Ladang Mawar

3 months ago 34

“My love’s like a red, red rose

That’s newly sprung in June;

My love is like a melody

So sweetly play’d in tune…”

Sayup-sayup terdengar alunan lagu dari Eva Cassidy, My Love Is Like A Red Red Rose. Lagu lama kesayanganmu ketika sedang menikmati berkebun di ladang bunga mawar. Ya, kamu sangat menyukai bunga mawar. Kamu menanam puluhan bunga mawar di ladang dekat rumah. Rumah kita saling berdekatan, hanya dipisahkan oleh ladang bunga mawar dan ladang sayur mayur milik kedua orang tuamu. Rumah kita ada di lereng pegunungan Dieng yang kaya akan hasil alam. Aku masih ingat ketika kita bersekolah di sekolah yang sama, karena hanya itu satu-satunya SMU yang ada di tempat kita tinggal, waktu itu aku berjalan kaki ke sekolah sedangkan kamu diantar oleh ayahmu. Kamu berasal dari keluarga terpandang, sedangkan aku hanyalah anak dari buruh tani ladang milik orang tuamu. Terlalu tinggi harapanku kala itu untuk jatuh hati padamu. Namun kesederhanaanmu telah membuatku jatuh hati tanpa aku sadari.

Aku masih ingat ketika kamu menanam puluhan bunga mawar di separuh ladang milik orang tuamu, sedangkan ladang yang separuhnya lagi ditanami sayur mayur oleh para buruh tani, pekerja ladang milik orang tuamu. Orang tuaku dan aku termasuk para buruh tani itu. Kala itu aku melihatmu sebagai anak perempuan yang tangguh dan berani. Kamu memiliki semangat berkebun yang membuatku terpesona. Di kala anak gadis lain sedang sibuk bermain bersama teman-temannya, kamu terlihat sangat menikmati menanam bunga mawar, bercengkrama dengan koleksi bunga mawarmu, hingga berkejaran dengan kupu-kupu. Kamu terlihat cantik sekali kala itu. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan, mencuri-curi kesempatan untuk bisa lebih dekat denganmu. Namun ayah dan ibuku selalu mengingatkan aku untuk tidak mendekatimu. Entah kenapa, aku tak mengerti. Yang aku rasakan saat ini adalah aku bahagia melihatmu. Kamu menjadi semangatku untuk pergi ke ladang sayur membantu kedua orang tuaku merawat sawi, kentang, kubis, seledri, brokoli dan wortel sambil sesekali menengok ladang bunga mawar di seberang dan melihatmu sibuk memetik hasil panen bunga mawar potong yang nantinya akan kamu jual ke kota. Kamu menjadi inspirasiku kala itu. Walaupun kamu adalah anak tunggal dari keluarga terpandang, namun kamu memiliki kemandirian dan prinsip sendiri.

Aku masih ingat saat mata kita bertemu suatu waktu di ladang. Ada gemerlap bintang di situ. Kamu tersenyum kepadaku dan berlari mendekatiku. Aku terkejut ketika mendapati kamu sudah berada tepat di depanku. Untung waktu itu tidak ada ayah dan ibuku. Hanya ada kamu dan aku di ladang. Seakan-akan semesta merestui pertemuan pertama kita.

“Hai, aku Hana!” katamu sambil mengulurkan tanganmu kepadaku.

“Aku Suryo!” jawabku sambil menerima uluran tanganmu.

“Kita satu sekolah kan? Tapi aku jarang melihatmu bermain dengan teman-temanmu yang lain. Kenapa?” tanyamu sambil menatapku.

Aku memalingkan tatapan darimu, rasanya jantungku berdebar cukup kencang saat itu. Tak mengerti mengapa bisa seperti itu, apakah itu perasaan bahagia atau tanda bahaya. “Aku tidak ada waktu untuk bermain bersama teman-teman karena harus membantu orang tuaku bertani di sini, di ladang sayur ini. Jadi sepulang sekolah aku harus segera pergi ke ladang.” jawabku.

