NGUDARASA: Trump Percepat Kebangkrutan AS?

4 hours ago 2

Sebulan sudah, Donald Trump dilantik untuk kedua kalinya sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat, sebuah negeri yang menjelang akhir 2024 itu memiliki utang menggunung, melampaui angka US$36 triliun (setara Rp588 kuadriliun). Utang segedhe gajah itu, terdiri dari US$29 triliun utang publik, dan US$7 triliun utang pemerintah federal. Hal ini tentu saja mengundang sikap pesimistis sejumlah warga AS maupun masyarakat global, karena kalau sampai ekonomi terbesar dunia itu kolaps, efek domino yang tercipta sungguh tidak terbayangkan.

Donald Trump adalah sosok kontroversial yang acap kali mengundang berbagai reaksi. Mungkin yang ada di benak Trump adalah bahwa utang AS boleh bengkak, tapi ‘bertingkah’ harus jalan terus. Beberapa orang melihat dirinya sebagai anugerah bagi Amerika Serika antara lain karena, dari segi ekonomi, para pendukungnya mengklaim bahwa berbagai kebijakan populisnya—seperti pemotongan pajak dan deregulasi—telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Trump juga dianggap memiliki ketegasan dalam hal kebijakan luar negeri. Beberapa pendukungnya menghargai pendekatannya yang tegas dalam menghadapi negara-negara seperti China dan Iran, serta usahanya untuk memperkuat keamanan nasional.

Namun, Trump juga dianggap sebagai beban bagi negerinya. Pertengahan Februari ini, warga di 50 negara bagian AS melakukan protes besar-besaran terhadap Presiden Donald Trump. Beberapa isu utama yang mereka persoalkan antara lain soal kebijakan pengetatan keimigrasian dan deportasi massal terhadap imigran ilegal. Kebijakan ini dianggap tidak manusiawi dan diskriminatif. Demikian pula sikapnya terhadap perubahan iklim yang dianggap membawa AS mengalami kemunduran.

Trump juga dituding berusaha mengurangi ukuran pemerintahan federal dengan memotong anggaran untuk berbagai program sosial dan layanan publik. Banyak orang merasa bahwa pemotongan ini akan merugikan golongan masyarakat yang paling rentan.

Selain itu, Trump memicu ‘kemarahan’ warga AS karena mengeluarkan kebijakan yang kontroversial terkait dengan hubungan internasional, termasuk tarif perdagangan yang tinggi terhadap negara-negara sekutu. Kebijakan ini dianggap merusak hubungan diplomatik dan ekonomi.

Reputasi buruk Trump yang mantan juragan properti iu tentu saja memicu kemarahan cukup banyak warga di banyak negara bagian AS menginginkan pemakzulan dirinya karena berbagai alasan yang kontroversial dan memicu ketidakpuasan. Beberapa alasan utama itu termasuk pernyataan dan kebijakan kontroversial. Usulan Trump yang dianggap paling konyol adalah mengambil alih Gaza dan merelokasi lebih dari dua juta penduduknya ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania, atau bahkan ke Indonesia. Rencana ini mendapat penolakan dari sejumlah pemimpin Arab dan dianggap tidak adil serta tidak manusiawi, selain dianggap sebagai seruan untuk pembersihan etnis

Kekonyolan yang lain dari Donald Trump adalah ketika mengemukakan kembali keinginannya untuk membeli Greenland dari Denmark, dengan alasan keamanan nasional dan potensi sumber daya mineral. Dia bahkan berencana mengubah nama Greenland menjadi "Red, White, and Blueland" jika berhasil membelinya. Rencana ini telah memicu ketegangan diplomatik dengan Denmark dan mendapat penolakan dari banyak pihak.

Usulan wagu yang juga dilontarkan Trump adalah untuk mengambil alih kembali kendali atas Terusan Panama, dengan klaim bahwa China mengoperasikan kanal tersebut sehingga terhadap kapal-kapal AS dikenakan biaya yang terlalu tinggi. Rencana ini sontak mendapat penolakan keras dari pemerintah Panama dan tentu saja menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konflik militer.

Banyak pula warga AS merasa bahwa Trump tidak mewakili kepentingan mereka dan lebih fokus pada agenda pribadinya. Hal ini menciptakan ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat.

Alasan-alasan ini telah memicu seruan untuk pemakzulan Trump dari berbagai kelompok dan individu di seluruh AS.

BACA JUGA: Susunan Pemain Malut Vs PSS Sleman, Laga Perdana untuk Pelatih Pieter Huistra

Tambahan Beban Utang

Total utang terkini AS yang bernilai lebih dari U$36 triliun tersebut setara dengan gabungan nilai perekonomian China, Jerman, Jepang, India, dan Britania Raya. Bila di-breakdown, maka setiap keluarga AS kini menanggung utang sebesar US$274.000 atau US$107.000 per kepala warga AS, termasuk bayi yang baru nongol ke dunia. Jadi, jika setiap keluarga menyumbang US$1.000 untuk ngangsur utang tersebut, berdasarkan perhitungan US Census Bureau, negeri adidaya itu memerlukan waktu 23 tahun untuk melunasi utang berskala raksasa tersebut.

Belum lagi bayang-bayang recovery sebagian kawasan California yang kini porak-poranda karena terdampak oleh kebakaran hutan amat dahsyat yang disusul dengan bencana banjir dan tanah longsor terhadap kawasan yang semula ijo royo-royo itu. Hingga pekan lalu, sejumlah kawasan elite di California—Palisade, Malibu, Hurst, dan Eaton—menjadi kawasan dengan kerusakan parah akibat musibah ganda yang menimpa kawasan dengan luas total 60.000 hektare dan merata-dengan-tanah-kan sedikitnya 12.000 rumah maupun struktur bangunan tersebut.

