Susi Susanti (Kabid PSDO Kohati Badko HMI Sulawesi Selatan). (Dok: Ist)KabarMakassar.com — Digitalisasi, secara teoritis, adalah jembatan menuju efisiensi. Ia menjanjikan transparansi, aksesibilitas, dan kualitas layanan yang setara bagi setiap warga negara. Namun, saat mengikuti Advance Training HMI Badko Jawa Timur baru-baru ini, sebuah refleksi mendalam muncul: benarkah digitalisasi telah memenuhi substansi awalnya, atau ia justru menjadi topeng baru bagi ketimpangan sosial?
Kita sering menemui realitas sosial yang kontradiktif. Di satu sisi, teknologi diagungkan sebagai pemudah layanan publik. Namun di sisi lain, kita masih melihat tangis seorang nenek yang kesulitan mengakses layanan BPJS, atau keluhan seorang bapak dari pedalaman yang harus pulang dengan tangan hampa karena kekosongan blanko KTP.
Inilah wajah digitalisasi yang kehilangan arah. Alih-alih memperluas jangkauan informasi dan akuntabilitas, proses ini sering kali hanya menjadi pemindahan birokrasi manual ke sistem digital yang tetap rumit dan tidak memanusiaikan manusia.
Mengutip pemikiran Franz Magnis Suseno, hubungan antara teknologi dan etika harus dipahami secara kritis. Kemajuan teknologi tidak otomatis berarti kemajuan moral. Era digital adalah hal yang tak terbantahkan, namun kita tidak boleh membiarkan teknologi “mengendus” dan menggerus otoritas kemanusiaan kita.
Otoritas manusia terletak pada etika dan moralitasnya. Teknologi tanpa etika akan kehilangan sisi kemanusiaannya, sedangkan etika tanpa keberanian menghadapi teknologi akan kehilangan relevansinya. Digitalisasi seharusnya menjadi ruang eksistensi manusia yang nyata—sebagaimana gagasan Hannah Arendt tentang ruang publik tanpa diskriminasi.
Jika tidak bijak, manusia akan terjerembak menjadi makhluk konsumtif yang terjebak dalam hiperrealitas. Kita mulai lebih mementingkan citra (subjek) daripada kualitas (objek). Dalam pusaran ini, kapitalisme menjadi raksasa yang memangsa kehormatan manusia.
Salah satu distorsi yang paling nyata adalah komodifikasi tubuh perempuan. Tubuh perempuan kerap dijadikan alat penarik dalam produk kapitalis di ruang digital. Secara tidak langsung, ini adalah bentuk pelacuran terhadap kehormatan dan citra perempuan sebagai manusia berdaulat demi kepentingan pasar.
Lalu, bagaimana HMI memandang laju digitalisasi ini?
Sikap HMI jelas: digitalisasi tidak diterima mentah-mentah, namun tidak pula ditolak sepenuhnya. Digitalisasi harus ditundukkan pada nilai etika dan moral. Teknologi tanpa nilai adalah ancaman bagi peradaban dan Nilai tanpa teknologi akan membawa kita pada ketertinggalan.
Tugas kader HMI adalah memastikan digitalisasi tetap berjalan dalam koridor Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Kita harus bersikap kritis, etis, dan bertanggung jawab. Jangan sampai kita larut tanpa kendali dalam arus digital, karena jika teknologi kehilangan kompas moralnya, kita hanya akan hancur dalam bayang-bayang kebiadaban modern. Susi Susanti (Kabid PSDO Kohati Badko HMI Sulawesi Selatan)

















































