Halaman Keluarga Prasejahtera

6 hours ago 1

Exhibition Scoopy x Kuromi - Klikpositif

SEMENTARA kawan-kawan lain sedang mengambil gambar, aku sangat bersyukur harus terjebak di depan rumah ini. Berkeliling nyaris delapan putaran untuk mencari sepasang ibu dan anak kecil yang mau menjadi figuran, membuat kakiku cukup pegal. Untung saja penghuni rumah ini bersedia membantuku, meski dengan perasaan waswas takut anaknya diculik, yang menyebabkan aku harus disandera di sini sampai mereka kembali.

Sambil menyalakan rokok, kupandangi sekitarku dan kudengarkan suara televisi dari rumah yang tak satu pun orang menonton. Kulihat bungkus-bungkus minuman instan yang tergantung, blender, dan mesin untuk menutup gelas plastik. Aku baru menyadari bahwa di salah satu tembok rumah terdapat tulisan: Keluarga Prasejahtera. Huruf-huruf itu dicat dengan warna yang kontras dari warna rumah, seakan-akan sebuah cap. Tikus berjalan di bawah sana, masuk ke selokan, kemudian kembali ke rumah lewat sela di bawah tulisan itu.

“Masih lama, ya?” tanya seorang gadis dengan suara halus dari dalam rumah. Pertanyaan itu membuatku secara spontan memandang ke arahnya. Dia masih memakai seragam SMP.

“Enggak, kok. Sampai magrib paling,” jawabku seraya melihat ponsel, mengecek waktu. Masih jam lima sore. Ada satu pesan WA dari Ayah, menyuruhku hadir ke syukuran kehamilan kakak tiriku. Tak kubalas.

Sementara itu, gadis tersebut juga tak menjawab perkataanku. Dia hanya duduk di dalam rumah. Pintu dari tadi memang terbuka, jadi aku bisa melihatnya dari tempatku. Sepertinya, gadis itu sengaja diam di sana jaga-jaga jika ada yang membeli minuman atau jika aku mencuri. Aku merasa keluarga ini memang menganggapku seperti penjahat.

Seorang perempuan lain datang, langsung masuk ke rumah itu dan berbisik-bisik yang tetap bisa kudengar, “Siapa?” Aku mencoba untuk melirik ke arah sana. Sayang, orang baru itu duduk di tempat yang sulit kuamati.

“Mahasiswa film, lagi buat tugas akhir. Si Mamah jadi figuran. Syutingnya di halte depan, tuh.” jawab gadis berbaju SMP, tak berbisik-bisik.

“Bu Cucu jadi artis? Kenapa gak nonton?” Sekarang nada bicaranya sudah normal, bahkan cenderung lantang.

“Disuruh jaga warung.”

Kuminum Pop Ice Cokelat yang tadi kupesan, dan mulai berpikir: mungkin sebenarnya gadis SMP ini ingin menonton ibunya jadi bintang film, dan dia kesal harus diam di rumah sehingga meminta sahabatnya untuk menemani. Mungkin, dia punya masalah dengan pacar monyetnya, dan ingin curhat ke temannya. Atau mungkin, hanya kebetulan saja kawannya datang, dan mengira aku adalah pacar gadis SMP ini.

Karena tak ada yang bisa kulakukan, maka kembali kutatap sekitar. Kali ini, aku amati bagian dalam rumah. Dari tempatku, kulihat televisi sedang menayangkan sinetron yang kuyakin isinya soal prahara rumah tangga. Di atasnya ada antena kecil berwarna oranye. Di dinding, ada beberapa kaligrafi dan foto, tapi tak ada potret keluarga. Bangunan ini, tiba-tiba mengingatkanku akan rumah sementara ayahku ketika ia cerai dan belum menikah lagi. Tempat kecil dengan televisi yang terus menyala.

“Minggu depan bapakmu nikah lagi?” tanya teman si gadis.

Raut wajah Gadis SMP itu terlihat berbeda. “Tahu dari mana?”

“Bu Cucu kemarin cerita.”

Gadis itu terdiam dan bersembunyi di balik ponselnya. Dia menghela napas, kemudian berkata dengan nada ceria yang dibuat-buat: “Minggu depan acaranya.”

“Datang?”

“Datang, dong. Kapan lagi ke nikahan orang tua.” Kawannya tertawa.

Gadis SMP tersebut memalingkan wajah ke arahku. Secara spontan, kupalingkan muka ke arah ponsel. Aku tak mau dikira menguping. Meski tanpa itu pun, suara mereka terdengar cukup jelas. Dari ponselku, ada dua kali panggilan tak terjawab dari Ayah. Aku kembali menghisap rokok, menatap tulisan Keluarga Prasejahtera. Di bawahnya, tikus yang tadi kembali keluar, melihat ke arahku sebentar lalu lari ke selokan.