“Ohh, jadi kamu ikut menanam sayur mayur di sini? Terimakasih ya..” katamu sambil memberiku setangkai mawar merah.

“Kenapa berterima kasih kepadaku?” tanyaku

“Karena usaha kamu, orang tuamu dan semua pekerja ladang di sini, kita semua bisa menikmati hasil olahan sayur mayur, sebagai sumber pangan bergizi. Coba bayangkan jika tidak ada satupun yang menanam sayur mayur di desa ini. Mana bisa penduduk kota di sana bisa makan sayur? Sedangkan di kota tidak ada lahan seluas di desa. Mereka semua tampak sibuk dengan pekerjaan kantoran. Tidak ada yang menjadi petani seperti kita.”

“Ahh…kamu…” Aku semakin mengagumimu. Andai saja kamu tahu. Aku jatuh hati semenjak pertama kali aku menginjakkan kaki di ladang ini dan melihatmu dari kejauhan. Mungkin kamu tak perlu tahu tentang ini. Cukup melihatmu dari kejauhan sudah membuatku bahagia.

“Kamu tahu mengapa aku menanam bunga mawar ini? Karena kata ibuku, orang kota suka bunga mawar! Mereka menghias rumah dengan bunga mawar. Besok kalau aku sudah lulus sekolah, aku akan ke kota, melihat apakah benar bahwa orang kota menghias rumah dengan bunga mawar!” katamu.

“Aku belum pernah ke kota.” jawabku sambil memandangi setangkai mawar merah yang kamu berikan kepadaku. “Terimakasih ya mawar merahnya” kataku.

Saat itu kamu hanya tersenyum memandangku. Ada getaran aneh yang aku rasakan ketika kamu ada di dekatku. Seakan-akan kita ditakdirkan untuk bersama.

Dan semenjak hari itu, kita sering bertemu di ladang dan berbagi kisah. Kamu bercerita tentang merawat tanaman mawar sedangkan aku berkisah tentang suka duka menyemai benih sayuran, merawat mereka, melindungi mereka dari serangan hama hingga rasa haru dan bahagia tercampur aduk menjadi satu saat tiba masa panen karena harus memetik sayuran yang selama ini sudah aku besarkan, harus berpisah dari rimbunnya daun sawi, kubis, brokoli dan seledri, harus mengambil umbi wortel dan kentang dengan mencabut mereka dari dalam tanah, memisahkan akar yang selama ini telah bersatu dengan tanah. Sementara itu, ayah dan ibuku senang ketika masa panen tiba, berarti segala usaha telah berhasil dan tentunya menghasilkan pundi-pundi uang untuk kebutuhan kami para buruh tani.

Aku dan kamu saat itu semakin dekat. Kita sering pergi ke ladang bersama tanpa rasa takut meskipun kedua orang tua kita tidak saling menyetujui kebersamaan kita. Aku menyayangi kamu dan ingin sekali bersamamu melewati hari. Namun entah, aku tidak yakin apakah kamu juga merasakan perasaan yang sama. Aku masih ingat saat itu tentang impianmu adalah pergi ke kota. Aku takut jika hal itu benar-benar terjadi dan kamu meninggalkanku sendiri di desa. Sebentar lagi kelulusan SMU akan tiba dan itu adalah tanda bahaya bagiku. Aku takut berpisah denganmu. Ketakutan itu ternyata terjadi. Orang tuamu akan menyekolahkan kamu di perguruan tinggi terkenal di kota metropolitan, Jakarta. Sedangkan aku harus rela tidak melanjutkan kuliah karena membantu kedua orang tuaku bertani untuk membiayai ketiga adikku sekolah. Sebagai anak sulung, aku harus berkorban untuk kebahagiaan adik-adikku. Aku rela dengan semua itu, yang tidak kurelakan adalah jauh dari kamu.

