Rencana Whoosh hingga Banyuwangi Dikritik: Risiko Proyek Elitis

4 days ago 10

 Risiko Proyek Elitis Kereta api cepat Jakarta/Bandung Whoosh. / Antara

Harianjogja.com, JOGJA—Pakar Pelayanan Publik UMY Atik Septi Winarsih menilai rencana pemerintah memperpanjang jalur kereta cepat Whoosh hingga Banyuwangi bersifat elitis dan tidak berangkat dari kebutuhan masyarakat.

Atik yang juga dosen Ilmu Pemerintahan ini mengingatkan pemerintah sebaiknya tidak mengulangi kesalahan masa lalu, seperti pembengkakan biaya proyek KCIC Jakarta–Bandung yang membebani fiskal negara. Menurutnya, proyek besar seperti kereta cepat harus dilandasi perhitungan ekonomi matang dan transparansi pembiayaan yang ketat.

“Proyek Whoosh Jakarta–Bandung saja masih menyisakan beban hutang yang belum lunas. Mungkin dulu perhitungannya tidak terlalu cermat karena lebih banyak dorongan politis ketimbang rasional ekonomi,” kata Atik sebagaimana rilis yang diterbitkan Humas UMY.

Jika proyek tersebut dipaksa untuk dilanjutkan dengan rute yang lebih panjang. Menurutnya proyek tersebut berpotensi menjadi kebijakan elitis yang tidak didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat pengguna.

“Apabila masyarakat merasa belum membutuhkan jalur kereta cepat, maka proyek ini berisiko menjadi kebijakan elitis yang dipaksakan. Pemerintah seharusnya mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar mewujudkan ambisi pejabat atau presiden,” ujarnya.

Ia menambahkan keberhasilan proyek transportasi publik tidak diukur dari kecanggihan teknologi atau panjang rutenya. Melainkan dilihat dari manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat. Tanpa keberpihakan pada kepentingan publik, kebijakan tersebut hanya akan menjadi proyek simbolik tanpa nilai pelayanan.

“Dari perspektif tata kelola pelayanan publik, setiap proyek strategis harus memenuhi indikator kebermanfaatan sosial dan ekonomi yang jelas, terutama bagi warga Jawa Timur dan Banyuwangi,” katanya.

Atik membeberkan setidaknya tiga indikator penting yang perlu diperhatikan agar proyek kereta cepat Whoosh sampai Banyuwangi tidak sekadar menjadi prestise politik. Pertama, pemberdayaan tenaga kerja lokal di sepanjang jalur proyek dan kawasan sekitar stasiun.

Kedua, pemanfaatan aset dan sumber daya daerah agar keuntungan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh investor atau kontraktor dari luar. Ketiga, penetapan harga tiket yang terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah agar transportasi publik ini benar-benar inklusif.

“Kalau hanya bisa dinikmati kalangan tertentu, maka prinsip pelayanan publiknya sudah hilang,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news