KLIKPOSITIF – Perhimpunan Rumah Makan Padang Cirebon (PRMPC) buka suara perihal razia Rumah Makan Padang yang mereka lakukan beberapa hari yang lalu.
Razia yang dilaksanakan menyasar rumah makan Padang murah di Kota Cirebon tersebut menjadi sorotan publik, dan menjadi pembicaraan warganet di media sosial.
Pantauan Klikpositif pada Rabu (30/10) sore WIB, aksi yang dilakukan oleh PRMPC itu mendapatkan respon negatif dari warganet.
Menurut perhitungan platform media monitoring Brand24, tercatat ada 20.000 lebih percakapan yang menjurus pada aksi demikian.
Dari jumlah tersebut, 80 persen di antaranya merupakan sentimen negatif, yang artinya publik tidak setuju dengan aksi yang dilakukan oleh PRMPC.
Dewan Penasehat PRMPC, Erlianus Taher dalam sebuah keterangannya pada Kompas menyebut bahwa pihaknya tidak bermaksud membawa entis dalam razia tersebut.
“Apalagi dengan keterangan razia masakan padang bukan orang Minang. Kami tidak pernah bicara soal etnis. Jika ini disalahartikan, kami memohon maaf,” katanya.
Ia menjelaskan, aksi tersebut merupakan upaya organisasi PRMPC untuk mengklarifikasi terkait tulisan promo atau bandrol Rp10.000 di warung masakan itu.
Sebelum pencopotan tulisan Masakan Padang yang tertempel di etalase warung, Yunus sudah menghubungi pemilik rumah makan.
Namun, upaya Yunus memberikan penjelasan terhadap pemilik warung tersebut tidak diterima baik dan sempat menolak. Ia khirnya hanya izin mencopot nama masakan padang saja.
Ia menegaskan, PRMPC sendiri merupakan organisasi yang mewadahi pengusaha rumah makan Padang, yang berasal dari Sumbar maupun warga lokal yang non Minang.
Yunus mengklaim bahwa anggota organisasi itu sudah resah dengan keberadaan rumah makan Padang yang mematok harga murah.
Hal itu menurut dia dapat merusak pasaran, dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat bagi sesama pengusaha rumah makan.
Apalagi pihaknya terus berusaha untuk menjaga kualitas rasa masakan dengan menu-menu yang terkenal sebagai makanan terlezat di dunia tersebut.
“Kami sedang berusaha agar harga penjualan masakan padang yang belakang di beberapa daerah serba Rp 10.000, serba Rp 8.000, itu jadi keresahan kami, rumah makan tradisional.”
“Harga-harga tersebut merusak omzet penjualan kami, dengan harga itu kami tidak bisa usaha dengan baik,” pungkasnya.(*)