Aku masih ingat ketika kamu berpamitan kepadaku saat kamu akan pergi ke kota impianmu. Kamu bilang akan selalu mengingatku dan akan mengirimkan surat kepadaku. Aku bilang aku akan menyusulmu ke kota namun kamu bilang jangan. Kamu berkata bahwa aku harus tetap bertani agar orang kota bisa makan sayur. Kamu bilang akan kembali ke desa dan menemuiku. Saat itu kita saling berpelukan. Aku bisikkan kata-kata di telingamu agar kamu selalu mengingatku. Tidak ada kata cinta darimu. Hanya pelukan hangat dan senyuman manis darimu yang selalu kuingat. Sebelum akhirnya kamu meninggalkanku di sini.

♥♥♥♥

Sudah tiga tahun lamanya kita tidak bertemu dan kamu tidak pernah mengirimkan surat seperti yang kamu katakan dulu. Namun aku masih berharap bisa bertemu kamu. Pagi ini aku mengingatmu, cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamarku yang selalu terasa menyenangkan seperti biasanya, entah mengapa kali ini terasa sangat hampa. “Apakah kamu di kota juga merasakan hal yang sama sepertiku? Ah mungkin kamu sudah terlalu sibuk di kota.” Semenjak kepergianmu itu, aku menghabiskan waktu untuk bekerja keras menggarap lahan kebun kopi milik teman ayahku. Aku ingin menabung dan menyusulmu ke Jakarta. Aku ingin melamarmu dan membuka kedai kopi di sana. Aku berkata kepada orang tuaku bahwa aku sangat menyayangimu dan ingin segera menyusulmu ke kota. Hari ini waktunya tiba. Uang tabunganku sudah cukup untuk bisa menyusulmu ke Jakarta. Namun ternyata semesta berkata lain. Pagi ini ibuku tiba-tiba mendekatiku dan meminta maaf kepadaku. Karena selama ini surat-surat yang kamu kirimkan kepadaku disimpan oleh ibuku setelah selesai dibacanya. Aku marah dan kecewa sekali. Namun yang membuatku sedih adalah ketika membaca surat terakhir yang kamu kirimkan beberapa bulan yang lalu. “Jakarta adalah kota sibuk, aku menderita karena kesepian. Namun aku sudah cukup bahagia bertani di kota. Aku berhasil menghidupkan suasana pedesaan di kota. Teman-temanku di kota bisa merasakan bercocok tanam di halaman rumah mereka. Orang tua mereka juga senang karena bila butuh seledri untuk bahan campuran sop, tinggal metik di halaman mereka. Namun aku sedih karena penantianku akan kamu barangkali akan menemui akhir. Entah itu sebuah bahagia ataukah duka. Apapun itu kamu harus menerimanya.”

Surat terakhir yang kamu kirimkan itu membulatkan tekadku untuk segera menuju Jakarta. Semoga apapun yang terjadi padamu saat aku tiba di sana, aku belum terlambat.

♥♥♥♥

Aku tidak tahu apakah perjalanan ke Jakarta ini akan mendekatkan ataukah menjauhkan aku darimu, aku harus yakin dengan keputusanku. Maafkan aku karena aku tidak pernah membalas surat-surat yang kamu kirimkan kepadaku. Maafkan aku karena membiarkanmu pergi ke kota yang menjadikanmu sepi. Jakarta. Tempat di mana kini aku berada. Aku berdiri di depan rumah berdinding batu bata putih dengan halaman yang cukup luas. Dari alamat yang aku dapatkan pada amplop surat yang kamu kirimkan ke rumahku, rumah ini benar milikmu. Rumah ini persis seperti yang kamu inginkan. Sederhana namun memiliki halaman yang cukup bagimu untuk menanaminya dengan tumbuhan yang kamu suka. Bagian terbaik dari rumah ini adalah pagar hidup dari aneka warna bunga mawar. Kamu sangat menyukai wangi bunga mawar dan bunga ini selalu mengingatkan akan asal usulmu. Di halaman rumah, kamu juga menanaminya dengan berbagai jenis sayur mayur, ada sawi, bayam, selada dan tomat. Tampaknya kota ini tidak menghilangkan kecintaanmu akan berkebun.

