” katanya.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, mengatakan bagi dunia usaha, kenaikan upah minimum ini bukan tentang setuju atau tidak setuju, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu untuk memenuhi kenaikan tersebut. Jika perusahaan tidak mampu menanggung kenaikan biaya tenaga kerja, maka keputusan rasional terhadap penghitungan usaha akan dapat terjadi ke depan.
“[Perhitungan usaha] yaitu penundaan investasi baru dan perluasan usaha, efisiensi besar-besaran yang dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja, atau keluarnya usaha dari sektor industri tertentu,” katanya.
Bob juga menilai, Apindo selama ini telah berpartisipasi secara aktif dan intensif dalam diskusi terkait penetapan kebijakan upah minimum dan berharap masukan sebelumnya menjadi pertimbangan. "Kami telah memberikan masukan yang komprehensif dan berbasis data mengenai fakta ekonomi, daya saing usaha, serta produktivitas tenaga kerja. Namun, masukan dari dunia usaha sebagai aktor utama yang menjalankan kegiatan ekonomi nampaknya belum menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan," kata Bob.
Hal itu menjadi perhatian serius, lanjut Bob, karena kebijakan yang tidak seimbang dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan bagi keberlangsungan usaha dan penciptaan lapangan kerja. Ia berharap Presiden dapat mendengarkan aspirasi pengusaha sebagai pemberi kerja yang juga ingin pekerjanya maju dan berkembang.
Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Bakrie, meminta pengusaha untuk menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan menyusul kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5% pada 2025. Anindya meminta agar perusahaan mengambil berbagai langkah agar kebijakan kenaikan UMP tidak berdampak pada peningkatan angka pengangguran. "Kita tentu ingin mencoba dari perusahaan, dari Kadin mengimbau, [perusahaan] melakukan segala macam cara supaya tidak ada PHK," kata Anindya.
BACA JUGA : Serikat Pekerja Kulonprogo Minta Kenaikan UMK 2025 Minimal 7%
Menurutnya, PHK seharusnya menjadi opsi terakhir yang diambil pengusaha. PHK hanya akan menambah populasi masyarakat yang kehilangan pendapatan, sehingga memperburuk kondisi ekonomi.
Kenaikan UMP Diiringi Kenaikan Sektor Lainnya
Kelompok buruh Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menyebut kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5% pada tahun depan "tidak ada artinya" jika pemerintah memberlakukan setidaknya sepuluh kebijakan baru yang membebani kelas pekerja.
Kebijakan yang mereka sebut antara lain kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, kenaikan iuran BPJS kesehatan, perubahan subsidi KRL berbasis NIK, pembatasan subsidi BBM, dan iuran Tapera. Pengamat ekonomi dari Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa dengan asumsi inflasi tahun depan 4%, maka kenaikan upah pekerja sesungguhnya cuma 2,5%. Dampaknya, kata Bhima, wacana Presiden Prabowo Subianto meningkatkan daya beli pekerja akan sulit terwujud.
Sementara itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia, Bob Azam, bilang kenaikan upah yang ideal menurut hitungan lembaganya hanya sebesar 3,5%. Mereka berpijak pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang pengupahan.
Terbebani Pajak Naik
Salah satu buruh pabrik di Jogja, Windhy, mengaku pasrah ketika mendengar pengumuman dari Presiden Prabowo Subianto soal besaran kenaikan upah minimum rata-rata nasional 6,5%. Sebab kalau diuangkan, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY hanya akan mencapai Rp138.000.
Angka itu tidak jauh berbeda dari kenaikan tahun-tahun sebelumnya yang tak pernah lebih dari Rp150.000. Pada 2024, UMP DIY adalah Rp2.125.897. Jika dikalkulasi dengan kenaikan 6,5%, jumlahnya menjadi Rp2.264.080.
Perempuan 24 tahun ini mengatakan upah sebesar itu terlalu mepet untuk memenuhi kebutuhannya beserta suami dan anaknya yang berusia 15 bulan. "Rasanya sama saja karena biasanya upah naik itu per tahun Rp100.000, Rp120.000, Rp150.000 gitu,” katanya, Minggu (1/12/2024).
BACA JUGA : Resmi! Pemerintah Terbitkan Aturan Soal Formula Kenaikan UMP 2025
Windhy bekerja sebagai penjahit di pabrik konveksi. Setiap hari dia bekerja dari jam 07.00 hingga 15.00 WIB. Sebagai pegawai baru, Windhy mendapat kerja lembur satu hingga dua jam. Dari lembur itu, dia bisa mendapatkan tambahan Rp150.000 per bulan.
Tambahan pemasukan Windhy dari suaminya yang bekerja di bengkel juga tidak terlalu besar. Si suami dibayar per hari, itu pun berdasarkan jumlah jasa service yang dia lakukan. Semua uang hasil keringatnya dan suami, kata Windhy, dipakai untuk kebutuhan keluarga.
Pengeluaran terbesar mereka adalah cicilan utang ke bank dan keperluan sehari-hari yang jumlahnya bisa sampai Rp2 juta. "Popok bayi dan susu itu lumayan besar pengeluarannya," kata Windhy.
Hal tersebut yang membuat Windhy merasa kenaikan upah 6,5% tidak bisa menutupi mahalnya harga-harga kebutuhan pokok tahun depan. Belum lagi ada rencana kenaikan PPN 12%, wacana kenaikan harga BBM, dan iuran BPJS kesehatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News