Dapat dipastikan bahwa pelbagai musibah tersebut jelas berpotensi menambah utang AS kian bengkak. Utang nasional AS merupakan kekhawatiran yang signifikan bagi perekonomian negeri adidaya itu. Meskipun AS secara historis mampu mengelola utangnya, tingkat utang negeri yang berdiri sejak 4 Juli 1776 itu, kini dan prospeknya memicu timbulnya pertanyaan mengenai keberlanjutan utang negeri tersebut dalam jangka panjang.

Bila dibandingkan dengan utang Indonesia, memang ibarat Gulliver lawan Lilliput. Utang Luar Negeri Indonesia per Agustus 2024 tercatat sebesar US$425,1 miliar dolar AS, atau sekitar 1,18% nilai utang AS. Bagi negeri cowboy itu, utang nasional yang gigantic itu tentu menimbulkan beberapa konsekuensi negatif bagi perekonomian AS.

Pertama, peningkatan pembayaran bunga. Seiring bertambahnya utang, pemerintah harus membayar lebih banyak bunga, yang dapat mengurangi pengeluaran untuk prioritas lain seperti pendidikan, infrastruktur, dan program sosial.

Kedua, potensi berkurangnya pertumbuhan ekonomi. Utang yang tinggi tentu berpotensi sebagai pemicu tingkat suku bunga lebih tinggi, sehingga dapat menghambat investasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. 

Ketiga, meningkatnya risiko krisis utang. Jika investor kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah AS membayar utangnya, hal ini dapat menyebabkan krisis keuangan. 

Keempat, erosi nilai dolar AS. Utang yang tinggi dapat menyebabkan inflasi, sehingga dapat mengikis daya beli dolar AS.

Masalahnya, mungkinkah perekonomian AS tumbuh lebih cepat daripada utang, sehingga rasio utang terhadap PDB akan menurun? Selain itu, dapatkah suku bunga ditekan lebih rendah, yang berarti memudahkan pemerintah membayar utangnya? Perekonomian global yang kuat memang dapat membantu mendukung perekonomian AS, tapi di tengah berbagai konflik di pelbagai belahan dunia seperti saat ini, tampaknya agak musykil tercipta perekonomian global yang kuat.

Kalau Presiden Trump mampu menciptakan kebijakan fiskal dan moneter yang efektif, hal itu dapat berimbas terhadap pengelolaan utang dan mendorong pertumbuhan ekonomi negeri itu. Tapi, boleh dibilang masa transisi dari Biden ke Trump dalam waktu dekat ini tidak akan dapat serta merta menciptakan kondisi tersebut, apalagi mengingat track record Presiden Trump pada periode pertama—2017-2021—yang dianggap sebagai “tidak baik-baik saja” itu.

Garis Kemiskinan

Selain utang berjumlah sak-hohah itu, AS kini juga menghadapi persoalan serius dengan semakin banyaknya tunawisma alias gelandangan yang mewarnai hampir semua kota di negeri yang akan dipimpin kedua kalinya oleh Donald Trump itu. Sekitar tiga dekade silam, ketika saya untuk pertama kalinya menempuh perjalanan jurnalistik ke negeri Abang Sam tersebut, kaum homeless hanya terlihat di sejumlah kota besar saja seperti di New York, San Francisco, dan Los Angeles. Namun, mengintip ‘laporan’ sejumlah vlogger yang diunggah ke pelbagai media sosial saat ini, populasi kaum kere di kota kecil macam Kensington di negara bagian Philadelphia saja terlihat cukup meruyak.

Sampai-sampai, pemda setempat perlu menempuh program clear off untuk mengatasi kaum gelandangan yang ramai-ramai ngebroki atau mendirikan tenda-tenda secara liar di berbagai taman kota. Kalau sudah demikian, aneka persoalan sosial yang cenderung kriminal meningkat, seperti penyalahgunaan narkoba, prostitusi, pembegalan terhadap warga kota yang melintas, dan sebagainya.

Menurut data statistik AS, kondisi tuna wisma di AS juga semakin parah. Pada 2023, diperkirakan terdapat sekitar 653.100 orang yang mengalami keadaan tanpa tempat tinggal. Angka ini meningkat sebesar 12.1% dibandingkan tahun sebelumnya. Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan ini, termasuk di antaranya adalah kenaikan tarif sewa hunian, kurangnya perumahan berharga terjangkau, dan kondisi ekonomi negeri adidaya itu yang cenderung  tidak stabil.

Gambaran umum kemiskinan di Amerika Serikat pada 2025 memang menunjukkan tren penurunan dalam beberapa indikator, tetapi tantangan masih ada. Berdasarkan data terbaru, tingkat kemiskinan di AS menunjukkan kecenderungan turun, dengan sekitar 11,6% populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024, turun tipis menjadi 10,8% pada 2025.

Jumlah tunawisma di beberapa kota di AS yang cenderung meningkat itu menjadikan pemerintah AS terlihat agak kedodoran mengatasi masalah tersebut, karena sedikit banyak menyeret persoalan sosial seperti meningkatnya kriminalitas di perkotaan dan ketidaknyamanan lainnya. Aksi looting alias penjarahan massal di sejumlah toko di beberapa kota di AS kini menjadi berita yang sering mengudara di media massa maupun media sosial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news