KLIKPOSITIF — Diskusi budaya Mentawai menjadi salah satu agenda penting dalam rangkaian Festival Sastra Marah Roesli yang digelar UPTD Taman Budaya Sumatera Barat pada Jumat, 19 Desember 2025. Kegiatan ini membuka ruang refleksi atas berbagai persoalan yang dihadapi kebudayaan Mentawai, khususnya terkait pelestarian tradisi lisan dan bahasa daerah.
Kepala UPTD Taman Budaya Sumatera Barat, M. Devid, mengatakan diskusi ini tidak hanya membicarakan budaya Mentawai sebagai warisan masa lalu, tetapi juga sebagai cermin untuk melihat tantangan masa kini dan perbaikan di masa depan. Menurutnya, budaya Mentawai menyimpan kekayaan nilai yang penting untuk terus dirawat dan diwariskan lintas generasi.
“Diskusi ini mengungkap berbagai persoalan yang terjadi dalam kebudayaan Mentawai. Dari sini kita bisa melakukan refleksi bersama, bagaimana upaya pelestarian itu harus terus dilakukan agar tidak tergerus zaman,” ujar Devid.
Salah satu fokus diskusi adalah pelestarian bahasa Mentawai yang jumlah penuturnya relatif sedikit jika dibandingkan dengan bahasa Minangkabau maupun Mandailing. Narasumber Rio Saputra, peneliti bahasa Mentawai, memperkenalkan kamus digital Bahasa Indonesia–Mentawai bernama Sumaeruk sebagai upaya konkret menjaga keberlangsungan bahasa tersebut.
Rio menjelaskan, Sumaeruk dirancang sebagai media dokumentasi sekaligus pembelajaran bahasa Mentawai yang mudah diakses oleh generasi muda. “Kamus ini merupakan bentuk ikhtiar agar bahasa Mentawai tidak punah. Jumlah penuturnya semakin berkurang, sehingga perlu ada upaya serius untuk melestarikannya,” kata Rio.
Selain bahasa, diskusi juga menyoroti kekayaan tradisi lisan Mentawai melalui perspektif patura atau teka-teki. Peneliti budaya Mentawai, Kristi, menjelaskan bahwa patura bukan sekadar permainan kata, melainkan sarana pewarisan nilai budaya yang sangat penting.
Menurut Kristi, patura memuat berbagai unsur kebudayaan Mentawai, mulai dari tradisi, nilai sosial, norma, pendidikan, hingga pengetahuan tentang flora, fauna, dan alam semesta. “Patura adalah bentuk kebudayaan lisan yang hidup. Ia mengajarkan cara berpikir, cara memahami alam, dan cara hidup orang Mentawai,” jelasnya.
Ia mencontohkan beberapa patura yang masih dikenal di masyarakat Mentawai, seperti “Aponia tarimeu sitak lopegu?” yang berarti Apa yang tidak punya empedu? dengan jawaban rusa. Contoh lainnya, “Puqakgaknangan sibajak goloknangan sotnia?” atau Si Bapak tertawa, copot giginya, yang jawabannya adalah pullajoat bagok atau jantung pisang.
Kristi menegaskan, patura akan terus hidup jika dilisankan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tantangan terbesar saat ini, menurutnya, adalah menurunnya minat generasi muda terhadap budaya sendiri akibat kuatnya pengaruh budaya populer.
“Patura bukan hanya permainan kata-kata, tetapi budaya yang hidup. Tantangan hari ini adalah generasi muda yang mulai tidak melek budayanya sendiri dan lebih akrab dengan budaya pop,” ujarnya.
Melalui diskusi ini, Festival Sastra Marah Roesli tidak hanya menghadirkan sastra sebagai karya tulis, tetapi juga sebagai ruang perjumpaan gagasan untuk merawat kekayaan budaya lokal, termasuk budaya Mentawai, agar tetap relevan dan berkelanjutan di tengah perubahan zaman.

1 day ago
7
















































