GIPI Sebut UU Kepariwisataan Baru Sejarah Kelam, Ini Alasannya

11 hours ago 3

Harianjogja.com, JOGJA—Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) menyampaikan kekecewaan mendalam atas pengesahan Undang-Undang tentang Kepariwisataan pada 2 Oktober 2025.

Dalam rilis resminya yang diterima Harianjogja.com, Senin (13/10/2025), GIPI menilai amendemen atas UU Nomor 10 Tahun 2009 ini sebagai "sejarah kelam" bagi industri pariwisata Indonesia karena mengabaikan masukan krusial dari pelaku usaha.

Ada tiga poin utama yang menjadi sorotan dan kekhawatiran serius GIPI terhadap UU baru ini:

1. Eksistensi GIPI Dihapus, BPPI yang Dinilai Mandek Dipertahankan

Kekhawatiran terbesar GIPI adalah dihapusnya Bab XI tentang Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) dalam UU yang baru. GIPI merasa kehilangan "rumah besar" untuk berkolaborasi dan berkoordinasi dengan seluruh stakeholder pariwisata.

Proses Legislasi Dipertanyakan: GIPI menilai penghapusan ini dilakukan tanpa pembahasan sebelumnya dalam berbagai draf RUU.

Usulan Alternatif Ditolak: Usulan GIPI untuk berubah nama menjadi Gabungan Asosiasi Pariwisata atau bertransformasi menjadi Indonesia Tourism Board (ITB) justru tidak dimasukkan dalam UU akhir, meskipun Komisi VII DPR sempat mendorong pembentukan ITB pada Maret 2025.

BPPI Dipertahankan: Ironisnya, Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI), yang dinilai tidak efektif (contohnya, BPPI tingkat nasional tidak dibentuk kembali sejak 2015), justru dipertahankan dalam UU baru.

2. Masalah Pendanaan: Mekanisme BLU Ditolak, Pungutan Wisatawan Khawatir Sulit Diakses

GIPI telah lama mengusulkan konsep Badan Layanan Umum (BLU) Pariwisata. BLU diusulkan agar dana pengembangan pariwisata, yang bersumber dari pungutan terhadap wisatawan mancanegara, dapat diakses dan dikelola secara fleksibel oleh industri.

Adapun alasan GIPI Mengusulkan BLU adalah karena pajak daerah kecil dan efisiensi anggaran. Selama ini kontribusi pajak daerah dari sektor pariwisata (seperti pajak hotel dan restoran) dinilai kecil untuk pengembangan kembali pariwisata. Selain itu, adanya BLU diharapkan dapat menyelaraskan program industri di tengah efisiensi anggaran pemerintah.

Dalam UU baru, konsep pungutan dari wisatawan mancanegara diadopsi (Pasal 57A), tetapi mekanisme BLU ditolak. GIPI khawatir tanpa BLU, dana pungutan ini akan kembali masuk ke kas umum dan sulit diakses untuk tujuan utama pengembangan pasar dan produk wisata.

3. Klasifikasi Usaha Pariwisata Dinilai Stagnan

GIPI juga menyesalkan tidak adanya perubahan pada Bab IV tentang Usaha Pariwisata. Industri telah mengusulkan penambahan jenis usaha baru, seperti Manajemen Usaha Pariwisata (operator hotel dan restoran).

Namun, jenis usaha operasional tersebut tetap digabungkan ke dalam Jasa Konsultan Pariwisata, yang dinilai GIPI tidak tepat karena konsultan tidak terlibat dalam operasional harian.

Dari seluruh proses legislasi yang mengabaikan masukan krusial pelaku usaha ini, GIPI menyimpulkan bahwa pariwisata belum menjadi program prioritas pemerintah dalam pembangunan ekonomi nasional.

"Pemerintah tidak bisa hanya menikmati pendapatan berupa devisa, pajak, dan PNBP dari sektor pariwisata tanpa membantu industri untuk terus mengembangkan pasarnya," tulis GIPI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news