Pojok Bulaksumur edisi Selasa (26/11/2024) mengupas tuntas agenda Lustrum XV dan Dies Natalis ke-75 UGM. - Catur Dwi Janati
SLEMAN—Pojok Bulaksumur edisi Selasa (26/11/2024) mengupas tuntas agenda Lustrum XV dan Dies Natalis ke-75 UGM. Di dalam salah satu agendanya, digelar Seminar Lustrum XV dan Dies Natalis ke-75 UGM dengan tajuk Pengalaman Resolusi Konflik dan Perdamaian Dalam Konteks Masa Depan Demokrasi Indonesia yang menghadirkan Wapres ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla sebagai pembicara kunci.
Sekretaris Universitas UGM, Dr. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu mengungkapkan puncak Lustrum XV dan Dies Natalis ke-75 UGM akan jatuh pada 19 Desember 2024.
Dalam rangkaian acaranya, sejumlah kegiatan seperti beragam lomba, pertunjukan ketoprak, merti kampus, pagelaran wayang, nitilaku hingga temu alumni akan digelar. Salah satu rangkaian utamanya yakni Seminar Lustrum XV dan Dies Natalis ke-75 UGM. "Kamis besok, setelah kami memberikan suara di Pilkada, akan ada seminar nasional berkaitan dengan pengalaman kita menyelesaikan konflik-konflik di Indonesia dan itu kita tunjukkan sebagai salah satu hadiah kita bagi dunia," kata Sandi pada Selasa (26/11/2024).
Seminar ini lanjut Sandi ingin memaparkan resolusi-resolusi yang pernah ditempuh Indonesia untuk menyelesaikan sejumlah konflik yang ada. "Kami ingin menunjukkan bagaimana resolusi yang kita hasilkan dengan cara-cara menurut tradisi Indonesia yang berhasil menyelesaikan konflik-konflik," imbuhnya.
Ketua Lustrum XV dan Dies Natalis ke-75 UGM, Arie Sujito mengungkapkan salah satu dasar mengapa topik Pengalaman Resolusi Konflik dan Perdamaian Dalam Konteks Masa Depan Demokrasi Indonesia merupakan perjalanan panjang Indonesia dalam menghadapi konflik. Salah satu di antaranya ialah kemampuan bangsa dan masyarakat mengelola sumber daya dari sisi pluralitas.
Kemajemukan, lanjut Arie, menjadi modal Indonesia. Lebih jauh kemampuan Indonesia mengelola sumber daya, pluralitas masyarakat dianggap Arie akan menjadi titik tumbuh masa depan demokrasi.
"Memang erat kaitan dengan itu adalah banyak pengalaman mengelola konflik, menyelesaikan konflik dengan berbagai trek. Trek dari sisi pemerintah atau level negara, kemudian trek masyarakat sipil dan inisiatif-inisiatif yang lain," ucap dia.
"Kita punya pengalaman yang cukup banyak bahwa pengalaman konflik di antaranya soal identitas, pengalaman konflik kelompok-kelompok masyarakat yang berdimensi struktural, itu banyak sekali yang telah diselesaikan," imbuhnya.
Arie juga berpandangan masa depan demokrasi adalah kemampuan masyarakat untuk bisa melacak ulang hal-hal yang spesifik atau yang disebut dengan pengalaman-pengalaman baik dalam berbagai bidang untuk membantu masyarakat ke depannya.
"Seminar ini sebetulnya mau punya maksud untuk itu bagaimana kita belajar dari pengelolaan konflik, resolusi damai dan intervensi apa yang selama ini dianggap ampuh dan masyarakat publik internasional pun bisa belajar dari Indonesia. Termasuk apakah resolusi konflik itu hanya berbasis dan bertumbuh pada kekuatan masyarakat sipil saja," tegasnya.
Kurikulum
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Erich Kaunang berharap resolusi konflik dan perdamaian bisa masuk dalam kurikulum pelajaran.
Hal itu tidak terlepas dari konflik-konflik yang mungkin sudah dialami pada usia pelajar atau yang terjadi di lingkungan sekolah. "Harapannya kurikulum perdamaian ini kemudian bisa difasilitasi dalam kurikulum nasional," ujarnya.
Erich mencontohkan bagaimana konflik yang muncul dari aksi perundungan yang selama ini penyelesaiannya terkesan sangat formalistik dan seakan belum menjadi perhatian serius.
"Penyelesaiannya sangat formalistik. Belum sampai ke akar. Anak perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana mereka bisa menangani konflik yang terjadi pada level sekolah maupun lingkungan," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News