Komunitas Mobil Patah Hati: Mengangkut Jiwa-jiwa yang Pernah Kecewa

13 hours ago 3

 Mengangkut Jiwa-jiwa yang Pernah Kecewa Suasana kegiatan Komunitas Mobil Patah Hati. Ist - Mobil Patah Hati

Harianjogja.com, JOGJA—Komunitas Mobil Patah Hati berusaha mencari dan menyembuhkan jiwa-jiwa yang patah, kecewa dan tidak tahu arah. Mereka yang disembuhkan adalah kelompok yang mengarah ke gangguan jiwa.

Sua tau hari, panggil saja dia Fulan (bukan nama sebenarnya), hendak lulus dari sekolah lanjutan tingkat pertama di Gunungkidul. Sayangnya, Fulan perlu mengubur keinginannya untuk menempuh pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Orang tuanya tidak mampu membiayai proses pendidikan Fulan.

Sebagai gantinya, orang tua Fulan berjanji membelikan anaknya sepeda motor. Fulan sepakat. Saat teman-temannya berangkat sekolah SLTA, Fulan hanya melihatnya dari rumah. Naasnya, orang tua Fulan tidak menepati janjinya untuk membelikan sepeda motor. Sudahlah tidak sekolah, Fulan juga tidak bisa bermain sepeda motor.

Tumpukan kekecewaan itu yang membuat Fulan terganggu jiwanya. Orang tua Fulan tidak tahu cara merawat anaknya, termasuk belum ada biaya untuk berobat. Di sinilah Komunitas Mobil Patah Hati menjalankan tugasnya.

BACA JUGA : Gangguan Kesehatan Jiwa Jadi Perhatian Khusus di Jogja, Jumlahnya Kasus Mencapai Ribuan

Pendiri Mobil Patah Hati, Andani Ratna Setyawan, mengatakan komunitas yang sudah berdiri sejak 2016 tersebut menyediakan layanan penjemputan hingga pendampingan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Mereka juga mendampingi orang terlantar serta korban perundungan.

“Mobil Patah Hati lahir dari keprihatinan tingginya kasus ODGJ dan bunuh diri di Gunungkidul. Rata-rata kasus bunuh diri 33 sampai 34 per tahun. Untuk ODGJ, kami lihat data ada sekitar seribu orang di Gunungkidul,” kata Andani, dikutip Harian Jogja, Selasa (26/11/2024).

“Kami berdiri membantu program pemerintah yang terlalu administrasi, kami potong kompas.”

Semua layanan gratis, mulai dari penjemputan sampai pendampingan. Mobil Patah Hati bekerja sama dengan fasilitas kesehatan dan juga pemerintah. Layanan termasuk dengan mendampingi ODGJ menjadi anggota BPJS Kesehatan, agar pengobatannya ditanggung negara.

Lantaran memerlukan legalitas dalam berbagai urusan dengan pemerintah, gerakan ini mengurus administrasi hukum pada 2021. Dengan cakupan seluruh wilayah Gunungkidul, ada perwakilan relawan di setiap kapanewon, dengan 15 relawan aktif saat ini.

Umur Semakin Muda

Komunitas Mobil Patah Hati melihat pola ODGJ di Gunungkidul yang usianya semakin muda. Dalam beberapa kasus, anak tingkatan SLTP, SLTA, sampai kuliah sudah terkena gangguan kejiwaan. Penyebabnya beragam.

Andani bercerita saat dia kecil, kalau melakukan kesalahan kemudian dipukul, itu menjadi hal yang biasa saja. “Kalau anak-anak sekarang dimarahi agak kasar dikit, mereka merasa tidak diterima keluarga dan sebagainya, ada semacam perbedaan mental. Di wilayah Gunungkidul, anak-anak umur SLTP atau SLTA kelas satu sudah kabur dari rumah dua sampai tiga hari, udah ada gangguan di jiwanya,” katanya.

Di samping ODGJ, Gunungkidul juga memiliki masalah banyaknya kasus bunuh diri. Mayoritas atau bahkan semuanya berupa gantung diri. Kasus ini masih sering dikaitkan dengan mitos masyarakat setempat, apabila yang bunuh diri, sebelumnya mendapatkan tanda berupa pulo gantung. Apabila pulo gantung yang berbentuk bola api datang ke suatu rumah, maka tidak lama setelahnya ada orang di situ yang bunuh diri.

