DARI luar, satu rumah berukuran 20×10 meter persegi itu seperti tak berpenghuni. Tak berpagar. Dua daun pintu masuk dari depan rumah kerap terbuka lebar. Seolah mempersilakan siapa saja untuk datang kapan pun. Kecuali malam, ketika waktu tidur datang, pintu itu tak akan pernah terkunci.
Ada sepasang kakek dan nenek menempatinya. Wajah mereka pada hari-hari sebelumnya selalu tersenyum kini lindap. Seperti cerah pagi tiba-tiba direcoki awan tebal hitam.
”Kue-kue kita masih ada, buk?” tanya kakek dengan suara seraknya yang kuat, khas penyanyi rock Achmad Albar, saat menyiang lobak di dapur untuk persiapan makan malam.
”Sudah tandas,” jawab nenek sekenanya, sembari tidur-tiduran di sofa, menatap ke arah televisi 45 inchi yang mati. Televisi itu memang jarang dinyalakan. Alih-alih untuk hiburan, hanya jadi pajangan. Agar tembok ruangan tak kosong.
Ada waktu dalam setahun, paling mereka nantikan. Setelah melalui bulan-bulan yang panjang, memupuk harapan pada yang pergi kembali pulang. Asa yang belum tentu terjawab. Namun doa-doa selalu dilayangkan untuk segala kebaikan. Lebaran. Dan itu baru saja berlalu.
Sejak pensiun 15 tahun silam, usai Lebaran, sepasang keturunan Adam dan Hawa ini selalu mengulangi perbincangan yang itu-itu juga. Tiada rasa bosan. Sebab ia lebih dulu ditikam penantian.
Tak ada lagi kaki-kaki kecil berlarian turun naik tangga sembari tertawa. Tak ada lagi rengek bayi minta susu pada ibunya. Ngobrol ngalor-ngidul di ruang tamu dan teras, tinggal gemanya saja. Saat subuh, rumah itu semakin terasa lengang karena tak dijumpai lagi tubuh-tubuh yang sesak melepas penat di ruang tengah.
Anak-anak, para menantu, cucu-cucu, keponakan, dan adik-adik, mereka kembali ke rantau. Ada di seberang pulau dan juga hanya di ”balik dapur”. Peruntungan masing-masing diarungi lagi.
Video call yang datang hampir tiap hari seperti tak cukup bagi mereka mengubah jalan cerita. Tak ada improvisasi tanpa pertemuan. Muka ketemu muka. Tangan berjabat tangan. Tanpa ada batas. Begitulah dua lanjut usia itu memaknai jalan hidup.
”Sayurnya hambar,” kata nenek tiba-tiba dan menghentikan suapan keduanya.
”Ah. Aku lupa memberi garam,” saut kakek, lalu buru-buru mencari garam. ”Sayang, habis!”
”Selalu saja begitu,” sambung nenek sedikit ketus. Makan malam pun berlangsung seperti seorang kekasih menahan amarah saat akan putus cinta. Kalaupun ada perbincangan, hanya sekadar basa-basi.
Hari-hari sesudah libur Lebaran, memang kakek yang lebih banyak ke dapur. Meskipun bisa memasak berbagai menu makanan, bukan berarti ia hobi memasak. Ini pelarian. Cara untuk membunuh waktu agar tak terasa betul kalau tiba-tiba disergap risau.
Sewaktu muda dulu, dalam suasana hati yang sama, kakek kerap berlari sekitar 10 kilometer. Kini, sebagai mantan guru olahraga, meski masih terlihat bugar untuk usia tujuh puluhan tahun, dia lebih memilih ruang tertutup dari pada alam terbuka.
Sebab, nenek tak bisa lagi diajak ikut berlari. Bahkan untuk sekadar jalan pagi keliling kampung, bisa tiba-tiba diserang encok. Begitulah, sebenarnya dia tak ingin meninggalkan istrinya sendirian.
”Tambah?”
”Tidak.”