Ibu pemilik rumah datang menggendong anak kecil. “Beres, Bu?” tanyaku langsung. “Gak diculik, kan?” candaku.

Ibu tersebut tertawa kemudian bicara dengan rempong, “Kan lagi musim penculikan anak.” Ia pun masuk ke rumah.

“Gimana, Mah? Cape?” tanya anaknya—si gadis SMP.

“Cie, Ibu Cucu jadi artis!” goda teman si gadis.

“Ah artis apaan? Adegannya gitu-gitu doang. Naik bis. Duduk.” Anak di pangkuannya telah diambil oleh gadis SMP itu. “Eh, Neng hari ini gak ke rumah si Bapak? Kan jadwalnya.”

“Malas, ah.” Sambil mendengar, aku berpura-pura lagi memandang ponsel. Kawan-kawanku mengabari untuk langsung pergi ke set selanjutnya.

“Kenapa? Karena Minggu si Bapak nikah lagi? Padahal, ke sana aja, minta uang. Nanti ada ibu tiri takutnya pelit!” ujar ibunya dengan nada bercanda.

Di balik tawa kawan dan ibunya, kutatap kembali gadis SMP itu. Dia hanya diam sambil menggendong adiknya. Sang Ibu masuk ke ruangan di belakang, mungkin ke kamar mandi atau dapur. Aku membuka tasku dan membawa amplop bayaran figuran.”Yaudah, Neng ke sana, Mah. Minta uang!” ujar Sang Gadis.

“Kan di sana juga dikasih uang, Neng,” teriak ibunya.

“Kan ke sini minta, ke sana minta,” jawabnya. Sahabatnya kembali tertawa. Aku lihat isi amplop, lima puluh ribu. Kubuka dompet dan kutambahkan lima puluh ribu lagi.

Ibu tersebut kembali. Aku berdiri, “Bu,” ujarku, “Saya mau pamit.” Ia ikut berdiri di ambang pintu. “Makasih banyak ya, Bu, udah mau bantuin kami. Maaf ngerepotin. Ini ada sedikit rezeki dari kawan-kawan,” ujarku sambil memberikan amplop.

“Eh, jangan. Ibu ikhlas, kok.”

“Gak apa-apa, Bu. Ini amanat dari kawan-kawan. Jadi saya harus kasih ke Ibu. Masa saya korupsi.”

Akhirnya, sambil tertawa, Ibu itu pun mengambil amplop tersebut. “Nanti filmnya ada di youtube atau tivi?”

“Enggak, Bu. Nanti filmnya dilihat dosen dulu, kirim-kirim festival dulu. Paling setahun ke depan baru bisa di youtube atau tivi.”

“Oh. Kabarin Ibu, ya, nanti kalau ada di tivi atau youtube. Pokoknya sukses terus!”

“Siap. Makasih, Bu. Saya pamit dulu, Bu. Assalamualaikum.”

Aku pun pergi. Motorku disimpan di set halte, jadi aku harus jalan kaki lebih dulu. Kurasakan kakiku kembali pegal. Masih ada beberapa scene hari ini, belum besok. Aku memasang earphone, memutar lagu dari ponselku. Ada beberapa pesan: satu dari kawanku mengirim alamat set selanjutnya, lima dari ayahku.

Aku langsung menelepon ayahku: “Halo, Assalamualaikum, Yah.”

“Waalaikumsalam, di mana, Kak? Ini acara udah mau mulai.” Sudah lama rasanya aku tak mendengar suara Ayah.

“Kakak belum bisa ke sana sekarang, Yah. Masih syuting,” Sambil mengucapkan ini, aku telah berada di halte, tapi rasanya kepalaku masih di depan rumah tadi.

“Lain kali kabarin Ayah, ya, biar bisa ngasih buat ongkos sama rokok.” Aku duduk di kursi halte.

“Ah, Kakak ada uang, kok.” Mungkin sekarang tikus di rumah itu sedang mondar-mandir.

“Yaudah, Kak. Ini acaranya udah mau mulai. Semoga lancar.”

“Makasih, Yah. Salam ke Teteh. Salam ke semuanya. Assalamualaikum.” Kututup telepon tersebut. Kunyalakan rokok dan kuhisap dalam-dalam. Tiba-tiba saja aku terpikir bahwa tulisan Keluarga Prasejahtera terasa sangat lucu.[*]

JEIN OKTAVIANY, lahir di Ciwidey. Aktif di komunitas Kawah Sastra Ciwidey, Prosatujuh, Sebelum Huruf A, serta Filmkemarin.
Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news