BACA JUGA : 3.239 Warga di Jogja Gangguan Jiwa, Ini Langkah yang Ditempuh Dinkes

Terlepas dari kepercayaan tersebut, pola yang sama juga terjadi, tentang usia orang bunuh diri yang semakin muda. Sebelumnya, orang yang bunuh diri biasanya orang tua, sekitar 60 tahun ke atas. “Sekitar tahun 2021, ada anak muda yang masih kuliah juga gantung diri. Dia kuliah perawatan, apabila masalahnya pengetahuan, sepertinya tidak. Masalah kemiskinan juga kayaknya enggak. Perlu perhatian lebih untuk mencari tahu apa penyebabnya,” kata Andani.

Kondisi Ekonomi

Meski namanya Mobil Patah Hati, bukan berarti penyebab ODGJ semuanya lantaran urusan asmara. Patah hati dimaknai perasaan kecewa mendalam yang berdampak pada psikologis manusia. Rasa kecewa bisa kepada teman, keluarga, atau pihak lainnya.

“Saya enggak bisa bilang ekonomi menjadi penyebab [orang menjadi ODGJ], perlu penelitian lebih lanjut karena kemiskinan atau tidak,” kata laki-laki berusia 39 tahun tersebut. “Meski penderita ODGJ [di Gunungkidul] rata-rata kemampuan ekonominya kurang, kami enggak bisa bilang [penyebab] ODGJ karena miskin atau apa, enggak berani, [tapi] rata-rata penderita ODGJ berada di ekonomi bawah.”

Sejak awal berdiri, Mobil Patah Hati sudah mendampingi lebih dari 200 ODGJ, puluhan orang terlantar dan tidak diketahui identitasnya, serta empat korban perundungan. Untuk orang terlantar, mereka dibawa ke rumah singgah untuk kemudian dicarikan sanak keluarganya. Beberapa sudah kembali bertemu dengan keluarga.

Upaya penjemputan sampai pendampingan Mobil Patah Hati berusaha untuk semakin menyadarkan pentingnya kesehatan jiwa. Di samping mengobati yang sudah terlanjur sakit, mereka juga mengedukasi masyarakat. “[Harapan kami] jangan sampai ambulance patah hati sering-sering digunakan. Kalau sering digunakan berarti banyak masalah,” katanya.

Keluarga dan Masyarakat

Ekosistem yang menjaga kesehatan jiwa terdiri dari banyak unsur. Ada individu, keluarga, serta lingkungan masyarakat. Pendampingan pada ODGJ, orang terlantar, sampai korban perundungan tidak bisa lepas meski sudah sembuh, namun perlu keberlanjutan.

Dalam kondisi yang baik, ODGJ bisa sembuh dan kembali ke masyarakat. Tidak jarang mereka kembali bekerja atau melanjutkan kehidupan seperti sedia kala. Meski tantangan tidak berhenti, orang yang pernah mengalami gangguan jiwa, rentan untuk kembali kumat.

Lingkungan keluarga dan masyarakat punya andil besar untuk turut menjaga. Budaya bertegur sapa perlu semakin dikuatkan. Kepedulian satu sama lain juga perlu dilestarikan. Jangan ragu untuk menanyakan kabar dan memberikan bantuan.

Saat bercanda dengan teman atau orang lain juga perlu hati-hati. “Bercandaan yang terkesan biasa, bisa menyakiti hati orang yang pernah ODGJ. Sehingga dukungan dan perhatian lingkungan punya kontribusi yang besar,” katanya.

BACA JUGA : Duh! Sebanyak 1.652 Warga Gunungkidul Mengalami Gangguan Jiwa Berat

Pernah ada kasus, seorang pria sedang berkumpul dengan bapak-bapak di lingkungan desanya. Pria tersebut sudah menikah namun belum memiliki anak. Ada salah satu orang yang mengatakan, ‘Kalau enggak bisa [menghamili istrimu, bisa] aku bantu’.

Bagi orang yang tidak mengalami kondisi tersebut mungkin akan menanggapi dengan biasa saja. Namun berbeda dengan orang yang memang mengalami masalah tertentu. “Dia merasa bukan dia yang dilecehkan, tapi istrinya. Orang yang bilang itu dilempar pakai gelas. Pria yang tersinggung [ada indikasi gangguan jiwa dan] kami rujuk ke Rumah Sakit Jiwa Grhasia Sleman. Sekarang udah kembali ke keluarga, kami edukasi dengan lingkungan, bercanda seperti itu jangan diulangi lagi,” kata Andani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news