Empat Mahasiswa Gugat UU MD3, Minta Rakyat Bisa Berhentikan Anggota DPR ke MK

3 weeks ago 17
Empat Mahasiswa Gugat UU MD3, Minta Rakyat Bisa Berhentikan Anggota DPR ke MKPara Pemohon Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 UU MD3 dilakukan secara daring, (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Empat mahasiswa mengajukan gugatan uji materi terhadap Pasal 239 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka menilai pasal tersebut mengebiri hak rakyat sebagai pemilih karena tidak memberi ruang bagi konstituen untuk memberhentikan anggota DPR yang dianggap tidak lagi mewakili aspirasi publik.

Gugatan ini diajukan oleh Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Muhammad Adnan, yang teregistrasi sebagai Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025. Sidang pemeriksaan pendahuluan digelar secara daring di MK dengan majelis hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah.

“Sangat sulit dipahami, proses pemilihan anggota DPR dilakukan dengan prinsip kedaulatan rakyat, tapi untuk pemberhentian justru mengabaikan prinsip itu. Rakyat yang memilih tidak diberi ruang untuk menarik mandat,” ujar Muhammad Adnan saat membacakan permohonan di hadapan majelis, Selasa (04/11).

Para pemohon menyoroti bahwa Pasal 239 UU MD3 hanya memberi kewenangan pemberhentian antarwaktu (PAW) kepada partai politik, tanpa mekanisme yang memungkinkan pemilih mencabut mandat wakilnya. Hal ini, menurut mereka, telah menciptakan monopoli kekuasaan partai dan mengabaikan esensi demokrasi perwakilan.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui laman publikasipaw.kpu.go.id, tercatat 41 anggota DPR periode 2015–2024 telah diberhentikan antarwaktu. Namun, para mahasiswa menilai sebagian besar kasus tersebut bermotif politik internal partai, bukan berdasarkan pelanggaran moral atau kehilangan legitimasi di hadapan publik.

“PAW sering digunakan sebagai alat politik. Anggota DPR bisa diberhentikan karena pindah partai atau tidak sejalan dengan kepentingan elit, bukan karena aspirasi rakyat,” tegas Adnan.

Dengan gugatan ini, para mahasiswa berharap MK dapat memulihkan makna sejati kedaulatan rakyat, yakni memberikan ruang bagi konstituen untuk menilai dan mencabut mandat wakilnya di DPR, bukan hanya menyerahkannya sepenuhnya kepada partai politik.

“Kedaulatan rakyat tidak boleh berhenti di bilik suara,” ujar Adnan.

Dalam permohonan, para pemohon menyatakan bahwa ketentuan recall dalam UU MD3 telah meniadakan kontrol rakyat terhadap wakilnya di parlemen. Akibatnya, pemilih hanya berdaulat pada hari pemilu, sementara setelah itu mereka kehilangan hak untuk menilai dan menuntut pertanggungjawaban wakil rakyat.

“Rakyat hanya dijadikan objek pemilu, bukan subjek dalam demokrasi,” tulis para pemohon dalam berkas gugatan.

Para mahasiswa menilai, kondisi ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, hak konstitusional mereka sebagai warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan dan mendapat perlakuan yang adil di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, ikut terlanggar.

Mereka juga menyinggung sejumlah kasus terbaru, seperti pemberhentian Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai NasDem, serta Uya Kuya dan Eko Patrio dari PAN, yang menimbulkan polemik karena dilakukan melalui keputusan partai, bukan mekanisme hukum yang jelas.

“Praktik recall hari ini sering tidak diatur secara eksplisit dalam UU MD3, tapi dijalankan berdasarkan tekanan politik internal partai. Ini menimbulkan kebingungan publik dan menggerus legitimasi DPR,” tulis para pemohon.

Dalam sidang, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mempertanyakan detail pasal yang diuji, apakah berfokus pada substansi pemberhentian atau mekanismenya. Ia meminta para pemohon menjelaskan bagaimana konsep recall oleh konstituen dapat diterapkan dalam sistem politik Indonesia yang berbasis partai.

“Apakah Saudara menguji soal pemberhentian atau caranya yang Saudara minta melalui konstituen di daerah pemilihan?” tanya Guntur.

Sebelum menutup sidang, Hakim Suhartoyo memberi waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki berkas permohonan, baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy, dan menyerahkannya paling lambat pada Rabu, 17 November 2025 pukul 12.00 WIB. Jika permohonan dinyatakan lengkap, MK akan melanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news