“Apa keluhan Anda?”
“Boleh saya ceritakan kronologinya, Dokter?”
“Silakan.”
“Tapi karena saya cerpenis, mungkin ceritanya agak ngawur bagi Anda, Dokter.”
“Oh. Cerpenis. Semoga cerita Anda tidak mengecewakan saya. Silakan mulai!”
“Tanggal tiga bulan April saya minum espresso yang dicampur lemon.”
“Kalimat pertama yang mengecewakan. Tidak menghentak sama sekali. Tidak ada yang istimewa dengan tanggal tiga dan ramuan kopi. Anda sudah belajar kaki dashi belum?”
“Anda tahu teori cerpen sampai sebegitunya. Anda juga cerpenis, Dokter?”
“Tidak. Sama sekali tidak. Saya cuma suka baca di koran minggu. Analisis saya, hanya ada dua tipikal cerpenis yang memulai dengan kalimat tak menarik seperti Anda tadi: penulis pemula yang sama sekali baru mulai, dan penulis senior yang punya hubungan baik dengan orang-orang di koran tersebut. Melihat informasi yang tertera di kartu pasien ini, Anda belum bisa dianggap senior. Berarti saya simpulkan Anda ini penulis pemula yang mengaku-ngaku sebagai cerpenis.”
“Wow. Anda teliti sekali, Dokter. Saya tak menyangka.”
“Itu salah satu keharusan di profesi saya. Kalau tidak teliti, bisa-bisa terjadi malapraktik. Seharusnya Anda yang mengaku punya profesi sebagai penulis cerpen memiliki ketelitian yang kurang lebih sama. Anda harus mengecek tanda baca, ejaan, keefektifan kalimat, ada tidaknya plot hole, serta plausibilitas cerita, bukan?
Melihat ekspresi Anda, saya duga Anda akan mengomentari komentar yang barusan saya berikan dengan sekali lagi merasa takjub. Itu tidak perlu. Silakan lanjutkan saja cerita Anda. Ada apa setelah Anda minum espresso yang dicampur lemon?”
“Baik, Dokter. Sekitar setengah jam kemudian, saya merasa nadi saya berdetak lebih cepat dari biasa. Jantung berdebar-debar. Napas terengah-engah dan berat.”
“Oke. Lanjut.”
“Saya hendak pulang, tapi waktu itu saya sedang bawa mobil dan menyopir sendiri. Tak ada yang menemani. Juga tak ada yang bisa menggantikan saya mengendarai mobil itu. Dengan kondisi yang seperti itu, saya paksakan diri untuk terus pegang setir. Akhirnya saya panik. Tangan gemetaran. Napas makin berat dan ngos-ngosan.”
“Anda menambah kompleksitas. Lanjut!”
“Saya putuskan untuk mampir di IGD rumah sakit ini. Saya diberi beberapa obat. Juga diberi selang oksigen. Hasilnya mendingan. Saya diperbolehkan pulang.”
“Cepat sekali antiklimaksnya. Mengecewakan.”
“Belum selesai, Dokter.”
“Jangan lanjutkan dulu. Anda masih ingat apa saja obat yang diberi?”
“Ini catatannya, Dokter.”
“Ini Anda catat sendiri? Bagus. Itu baru salah satu tanda Anda itu memang penulis: suka mencatat hal yang bagi orang lain tidak perlu dicatat. Oke. Saya lihat dulu. Iya. Ini obat standar untuk gejala yang Anda alami.”
“Saya membaik, hingga tiga belas hari kemudian saya terpaksa masuk IGD lagi karena gejala yang serupa, tetapi pemantiknya berbeda.”
“Anda memilih menyebut ‘tiga belas hari kemudian’ dibanding ‘tanggal enam belas’ untuk menambah efek mistis dan penekanan kegelapan cerita? Hmm.. Tidak terlalu buruk, tapi tidak istimewa. Itu pilihan kata yang agak terlalu umum sebenarnya. Jadi, apa pemantiknya kali ini menurut Anda?”
“Saya marah dengan anak pertama saya.”
