Terapkan Kurikulum Anti Mainstream dan Tanpa Seragam, Siswa Salam Mampu Meriset hingga Memproduksi Sabun

7 hours ago 4

Terapkan Kurikulum Anti Mainstream dan Tanpa Seragam, Siswa Salam Mampu Meriset hingga Memproduksi Sabun Aktivitas siswa Sanggar Anak Alam (Salam). - Instagram.

Harianjogja.com, BANTUL—Dominasi sistem pendidikan nasional yang seragam dan terpusat nyaris terjadi di semua lini pendidikan. Namun Sanggar Anak Alam (Salam) di Kampung Nitiprayan, Kasihan, Bantul, tampil sebagai anomali yang konsisten dan penuh perlawanan.

Sekolah alternatif ini berdiri sejak akhir tahun 1980-an dengan satu visi besar dari pendirinya, Sri Wahyaningsih mengembalikan pendidikan pada hakikatnya dan membantu manusia menemukan dirinya. Menariknya sekolah ini menerapkan kurikulum anti mainstream tak seperti sebagian besar lembaga pendidikan.

“Indonesia ini sangat beragam, tapi kurikulumnya hanya satu. Itu tidak masuk akal,” kata Wahya dalam acara sharing session pendidikan dan pelatihan pengembangan sumber daya manusia yang digelar Kementerian Dalam Negeri, Senin (30/6/2025). 

Ia mendirikan Salam karena melihat kegagalan sistem pendidikan formal dalam memahami keunikan tiap anak. Maka, sanggar tersebut mengembangkan kurikulum kontekstual, berbasis riset, dan disesuaikan dengan minat masing-masing anak.

Di Salam, tak ada seragam, tak ada mata pelajaran yang dipaksakan, dan tak ada guru dalam pengertian konvensional. Peran guru digantikan dengan “fasilitator” yakni pendamping yang membantu anak mengakses ilmu sesuai minat mereka. Anak-anak didorong melakukan riset, mengamati lingkungan, dan belajar dari narasumber yang relevan, termasuk dari luar sekolah.

BACA JUGA: Pendaftaran SPMB di SMPN 5 Jogja: Jalur Domisili Kebanjiran Pendaftar, Jalur Afirmasi Masih Sepi

“Kalau ada yang tertarik dengan motor custom, fasilitatornya bisa mencarikan mentor dari bengkel. Kalau ada yang riset tentang gunung purba, narasumbernya bisa profesor geologi dari UPN,” kata Wahya.

Pendekatan ini menghasilkan proses belajar yang hidup dan menyenangkan. Dari anak usia PAUD yang riset tentang buto ijo, hingga siswa SMA yang sudah memproduksi sabun alami dan mengekspornya ke Belanda.

Wahya tidak segan mengkritik sistem pendidikan nasional yang ia anggap birokratis, tak relevan, dan tertinggal zaman. Baginya, sistem saat ini hanya mengganti kurikulum tiap kali menteri baru datang, tanpa ada arah jangka panjang.

“Kalau guru masih ngajar dengan metode lama, kita sudah kalah sama Google dan AI. Mau dikasih PR, tinggal cari di internet, selesai,” ujarnya.

Pembelajaran tidak didasarkan pada hafalan atau ujian standar. Bahkan, salah satu siswa pernah menulis surat terbuka menolak ujian nasional karena menganggap kecerdasan tidak bisa ditakar dari soal pilihan ganda. Kini, siswa tersebut terlibat dalam proyek pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar.

Selain itu menganut filosofi trisentral dalam mendidik karakter: keluarga sebagai pendidik utama, sekolah sebagai fasilitator, dan masyarakat sebagai ruang praktik. Orang tua aktif mendampingi proses belajar anak dan turut menulis buku tentang pengalaman mereka.

Karakter anak tidak dibentuk lewat ceramah atau tata tertib seragam, tapi lewat praktik nyata seperti memilah sampah di rumah, menghormati sesama, dan memahami konsekuensi dari setiap tindakan. Anak boleh gondrong, bertato, bahkan piercing, selama mereka paham konsekuensi sosialnya dan bertanggung jawab.

Bagi Wahya, keberhasilan pendidikan adalah ketika anak tahu siapa dirinya dan apa perannya di dunia. Banyak alumni yang sudah mandiri sejak usia sekolah, ada yang membuat film dokumenter, menulis novel, jadi ilustrator, hingga membangun komunitas di desa. Semua berangkat dari proses menemukan potensi, bukan mengejar nilai.

BACA JUGA: Residivis Ditangkap Seusai Transaksi 1 Ons Sabu, Terindikasi Jaringan Lapas

“Banyak anak lulus S1 tapi masih bingung mau ngapain. Anak-anak dari kecil sudah tahu minatnya, sudah punya karya, bahkan usaha,” ujar Wahya.

Sekolah ni meluncurkan tiga buku PAUD ala SALAM, Sekolah Bisa Semerdeka Ini (ditulis orang tua), dan Taman Anak Bercerita (karya anak-anak). Hal ini diklaim bukan sekadar dokumentasi, tapi bukti bahwa pembelajaran alternatif bukan wacana kosong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news