Ketua tim peneliti dari FT UGM, Prof Ferian Anggara (kiri) menunjukkan hasil panen padi dari lahan persawahan yang telah diberi produk Gamahumat. ANTARA - HO/Humas UGM
Harianjogja.com, JOGJA–Batu bara kalori rendah yang tidak dapat digunakan sebagai feed coal di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dapat diolah menjadi pembenah tanah atau "soil stabilizer".
Ketua Tim peneliti dari Fakultas Teknik (FT) Universitas Gadjah Mada (UGM) FT UGM, Prof Ferian Anggara mengatakan hasil inovasi itu diberi nama Gamahumat. "Gamahumat adalah senyawa humat berupa asam humat dan asam fulvat yang berasal dari ekstraksi batu bara dengan kalori rendah," ujarnya dikutip Sabtu (2/11/2024).
BACA JUGA: Para Ahli Meteorologi dan Pertanian Bahas Strategi Mewujudkan Ketahanan Pangan
Produk pembenah tanah yang dikembangkannya tersebut, kata Ferian, mampu menjadi pendamping pupuk sehingga proporsi penggunaan pupuk dapat dikurangi. Sebagai contoh kasus, dalam demplot padi yang diujicobakan di kawasan persawahan di Desa Bimomartani, Sleman, menurut dia, cukup menggunakan 15 persen NPK dan urea dari jumlah yang seharusnya, serta Gamahumat 15 persen.
Dia menjelaskan, 15 persen Gamahumat memiliki andil 80 persen hasil yang seperti full NPK-Urea sehingga pupuk bisa dikurangi menjadi 15 persen sampai 20 persen dari takaran normal.
"Hasil panen dapat mendekati layaknya produktivitas padi yang sepenuhnya menggunakan NPK dan Urea," ujar Ferian.
Indonesia, kata dia, mempunyai sumber daya batu bara kalori rendah mencapai 30 persen dan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, Ferian menggandeng PT. Bukit Asam yang memiliki batu bara peringkat rendah dan teruji sesuai untuk memproduksi Gamahumat.
BACA JUGA: Mendekatkan Pertanian dengan Perkotaan
Kerja sama tersebut telah terjalin sejak 2018 dengan pemberian pendanaan riset pada tahun 2023.
Menurut dia, PT. Bukit Asam memberi dana padanan dalam skema matching fund Kedaireka untuk melakukan analisis laboratorium guna mendapat proses ekstraksi yang paling optimal dan membuat prototipenya.
"Saat ini, alat tersebut mampu memproduksi 20 liter senyawa humat basah per hari dari 5 kg batubara umpan,” katanya.
Ferian mengaku dirinya tengah melakukan penelitian Gamahumat ke level pilot project dan tahun ini pihaknya akan melakukan fabrikasi alat di Yogyakarta.
Pada 2025 alat itu akan dioperasikan di Peranap, Riau, tepatnya di lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Bukit Asam yang mempunyai cadangan batu bara mencapai 600 juta ton.
Nantinya, pabrik yang dioperasikan tersebut akan berskala komersial dengan kemampuan produksi mencapai 60 ton senyawa humat per tahun. "Obsesi kami sebagai peneliti adalah bagaimana kami bisa mengoptimalkan pemanfaatan hasil pertambangan sehingga memiliki nilai tambah tinggi dengan konsep ekonomi sirkular," tuturnya.
Pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Tinggi (LPDP) dengan skema penelitian INSPIRASI juga mendukung pengembangan produk itu dengan memberikan pendanaan selama tiga tahun hingga tahun 2026.
Selain Gamahumat, dukungan ini dialokasikan juga untuk mengembangkan inovasi yang dapat dikolaborasikan dengan Gamahumat, yakni produk nanosilika berukuran kurang dari 10 mikron yang dibutuhkan tanaman dengan keunggulan mudah untuk diserap.
"Penggabungan produk ini menyasar pada lahan yang kekurangan unsur hara agar dapat ditanami dan ditingkatkan produktivitasnya," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara