Cara Pemuda Katongan Gunungkidul Merawat Sumber Kehidupan

1 month ago 19

Cara Pemuda Katongan Gunungkidul Merawat Sumber Kehidupan Peserta aksi penanaman pohon dan perawatan sumber air Jomboran sedang bersiap menanam bibit pohon di sekitar sumber air Jomboran, Padukuhan Nglebak, Kalurahan Katongan, Nglipar, Gunungkidul, Minggu (1/12/2024). - Ist

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Liyan mengingat-ingat tatkala dia masih bocah yang suka ke sana kemari. Kala itu 2006 di mana ia bersama teman-temannya bermain di hutan, mengambil buah-buahan seperti sirsak dan jambu, serta bermain air di selokan.

Selokan itu jangan dibayangkan penuh limbah. Airnya saja berasal dari sumber, belik yang muncul dari dalam tanah ke permukaan. Air tanah yang jernih ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari warga di sekitar sumber tersebut. Bukan hanya untuk konsumsi, namun juga pertanian.

“Sumber air di Jomboran itu sudah ada sejak puluhan tahun. Pada masa jayanya malah bisa dipakai untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari sampai pertanian. Tapi seiring perkembangan zaman airnya malah menyusut,” kata Liyan ditemui di Bangsal Sewokoprogo, Wonosari, Rabu (4/12).

Liyan yang menjadi penggerak kaum muda Katongan, Nglipar di isu lingkungan hidup merasa resah. Beranjak dewasa, ia merasa ada sesuatu yang tak beres dari sumber air tersebut. Debitnya berkurang dan sudah tidak dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan pendudukan di dua rumah tangga (RT).

Ternyata, ia baru sadar bahwa bukan sumber air yang bermasalah. Permasalahan terletak pada kondisi lingkungan sekitar yang mulai jarang ditemui pohon perindang dan buah. Di mana-mana jati. Jumlahnya pun berkurang.

Menurut dia, warga sekitar yang masih menggunakan cara lama dalam membersihkan lahan dengan membakar menyebabkan dampak yang besar. Bibit tanaman yang tersemai secara alami lenyap. Tidak ada regenerasi pohon perindang dan buah.

BACA JUGA: Jalan Wisata di HeHa dan Obelix Sea View Gunungkidul Akan Dibuat Searah Selama Libur Natal dan Tahun Baru 2025

Sumber air Jomboran sebenarnya berada di wilayah kehutanan Perhutani. Di salah satu titik wilayah tersebut pengelolaan hutan dilakukan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH). Ada area sekitar 2 hektar (ha) yang sebenarnya diperuntukan sebagai wilayah konservasi.

“Wilayah konservasi ada di wilayah perhutanan itu yang dikelola petani. Tapi isinya hanya jati. Padahal dulu beragam,” katanya.

Melihat kondisi itu, Liyan bersama Karang Taruna Garda Nglebak, Katongan, Nglipar pada September 2024 menggali dua sumber air Jomboran. Satu sumber alirannya sempat terhenti akibat timbunan material.

Mereka menggali hingga kedalaman sekitar 3 meter dan memperlebar cekungan di sumber air tersebut. Pada Minggu (1/12/2024), Karang Taruna Garda Nglebak menggelar aksi penanaman pohon dan perawatan sumber air Jomboran.

Ada sekitar 150 orang yang ikut dalam aksi ini yang menanam kurang lebih 400 pohon dengan jenis Beringin, Gayam, Bulu, dan Nyamplung. Peserta berasal dari berbagai lintas komunitas dan instansi pendidikan mulai tingkat menengah atas/ kejuruan, hingga perguruan tinggi seperti Universitas Gunungkidul (UGK) dan Universitas Gajah Mada (UGM).

Selain merehabilitasi sumber air, pohon-pohon perindah dan buah akan mengembalikan kenanekaragaman satwa. Liyan membayangkan wilayah tersebut dapat menjadi hutan mini khusus untuk konservasi burung.

Mungkin gambarannya mirip dengan konservasi burung di Kalurahan Jatimulyo, Girimulyo, Kulonprogo yang dikelola Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi. Tidak boleh ada penebangan secara sembarangan dan memburu burung. Ekosistem ini pun akan terjaga.

“Burung-burung bisa makan dan minum di situ. Warga juga akan mendapat manfaat ketika berbuah,” ucapnya.

Menurut Liyan, warga sekitar juga sempat melihat elang. Dengan ketersediaan sumber makanan, karena rantai makanan pulih, elang akan sering datang.

Saat ini, beberapa warga Padukuhan Nglebak mengalirkan air dari sumber Jomboran menggunakan pipa-pipa. Tidak ada listrik maupun pompa air. Warga hanya mengandalkan gravitasi. Guna melakukan perawatan rutin pipa-pipa itu, warga menyisihkan uang untuk anggaran perawatan.

Liyan mengatakan ada satu pohon buah besar yang tidak akan pernah ditebang. Pohon duwet dengan nama latin syzygium cumini yang berada di dekat sumber air Jomboran telah dianggap sakral.

Pohon dengan diameter batang sekitar 1,5 meter itu merupakan pohon resan. Kata “resan” yang dekat dengan bahasa Jawa wreksa dengan arti pohon besar atau raksasa ini dirawat, dan dijaga hingga tumbuh besar agar memiliki fungsi konservasi.

Upaya rehabilitasi sumber air dengan penanaman tanaman perindah dan buah tidak dapat berhenti pada menanam saja. Karang Taruna Nglebak akan terus merawat bibit tersebut agar terus hidup. Perjuangan memulihkan sumber air tidak semudah membalik telapak tangan.

“Setahun atau dua tahun tentu belum kelihatan manfaat penanaman kemarin itu. Intinya kami menjaga dan kami tandai juga pohon-pohon itu agar tidak dibakar,” katanya.

Ekosistem yang lestari bukan hanya bermanfaat bagi satwa. Wilayah yang lestari dapat dimanfaatkan sebagai bumi perkemahan. Pemerintah Kalurahan setempat dapat memanfaatkannya sebagai destinasi wisata terbatas.

Pendiri Komunitas Resan Gunungkidul, Edi Padmo bercerita pentingnya kawasan penyangga sumber air. Kawasan penyangga perlu ditanami pohon-pohon dengan akar serabut yang dapat menahan atau mengikat air.

Padmo yang ikut dalam aksi penanaman pohon dan perawatan sumber air Jomboran pada Minggu (1/12) berpesan kepada Karang Taruna Garda Nglebak agar merawat bibit yang telah ditanam.

Minimal, kata dia bibit pohon baru akan memiliki fungsi ekologis/ konservasi di lima belas tahun setelah penanaman. Waktu yang tidak sebentar. Nafas perlu panjang untuk menjaga komitmen konservasi.

“Kalau ditanya kendala, ya banyak kendala dan banyak masalah. Ora sah dipikir. Menghabiskan energi saja. Marai memeng. Paling penting dijalani, sebisa kita dan sekuat kita,” kata Padmo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news