“Informasi menarik. Rupanya Anda sudah punya anak. Bahkan lebih dari satu. Saya sempat berpikir Anda masih gadis.”
“Kedua kali masuk IGD, saya dapat obat yang berbeda. Kali ini saya tidak mencatatnya karena saya ingat beberapa hal dari catatan yang diberikan apoteker. Dua obat pengencer darah dan satu obat yang diletakkan di bawah lidah jika dada kiri terasa nyeri.”
“Lalu Anda dianjurkan untuk menemui saya di poli jantung ini?”
“Tidak, Dokter. Saya langsung dirawat inap. Sesuai dengan kelas asuransi kesehatan saya. Di sebuah ruang dengan dua orang pasien. Saya diobservasi. Melakukan beberapa tes, ambil sampel darah, dan beberapa hal lain.”
“Lanjutkan!”
“Saya ditanya-tanya beberapa hal. Termasuk yang saya rasakan saat mendapatkan ‘serangan’. Maka saya jelaskan bahwa rasanya sungguh menyiksa. Setiap tarikan napas seperti sebuah perjalanan panjang. Saya tak tahu apakah napas yang saya tarik bisa saya embuskan kembali. Maut sepertinya sudah begitu dekat. Dan saya takut. Merasa begitu banyak dosa. Belum siap mati. Meskipun seandainya diberi umur panjang pun, saya juga belum tentu berbuat baik dan punya banyak pahala. Lebih lagi, saya punya satu dosa yang sangat besar. Pada seseorang yang sudah lama sekali tidak saya jumpai dan mungkin hanya akan saya jumpai lagi ketika takdir benar-benar sedang bercanda pada kami berdua. Bukan hanya pada saya. Ataupun hanya padanya. ”
“Anda tahu, sebenarnya masih ada beberapa pasien lagi yang sedang mengantre di luar sana. Tetapi cerita Anda sekarang mulai terasa menarik bagi saya.”
“Pandemi rupanya membuat beberapa bagian rumah sakit jadi begitu sepi, Dokter. Tidak boleh ada yang membesuk. Tidak boleh ada penjaga pasien yang tidak melewati rapid test lebih dulu. Tidak hanya itu, karena anak kami masih kecil dan tidak bisa ditinggal, juga karena kondisi saya sepertinya aman-aman saja meskipun sendirian, maka suami saya tidak menjaga saya di rumah sakit. Ia saya suruh fokus saja dengan anak-anak kami. Saya baik-baik saja, kata saya waktu itu. Tentu saja saya berbohong. Jika saya baik-baik saja, saya tidak akan masuk rumah sakit dan dirawat. Kalimat itu saya ucapkan di telepon supaya lelaki itu tidak bertambah-tambah beban pikirannya. Merawat anak kecil itu repot sekali, Dokter.
Di tengah kesunyian rumah sakit, saya merasa benar-benar dalam masalah. Napas saya kembali terengah-engah dan jantung berdebar-debar ketika gorden pemisah pasien tersingkap. Takdir rupanya memang sedang bermain-main pada kami berdua. Bukan hanya pada saya. Tapi juga padanya. Ia tak seharusnya ada di ruangan itu, Dokter. Ia harusnya dapat ruangan dengan hanya satu pasien di dalamnya, tetapi karena pandemi ruangan-ruangan itu telah dipakai untuk isolasi. Ia terpaksa turun kelas.
“Oke. Anda tidak terlalu memaksakan cerita pertemuan ini. Cukup plausibel. Silakan lanjut!”
“Kami sama-sama diam saat pertama kali kembali bertatap mata setelah sepuluh tahun. Tak ada pertukaran kata sama sekali. Sampai para perawat keluar ruangan. Saya tahu dia sedang berusaha mencari kata untuk membuka cerita, tapi itu memang dari dulu bukan kemampuannya. Maka saya yang membuka dengan, ‘Semoga kamu sudah memaafkan aku.’”
“Itu pembuka yang sedikit lebih baik daripada pembuka cerita Anda pada saya.”
