Sejumlah narasumber mengisi diskusi soft launching buku Suara-Suara Sunyi: Kisah Kelompok Minoritas di Pusaran Politik Indonesia, di Grand Keisha Hotel, Sabtu (9/11/2024). - ist AJI Yogyakarta
Harianjogja.com, JOGJA—Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggelar diskusi soft launching buku Suara-Suara Sunyi: Kisah Kelompok Minoritas di Pusaran Politik Indonesia, di Grand Keisha Hotel, Sabtu (9/11/2024).
Buku ini merupakan hasil liputan 15 jurnalis penerima fellowship liputan dalam program Politik Identitas dan Perlindungan Kelompok Minoritas Di Tahun Politik, yang dijalankan AJI Yogyakarta selama menjelang dan di masa pemilu 2024 di beberapa daerah, ditambah empat liputan jurnalis visit anggota AJI Yogyakarta di Aceh dan Sumba Timur.
Ketua AJI Yogyakarta, Januardi Husin, menjelaskan proses pembuatan buku ini dimulai dari kegelisahan AJI Yogyakarta bahwa menjelang tahun politik, muncul potensi penggunaan politik identitas yang akan menguat.
“Di beberapa daerah calon-calonnya menyuarakan Perda LGBT dan pertentangan terhadap kelompok minoritas. Buku ini ingin menggambarkan kerentanan kelompok minoritas di Indonesia terhadap kebiasaan para politikus menggunakan politik identitas,” ujarnya.
Salah satu penulis sekaligus editor buku Suara-Suara Sunyi: Kisah Kelompok Minoritas di Pusaran Politik Indonesia, Pito Agustin, menuturkan ini buku yang ketiga AJI Yogyakarta tentang keberagaman, yang mengangkat keberagaman di seluruh Indonesia.
“Dituluis oleh jurnalis di sembilan daerah dari 13 media. Mereka menulis kisah-kisah minoritas menjelang pemilu. Mereka berhasil mengulik kisah kelompok minoritas seperti penghayat, kelompok agama minoritas seperti hindu dan budha, transpuan,” katanya.
BACA JUGA: Media Berperan Suarakan Kelompok Minoritas
Buku ini dibagi dalam lima bab. Bab pertama yakni Pemilu antara Ancaman dan Harapan Bagi Kelompok Minoritas, bab kedua Praktik Diskriminasi Kebijakan terhadap Kelompok Minoritas, bab ketiga Kisah Kelompok Minoritas Melestarikan Keberagaman, bab keempat Potret Transpuan Hidup Berdampingan dengan Qanun Aceh dan bab kelima Ancaman Marginalisasi Penghayat Marapu di Sumba Timur.
Ketua Palang Putih Nusantara (PPN) yang juga menjadi salah satu narasumber dalam buku ini, Suroso, menceritakan keterlibatan kelompok penghayat kepercayaan dalam politik sudah terjadi setidaknya dari masa reformasi, dengan membentuk Partai Budaya Bangsa Nusantara 1998.
Ia mengaku dalam beberapa kali pemilu, sempat didekati politisi bahkan sampai ditipu. Contohnya pada pemilu 2014 yang pernah ditawari caleg untuk mengajukan program pemasangan listrik gratis bagi warga miskin. Waktu itu ia sudah mendata sekitar 250 warga miskin untuk dimasukkan dalam proposal yang diajukan atas nama PPN, namun ternyata tidak bisa mendapatkan program itu.
“Sehingga banyak pendapat di daerah saya yang mengatakan saya penipu dan sebagainya. Lebih banyak yang ga senang karena saya penghayaat kepercayaan. Di kelurahan saya, penghayat kepercayaannya hanya saya dan keluarga,” ungkapnya.
Atas kejadian tersebut, ia tidak mau lagi menerima tamu dari caleg dan trauma dengan afiliasi politik. “Tapi setrauma apapun, penghayat kepercayaan tidak pernah golput. Tapi monggo silakan caleg atau capres mau pilih yang mana, kami tidak pernah secara langsung berafiliasi dengan partai politik,” kata dia.
Ketua Prodi Agama dan Lintas Budaya UGM, Samsul Maarif, mengatakan kerentanan penghayat kepercayaan, tanspuan, LGBT, kelompok minoritas agama, punya akar globalnya, yang sebenaryna di negara lain juga terjadi.
“Akar kerentanan diawali ketika dunia ini ingin dikontrol oleh sekelompok orang, yang disebut colonial order of the world. Colonial sudah habis, tapi warisannya dalam cara melihat dunia masih kental. Mereka ingin membangun struktur kuasa. Siapa yang tinggal di atas akan berkuarsa, yang lain di bawah akan terus dikuasai,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News