Berbagai festival kebudayaan kurang lebih selama empat atau lima tahun belakangan ini pemerintah melalui Kemendikbuddikti gencar meluncurkan program strategis untuk pelestarian pengembangan, pembinaan serta pemanfaatan budaya dengan hasrat untuk membangun ekosistem seni yang berkesinambungan di masyarakat dan komunitas penggiatnya.
Di Sumatra Barat tercatat beberapa festival dengan tema yang beragam, baik melalui lembaga, komunitas maupun perorangan di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, telah terselenggara. Sebutlah seperti Silek Art Festival dilaksanakan sebanyak tiga kali dan setelah itu habis begitu saja, setelah itu ada pula festival Botuang dan Festival Harau di Payakumbuh, Festival Matrilinial di Sijunjung, Festival Pamenan di Batu Sangkar terakhir Galanggang Arang Festival yang merayakan nostalgia perkerataapian di Sumatra Barat. Selanjutnya isu-isu festival lainnya terus digagas dan akan terus digelar, tentu saja cita-citanya untuk pemajuan kebudayaan seperti yang sudah diamanahkan UU.
Sebagai upaya membangun ekosistem kebudayaan dalam mewujudkan pelestarian yang meliputi perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan budaya, ragam festival ini diharapkan dapat memberikan stimulus kepada penggiat seni terutuma seni tradisonal sebagai upaya menumbuhkan ekosistem seni secara holistik untuk kekayaan bangsa di bidang kebudayaan.
Pelaksanaan kegiatan festival ini telah menyerap anggaran yang tidak kecil, anggaran ini didistribusikan melalui platform Indonesiana –LPDP, untuk kejayaan kebudayaan Indonesia.
Yang teranyar dan baru saja selesai terlaksana adalah Kaba Festival yang ke sepuluh oleh Nan Jombang Dance Company. KABA Festival X 2025 yang mengusung tema Nan Balega, telah menampilkan berbagai pagelaran seni tradisional dan seni kreasi yang ada di Sumatera Barat. Kegiatan yang diselenggarakan selama empat hari ini, dimulai dari tanggal 9-12 april 2025. Lebih kurang 12 kelompok tradisi maupun kreasi telah terpilih dan berpartisipasi sebagai pengisi kegiatan Kaba Festival ini.
Empat hari berfestival telah menyisakan berbagai cerita dan kaba menarik untuk dikabakan dan diperbincangkan bersama. Kaba tentang sebuah cita-cita dari ekosistem budaya yang menjadi spirit serta alasan utama disetiap penyelenggaraannya.
Seni tradisonal tiba-tiba menjadi primadona, seni rakyat ini telah dijadikan alasan utama sebagai kepala galas disetiap penyelenggaran festival-festival seni dan kebudayaan itu.
Seni tradisional yang dulunya sepi peminat, pementasannya hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu saja, tiba-tiba mereka dapat panggung utama , seni tradisional telah dijadikan sebagai legitimasi dan alasan utama agar Festival budaya dapat terlaksana. Akan menjadi tidak afdol sebuah festival, tidak berarti bahkan tidak bernilai bila seni tradisi tidak dilibatkan.
Pertanyaannya seberapa pentingkah kegiatan festival-festival yang telah terlaksana selama ini untuk perkembangan seni tradisonal itu sendiri. Lalu siapakah sebenarnya yang telah diuntungkan dari terselenggaranya festival-festival seni tersebut. Penggiat seni tradisionalkah, komunitas, penggiat atau para impresario dan para agen yang telah ditunjuk sebagai penyelanggaranya.
Selama lima tahun festival budaya telah diselenggarakan akankah berhasil menghidupkan habitus seni dan memberi hidup bagi seni tradisi beserta pelakunya.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sangat penting diajukan, seni tradisonal dibangun dalam sebuah struktur mental yang telah terbentuk di masyarakat menjadi ideologi yang dipercayai sebagai kebenaran. Bagi masyarakat tradisi aktifitas kesenian meraka terintegrasi dengan aktifitas sosial yang lain, menjadi pakaian dlaam kehidupan mereka.
Akankah nilai semacam ini masih ada, dan dapat dihidupkan oleh sanggar-sanggar penyelenggara kegiatan kesenian hari ini, apalagi tanpa disadari mereka diseret pada konsep panggung panggung modern yang pada dasarnya berjarak dengan seni tradisi itu sendiri, disandingkan dalam stile konser-konser seni popular, penyandingan ini pada dasarnya telah menjajajah ideologi dan spiritual ketradisian itu sendiri. Tanpa disadari Lanskap ketradisian itu telah dibunuh oleh pukauan spektakel dari modernisasi yang manipulatif. Suka dan tidak suka, sengaja atau tidak tiba-tiba seni tradisonal telah sengaja diseret, terjajah oleh mentalitas baru atas nama modernisasi dalam sebuah wadah panggung panggung gemerlap yang pada dasarnya tidak selaras dengan habitus dimana seni tradisi itu tumbuh. Seni tradisonal telah bermetamorfosis menjadi sekedar objek tontonan saja, bagi masyarakat modern yang telah bergenit genit dan sok sok berempati pada ketradisian itu sendiri.
Menciptakan ruang-ruang pertunjukan yang sesuai dan lebih komunikatif antara seni tradisional dan publik penonton agaknya memang sudah harus menjadi pemikiran bersama. Seni tradisi bukanlah semata objek tontonan belaka, seni tradisional adalah cermin peradaban tempat berbagai nilai dapat terefleksi untuk dikomunikasikan sebagai kearifan lokal dalam wahana kekinian yang semakin profan. Makin kesini kondisi seni tradisional seakan telah kehilangan fungsi bila kehadirannya hanya dijadikan sebagai tontonan semata, terlebih lagi seni tradisional cenderung dilihat hanya dari aspek eksotisnya saja.
Lepas dari semua persoalan yang telah terjadi, pada dasarnya seni tradisi telah terlumatkan secara brutal di panggung-panggung megah dalam gemerlap hiasan lampu lampu panggung dari berbagai fasilitas teknologi yang serba modern itu. Semua mendapat, semua dapat tempat, berpacu dari proyek festival satu pada festival lainnya. Seni tradisi dan senimannya selalu saja menjadi korban, lalu tercerabut dari habitus, ideologi tempat mereka tumbuh.
Kondisi yang terjadi sangat berpotensi dapat mengkebiri eksistensi seni tradisional itu sendiri. Seni tradisonal pelan pelan teralihkan dari seni sakral menuju seni profan. Tradisi budaya sebagai warisan bagi generasi muda tinggal bangkai tanpa ruh yang akan membusuk bersama peralihan zaman.
Penulis adalah Pamong Budaya