“Dia diam saja. Lalu saya mengungkapkan semua penyesalan saya. Betapa bodohnya saya dulu menjerumuskan dia. Diam-diam mencekokinya dengan kenikmatan-kenikmatan yang tidak diperbolehkan. Begitu perlahan hingga ia sepertinya tidak sadar. Hingga akhirnya ia merasa penasaran. Dan kami memulainya. Menyelesaikannya dengan cepat. Lalu mengulangi lagi setiap ada kesempatan.
Saya patah hati ketika mendapat kabar ia akan menikah. Sekarang saya sadar patah hati saya dulu konyol. Orang tua manapun pasti akan memilihkan lelaki mapan untuknya. Saya juga akan melakukan hal yang sama. Saya sadar bahwa saya telah membuatnya berada dalam kesulitan ketika menghadapi malam pertama dengan suaminya.
Dia masih diam, Dokter. Tidak berkata apapun. Lalu saya mulai menangis. Saya ungkapkan bahwa saya benar-benar menyesal meskipun mungkin penyesalan itu tidak berguna. Tapi saya harus menyampaikannya. Sebab maut pernah tampak seperti begitu dekat. Dan saya takut. Merasa begitu banyak dosa. Belum siap mati. Meskipun seandainya diberi umur panjang pun, saya juga belum tentu berbuat baik dan punya banyak pahala. Lebih lagi, saya punya satu dosa yang sangat besar, yaitu padanya.
Dia tetap diam. Tak mengeluarkan kata-kata, tapi ia melangkah ke arah saya. Memegang pipi saya dengan kedua tangannya. Lalu mendaratkan sebuah ciuman. Semula pelan. Kemudian mengganas. Dan ia berujar, ‘Kita punya setengah jam sebelum siapapun datang ke sini.’
“Saya potong dulu di sini. Cerita Anda harus tetap fokus. Saya menikmati adegan terakhir, tapi tolong jangan terjerumus pada pornografi. Ada etika-etika yang harus tetap kita jaga di ruangan ini. Anggap saja semua tahu yang kemudian terjadi. Pangkas saja hingga semua selesai. Lalu fokuskan lagi cerita Anda!”
“Baik, Dokter. Setelah semua selesai, gantian saya yang diam dan dia yang berbicara. Bahwa suaminya jarang menyentuhnya karena sibuk. Bahwa sebenarnya dia memaksakan diri masuk rumah sakit ini pun dalam rangka mencari perhatian suaminya. Sebuah usaha yang tampak sia-sia karena dia tetap ditinggalkan. Hanya diberi fasilitas yang terbaik dari rumah sakit. Serta pesan pada para perawat untuk tidak banyak mengganggunya karena dia butuh banyak istirahat. Ia juga mengatakan bahwa tak lama lagi suaminya akan datang karena jadwal praktik di poli jantung sudah selesai. Tetapi lelaki itu pun datangnya hanya sebentar karena ada jadwal praktik di rumah sakit lain. Wanita itu juga mengakhiri dengan ungkapan bahwa suaminya tak pernah memebahas soal keperawanannya. Sama sekali. Ia seperti dibutuhkan hanya untuk status sosial.”
“Di ruang berapa Anda dirawat saat itu? Di rumah sakit ini? Siapa nama wanita yang Anda ceritakan? Jawab! JAWAB!!!”
“Di awal, saya tidak menyebut tanggal, Dokter. Bukan untuk memberi kesan mistis dengan angka tiga belas, tapi untuk menghindari ingatan Anda tentang sedang apa istri Anda waktu itu.
Dokter, Anda tampak terengah-engah. Apakah Anda baik-baik saja? Sungguh, Dokter, jangan sakit. Sebab sekarang saya juga sedang merasa berdebar-debar dengan napas terengah-engah. Dokter, tolong saya! Apa Anda mau menolong saya, Dokter? Dokter, jangan pingsan dulu. Saya tidak bisa menyelesaikan cerita ini kalau Anda begitu. Dokter! Dokter!
***
ART.
Banyuasin, 27 April 2021-2025