Kasus KPU Pangkep Bongkar Lemahnya Kontrol Internal Pengelolaan Pemilu di RI

21 hours ago 7
Kasus KPU Pangkep Bongkar Lemahnya Kontrol Internal Pengelolaan Pemilu di RIPengamat politik Muhammad Asratillah (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Skandal korupsi yang menyeret Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pangkep dinilai mencerminkan rapuhnya mekanisme pengawasan dan kontrol internal dalam tata kelola pemilu di Indonesia.

Pengamat politik Muhammad Asratillah menegaskan bahwa kasus tersebut tidak bisa dipandang sebagai sekadar penyimpangan individu, melainkan indikasi adanya keretakan struktural dalam manajemen penyelenggaraan pemilu.

Menurut Asratillah, penyelenggara pemilu seharusnya menjadi benteng terakhir integritas. Namun ketika justru mereka yang terlibat dalam praktik korupsi, publik berhak mempertanyakan ketahanan sistem yang seharusnya mengawal proses demokrasi.

“Ketika penyelenggara yang seharusnya menjadi penjaga gawang integritas justru terlibat korupsi, persoalannya bukan lagi penyimpangan individual. Ini tanda bahwa mekanisme pengawasan dan kontrol internal tidak berfungsi,” ujarnya melalui saluran telpon, Rabu (03/12).

Ia menyebut, dalam konteks Sulawesi Selatan, situasi seperti ini semakin memukul kepercayaan publik yang memang sudah rentan akibat berbagai dinamika politik lokal. Skandal korupsi dana hibah, misalnya, membangkitkan pertanyaan yang lebih mendasar.

“Jika pengelolaan dana hibah saja bisa dikompromikan, bagaimana dengan proses yang lebih menentukan seperti distribusi logistik, rekrutmen adhoc, atau penghitungan suara?” katanya.

Asratillah juga menyoroti struktur kasus yang menunjukkan adanya praktik penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa ruang yang selama ini dikenal rawan penyalahgunaan. Modus fee 10 persen yang terungkap, kata dia, memberikan gambaran jelas mengenai pola kerja korupsi yang bersifat sistemik.

“Korupsi tidak bekerja sendiri, ia berjalan dalam logika jaringan, kolusi, dan pertukaran kepentingan,” tegasnya.

Ia memperingatkan bahwa skandal ini dapat berdampak lebih luas jika tidak ditangani dengan serius.

“Dalam analisis politik-elektoral, skandal seperti ini adalah ‘shock kecil’ yang bisa menjalar menjadi distrust sistemik bila tidak ada pembenahan tegas,” jelasnya.

Secara institusional, Asratillah mengakui bahwa KPU kabupaten/kota bekerja dalam kondisi sumber daya dan tekanan politik yang berbeda-beda. Namun hal itu, menurutnya, tidak bisa menjadi pembenar runtuhnya standar etik.

Sebaliknya, kasus Pangkep harus menjadi alarm untuk memperkuat tiga hal utama, transparansi pengelolaan anggaran, audit berlapis yang bukan formalitas, dan pengawasan publik yang terbuka.

“Jika tidak, kemandirian penyelenggara pemilu yang selama ini menjadi landasan normatif hanya akan berhenti sebagai slogan,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menilai dampak paling berbahaya dari skandal ini adalah potensi delegitimasi pemilu di mata masyarakat. Publik dapat kehilangan kepercayaan bahwa proses Pilkada berlangsung adil dan bebas dari manipulasi elit.

“Ini bisa menggerus partisipasi pemilih, memperlebar jurang ketidakpercayaan, dan memunculkan narasi disrupsi demokrasi,” tegasnya.

Asratillah menekankan bahwa penegakan hukum saja tidak cukup untuk memulihkan kepercayaan publik.

“Penegakan hukum harus dibarengi reformasi tata kelola penyelenggaraan pemilu. Kasus Pangkep ini mestinya menjadi momentum membenahi struktur, bukan sekadar menghukum individu,” pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news