Ibu kota tidak selamanya sibuk. Di sini, masih ada langit biru untuk bercocok tanam ataupun cahaya matahari yang menyemangati agar kita bergegas untuk meraih segala mimpi. Tapi mungkin saja saat ini sudah terlambat dan tidak ada kesempatan buatku untuk bisa bersamamu, mungkin sekarang kamu sudah bersama pria lain, atau kamu sudah dijodohkan dengan pria pilihan kedua orang tuamu, atau yang terburuk, kamu telah berhenti mengharapkanku. Apapun nanti keadaannya, aku harus siap dan ikhlas. Saat ini aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumahmu. Lalu aku melihat ibumu membukakan pintu rumah dan terkejut melihat kedatanganku.

“Suryo!” jerit ibumu sambil memelukku dan menangis. Aku bingung. Bukankah dulu ayah ibumu tidak menginginkan kita bersama?

“Ada apa, Bu?” aku memeluk ibumu dan menunggunya bercerita.

Ibumu mengandeng tanganku dan mengajakku untuk masuk ke rumah, banyak rangkaian bunga mawar di rumahmu, banyak sekali, warna-warni. Aku tak mengerti mengapa ibumu begitu bersedih ketika melihatku datang. Ibumu mengajakku untuk masuk ke kamarmu. Ini untuk pertama kalinya aku masuk ke kamar tidurmu. Di dalam kamarmu juga terdapat banyak rangkaian bunga mawar segar, namun sayangnya kamu tidak ada di kamar ini. Lalu ibumu menyuruhku duduk dan dia mulai bercerita.

Beberapa bulan setelah kepindahanmu ke Jakarta, kamu disibukkan oleh kuliah dan tugas-tugas penelitian tentang pertanian kota. Kamu juga mulai menanam aneka bunga mawar di pekarangan rumah untuk dijual kepada teman-teman kuliahmu sebagai souvenir bunga potong saat ada acara di kampusmu. Selain itu kamu juga menanam sayur mayur untuk dibuat olahan makanan sehat. Kamu juga sempat mendirikan komunitas urban farming di kalangan para mahasiswa juga pasar sehat organik di area kampus sebagai tempat para petani muda menjual hasil panen mereka. Kamu sungguh tak pernah berhenti menjadi inspirasi para petani milenial. Kamu terlalu menikmati semua itu sampai-sampai kamu tak sadar bahwa penyakit ganas sedang mengancam kehidupanmu. Kamu sering jatuh pingsan di halaman rumahmu. Namun kamu selalu menolak untuk berobat. Sebulan yang lalu kamu harus dibawa ke rumah sakit karena pendarahan yang sangat parah. Namun kamu menolak untuk dirawat di rumah sakit. Kamu bilang ingin pulang saja, ingin melihat ladang bunga mawar di desa. Itulah saat-saat terakhirmu meninggalkan dunia ini. Hari ini tepat dua minggu setelah kepergianmu. Ibumu menangis memelukku. Aku hanya terdiam. Kamu telah pergi tanpa menungguku. Aku terlambat menemuimu. Tak kusangka keadaan ini lebih buruk dari yang aku kira. Menorehkan rasa perih di hatiku. Rasanya lebih baik melihatmu bersama pria lain daripada tidak bisa menemuimu selamanya. Namun aku harus ikhlas. Bulir-bulir air mata mengalir deras di pipiku. Tak kusangka bahwa surat terakhir yang aku baca kemarin ternyata adalah surat perpisahan darimu.

Selamat jalan, Hana… Kamu akan selalu mewangi sewangi bunga mawar kesayanganmu. Aku akan melanjutkan impianmu, memberi semangat pada generasi muda untuk mengembangkan komunitas urban farming yang sempat kamu dirikan. Menghidupkan suasana pedesaan di kota dengan menanam sayur mayur.

♥♥♥♥

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news