Harianjogja.com, JAKARTA—Harapan menjadikan perempuan sebagai Presiden AS lenyap ketika Donald Trump mengalahkan Kamala Harris untuk menjadi presiden ke-47 di Pilpres AS, Rabu (6/11/2024) lalu.
Lagi-lagi, setelah lebih dari 105 tahun setelah Amandemen ke-19 disahkan untuk melarang negara bagian menolak hak pilih perempuan, dan 59 tahun setelah Undang-Undang Hak Pilih disahkan untuk memastikan bahwa semua perempuan kulit hitam dan orang lain dapat menggunakan hak tersebut, warga Amerika kembali gagal mengirim seorang perempuan ke Gedung Putih.
Ini sekaligus menghancurkan impian para pemilih yang berharap agar Harris dapat membuat sejarah menjadi perempuan pertama yang menjadi Presiden AS.
Kamala Harris menjadi perempuan kedua di AS yang gagal mendobrak batasan gender untuk menjadi presiden, sekaligus menjadi perempuan kedua yang dikalahkan oleh Donald Trump.
Sebelumnya, Hillary Clinton telah lebih dulu kalah dari Trump pada Pilpres AS 2016. Kekalahan Harris membuat Amerika Serikat berada dalam kategori yang sama dengan kebanyakan negara lain di dunia, di mana hanya 7% dari 193 negara yang tergabung dalam PBB yang memiliki perempuan sebagai kepala pemerintahannya. Hanya 30% dari mereka yang pernah memiliki pemimpin perempuan.
Saat menyampaikan pidato konsesinya di Universitas Howard, Harris tidak berbicara tentang kegagalannya dalam hal gender atau ras. Sebaliknya, Harris berbicara langsung kepada para pemilih muda yang berkumpul untuk menemuinya.
“Jangan pernah berhenti berusaha membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, Anda punya kekuatan,” kata Harris dilansir dari Newyorkpost.
Kemenangan Trump, menjadi bukti praktik memilih seseorang untuk menduduki jabatan tertinggi di AS masih belum terpecahkan setelah lebih dari 200 tahun. Dilansir dari washingtonpost, jajak pendapat menunjukkan adanya kesenjangan gender yang besar dalam dukungan terhadap kedua kandidat tersebut, di mana perempuan mendukung Harris dengan selisih 10 poin dan laki-laki mendukung Trump dengan jumlah yang sama namun selisihnya sedikit lebih kecil dibandingkan Pemilu 2020 dan 2016.
Selama kampanye, kedua kandidat mengadopsi pendekatan yang sangat berbeda terhadap persoalan gender.
Berbeda dengan Hillary Clinton pada 2016, Harris meremehkan sifat luar biasa dari pencalonannya yang bisa menjadikannya bukan hanya perempuan pertama yang duduk di Ruang Oval tetapi juga perempuan kulit hitam dan Asia Selatan pertama yang memegang jabatan tersebut.
Sementara itu, Trump menjalankan kampanyenya dengan menggunakan retorika dominan yang menampilkan kekuatan dan kehebatan maskulin. Pada hari-hari terakhir kampanyenya, Trump menyatakan bahwa akan melindungi perempuan, baik perempuan menyukainya atau tidak.
Penelitian ilmuwan politik
Nicholas Valentino, seorang ilmuwan politik di Universitas Michigan bersama rekannya Carly Wayne dan Marzia Oceano mempelajari sikap pemilih pada pemilu 2016.
Mereka menemukan sesuatu yang tidak biasa yang tidak terjadi dalam tiga pemilihan presiden sebelumnya.
Dari hasil penelitian mereka mengungkapkan, orang-orang yang mendapat skor lebih tinggi pada indeks sikap yang agak seksis termasuk dorongan untuk kesetaraan gender yang berlebihan lebih cenderung memilih Trump, bahkan mengendalikan Trump.
Ini menjadi variabel seperti keberpihakan dan ideologi. Pada kampanye 2024, “Harris tidak memainkan peran gender; Trump melakukannya,” kata Susan Faludi, penulis feminis terkemuka Backlash, sebuah buku tentang reaksi balasan terhadap kemajuan hak- hak perempuan.
BACA JUGA: Kamala Harris Akui Kekalahan, Ucapkan Selamat Kepada Presiden Terpilih Donald Trump
Dia menilai Harris “sangat sempurna” selama kampanye singkatnya, sehingga membuat kekalahannya “jauh lebih buruk bagi generasi calon politisi perempuan di masa depan.” Padahal Harris tidak harus melewati serangkaian pemilihan pendahuluan yang panjang seperti halnya sistem parlementer. Ini merupakan sebuah proses yang terbukti menjadi penghalang bagi perempuan untuk mendapatkan jabatan tertinggi.
Sementara itu, Jackson Katz, pembuat film dan penulis yang pernah menulis tentang politik maskulinitas mengatakan presiden memegang peran yang terkait dengan identitas nasional dengan cara yang secara tradisional maskulin sebagai komandan pasukan militer AS, dan kepala keluarga pertama, sehingga mempersulit perempuan mana pun untuk mencoba mendobrak kebiasaan tersebut.
Katz memuji Harris karena berhasil memecahkan salah satu teka-teki yang dihadapi perempuan dalam upaya memimpin di Amerika Serikat, kebutuhan untuk menunjukkan kekuatan dan kesukaan. Kekalahan Harris dapat menimbulkan konsekuensi besar bagi pemilu di masa depan, kata beberapa pakar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com