Catahu 2025 LBH Makassar. (Dok: KabarMakassar)KabarMakassar.com— Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)–LBH Makassar merilis Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2025 yang memotret memburuknya situasi penegakan hukum, hak asasi manusia (HAM), dan demokrasi di Sulawesi Selatan.
Sepanjang 2025, LBH Makassar mencatat dominasi aktor negara, khususnya kepolisian, dalam praktik pelanggaran HAM, serta menguatnya kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat dan kelompok rentan.
Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor LBH Makassar, LBH Makassar mengungkapkan telah menerima 212 permohonan bantuan hukum sepanjang tahun 2025.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 202 permohonan ditangani melalui layanan konsultasi hukum, mediasi atau negosiasi, hingga pendampingan kuasa hukum di pengadilan. Rabu (24/12)
Direktur LBH Makassar Abdul Azis Dumpa menyampaikan bahwa dari seluruh perkara yang ditangani, sebanyak 157 kasus atau sekitar 78 persen merupakan pelanggaran HAM struktural, sementara 45 kasus lainnya bersifat non-struktural.
“Data ini menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan kebijakan dan praktik kekuasaan,” kata Abdul Azis.
Berdasarkan klasifikasi isu, perkara fair trial menjadi kasus terbanyak dengan 39 perkara, meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus tersebut disusul kekerasan terhadap perempuan sebanyak 25 kasus, sengketa tanah dan perumahan 21 kasus, perburuhan 18 kasus, kekerasan fisik oleh aparat 15 kasus, serta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 13 kasus.
LBH Makassar menilai tingginya perkara fair trial sejalan dengan rendahnya kualitas penegakan hukum di Indonesia. Mengacu pada indeks World Justice Project (WJP) 2025, Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 143 negara dengan skor 0,5239, lebih rendah dibandingkan sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara.
Dari sisi aktor pelanggaran HAM, institusi Polri tercatat sebagai pelaku terbanyak dengan 58 kasus dari total 157 kasus pelanggaran HAM struktural yang didokumentasikan. Angka ini meningkat tajam dibandingkan tahun 2024. Korban pelanggaran tersebut berasal dari berbagai kelompok, mulai dari perempuan, mahasiswa, buruh, petani, hingga masyarakat miskin perkotaan.
“Peningkatan keterlibatan Polri menunjukkan masih kuatnya praktik kekerasan, impunitas, dan penyalahgunaan kewenangan dalam penegakan hukum,” ujar Abdul Azis.
Ia juga menyinggung kebijakan internal Polri sepanjang 2025 yang dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan memperlemah agenda reformasi kepolisian.
Selain aparat negara, pelaku pelanggaran HAM lainnya meliputi kelompok sipil atau warga sebanyak 30 kasus, perusahaan swasta 29 kasus, pasangan atau suami 25 kasus, pemerintah daerah 4 kasus, birokrasi kampus atau sekolah 3 kasus, serta TNI 1 kasus.
Dalam sektor ketenagakerjaan, LBH Makassar mencatat ribuan buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan minim perlindungan hukum. Salah satu kasus menonjol terjadi di Kawasan Industri Bantaeng, di mana tercatat 1.962 buruh terdampak PHK.
Selain itu, kasus buruh PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) di Bantaeng menunjukkan praktik kerja berlebihan dengan jam kerja hingga 12 jam per shift tanpa perlindungan memadai.
Di bidang agraria, konflik perampasan lahan masih terus berlangsung, menimpa petani dan masyarakat adat di sejumlah wilayah Sulawesi Selatan. LBH Makassar mencatat konflik agraria di Polong Bangkeng, Barabaraya, serta masyarakat adat Rampi yang wilayah adatnya terancam aktivitas pertambangan emas.
Ruang kebebasan sipil juga dinilai semakin menyempit. Sepanjang 2025, LBH Makassar mendampingi sejumlah kasus kriminalisasi warga dan aktivis, termasuk pendampingan terhadap dua warga yang dituduh terlibat dalam pembakaran Gedung DPRD Kota Makassar saat kerusuhan 29 Agustus 2025.
Selain itu, tiga dosen Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) dilaporkan dipecat usai melaporkan dugaan plagiarisme di lingkungan kampus.
Dari sisi korban, kelompok yang paling terdampak pelanggaran HAM adalah masyarakat miskin perkotaan dengan 54 kasus, disusul perempuan 44 kasus, buruh 22 kasus, dan anak di bawah umur 12 kasus. Mayoritas pemohon bantuan hukum berasal dari Kota Makassar dengan latar belakang ekonomi berpenghasilan rendah.
LBH Makassar menyimpulkan bahwa sepanjang 2025, demokrasi dan penegakan HAM berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
“Kami melihat demokrasi bergerak menuju situasi distopia, di mana rakyat semakin kehilangan perlindungan hukum dan keadilan,” kata Abdul Azis.

















































