Harianjogja.com, JAKARTA—Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah dibandingkan rerata suhu panas global sebelumnya. Hal itu diutarakan oleh Layanan Perubahan Iklim Copernicus dari Uni Eropa.
Setelah musim panas yang menyengat dan kemajuan lambat negara-negara dalam menangani perubahan iklim, tidak heran jika tahun ini akan tercatat sebagai tahun terpanas.
Emisi dari bahan bakar fosil meningkatkan suhu global, memaksa masyarakat di seluruh dunia untuk beradaptasi dengan kondisi ini. “Umat manusia sedang membakar planet ini dan membayar dengan harga yang mahal,” ujar Sekretaris Jenderal PBB António Guterres yang dikutip dari The Verge, Sabtu (9/11/2024).
Lebih lanjut, Copernicus maupun Organisasi Meteorologi Dunia merilis analisis terbaru menunjukkan bahwa 2024 berada di jalur untuk menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, melampaui rekor pada 2023.
Rata-rata anomali suhu untuk sisa tahun ini harus turun mendekati nol agar tahun ini tidak memecahkan rekor.
Tercatat, tahun ini menjadi tahun yang penuh dengan anomali. Lebih dari 1.300 orang meninggal dunia di Arab Saudi akibat suhu yang sangat tinggi saat ibadah haji di Mekkah pada Juni.
Pada waktu itu, belahan Bumi Utara sedang mengalami musim panas terpanas dalam sejarah, melampaui rekor pada 2023. Meskipun hal itu berdasarkan analisis data dari Copernicus, yang mengumpulkan informasi cuaca sejak 1940.
Namun, penelitian lain yang menggunakan penanda di lingkaran pohon kuno menemukan bahwa musim panas pada 2023 di Belahan Bumi Utara kemungkinan adalah yang terpanas dalam setidaknya 2.000 tahun terakhir.
BACA JUGA: Viral Suhu Panas Mencapai 37,9 Derajat Celcius Siang Ini, BMKG Ungkap Penyebabnya
Sayangnya, data dari wilayah yang lebih kering dan tropis di Belahan Bumi Selatan lebih sedikit tersedia, sehingga sulit untuk membuat perbandingan serupa di sana.
Dilaporkan juga, bahwa kemungkinan tahun ini menjadi pertama kalinya suhu rata-rata global naik lebih dari 1,5 derajat Celsius dibandingkan era pra-industri, melewati target ambisius dalam Kesepakatan Paris yang bertujuan membatasi pemanasan antara 1,5 hingga 2 derajat Celsius dalam jangka panjang.
Diketahui, selama sekitar 11.000 tahun terakhir, iklim Bumi cenderung stabil. Kondisi ini mendukung perkembangan pertanian dan peradaban manusia.
Namun, sejak revolusi industri, penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas mulai menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Emisi ini membuat suhu terus meningkat. “Tetapi tanpa transisi ke energi yang lebih bersih untuk menghilangkan emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil, suhu global akan terus meningkat,” demikian isi laporan tersebut.
Negara-negara memiliki tenggat waktu tahun depan untuk mengajukan rencana iklim nasional yang telah diperbarui sebagai bagian dari Kesepakatan Paris.
Minggu depan, mereka akan mengirim delegasi untuk bertemu di Baku, Azerbaijan, dalam pertemuan tahunan PBB tentang perubahan iklim. Namun, hasil pemilu AS minggu ini diperkirakan akan mempersulit kemajuan perjanjian ini.
Pasalnya, AS adalah penghasil emisi karbon dioksida pemanas planet terbesar di dunia, dan presiden terpilih Donald Trump telah mengatakan dia akan mengeluarkan AS dari perjanjian Paris.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com