”Sudah kenyang?”
”Ya.”
Piring-piring dan meja makan pun dikemasi bersama. Masih nyaris tanpa percakapan. Hanya ada bunyi gelas, piring, dan sendok beradu-adu. Juga desir air dari tempat pencucian.
***
Pada pagi lain, seruputan terakhir dari secangkir teh telah dingin di bibir kakek. Garis-garis keriputnya kelihatan jelas. Gelas lain, nenek sama sekali tak menyentuhnya. Lewat kacamata minus empat setengah, ia menatap taman rumah yang mulai tak terurus. Rumput-rumput telah meninggi. Hampir semata kaki orang dewasa.
Selain ketuaan telah menggerogoti tubuh, memang tak terpikirkan betul oleh mereka untuk membuat taman itu untuk selalu enak dipandang. Seperti Lebaran yang telah lalu. Paling-paling hanya menyirami agar tak layu, kering, lalu mati.
Sesekali ada orang menawarkan diri untuk membersihkan taman tersebut. Namun ditolak dengan halus. ”Mau dibersihkan. Tapi belum sekarang,” jawab mereka. Seperti kue-kue yang dibuat sekali setahun, taman itu akan benar-benar tampak berwarna beberapa hari jelang Lebaran. Beragam jenis bunga ditanam baru. Segar. Meriah. Bunga-bunga itu diberi nama orang-orang yang mereka tunggu.
”Lebaran datang, tanamannya akan bertambah. Kau siapkan lah bunga terbaik,” ujar nenek memecah keheningan dengan nada lembutnya. Suara yang bila di tengah keramaian sudah pasti tidak terdengar.
”Ya. Sudah aku pikirkan. Warnanya juga harus beda dengan yang lain,” katanya.
”Bagaimana kalau mawar?” sambung nenek.
Dia memang suka dengan bunga berduri itu. Sekalian ada kenangan masa muda di antara mereka berdua. Sebab itu anak pertama diberikan nama Mawar. Warnanya merah.
”Tapi mawar sudah banyak di taman kita ini. Lagian harus kita cocokkan pula dengan nama yang diberikan orang tuanya,” jawab kakek.
Meski nenek suka mawar, mereka nyaris tak pernah berdebat soal ini. Sebab, taman itu tak sekadar tanda cinta dan kasih sayang. Ia juga doa penuh pengharapan. Serta arti dari sebuah penantian.
”Aku punya sebuah nama. Untuk perempuan dan lelaki. Kalau orang tuanya mau, kau bakal kesulitan mencari bunganya.” Agak mendekatkan kepala pada kakek, nenek menyampaikannya. Sang suami kaget. Tapi buru-buru ternyesum.
***
Di hari-hari penantian, mereka sering dipermainkan rasa cemas. Bahkan sebenarnya sudah dimulai jelang libur Lebaran usai. Tapi tak sekalipun mereka perlihatkan pada orang-orang terkasih.
Bagi kakek, malam terasa panjang. Suara katak juga jangkrik talu-bertalu menjadi kawan dalam kesepian. Mencurahkan perasaan yang tertahankan. Sesekali, lolongan anjing membuatnya untuk segera memejamkan mata, meski tak segera terlelap. Pada masa datang, perpisahan dan pertemuan seperti apa yang akan menjelang? Itu yang selalu terpikirkan.
Dalam sebuah buku harian, entah wasiat atau hanya sekadar catatan, ia tulis, ”Sebagai seorang bapak, sebagai seorang mamak, hidup di panti jompo adalah sebuah penghinaan.”
Lalu nenek. Air matanya tak tertahankan jelang tidur. Ia takut orang tersayang, bahkan yang hanya merantau di sepelemparan batu, tak ingat pulang.
”Pulang lah, walau kami tak ada lagi di rumah ini nanti,” pesan itu selalu nenek sampaikan saat melepas orang-orang tersayang mereka.
Bukan saja karena ia gamang bila nanti rumah tersebut tak berpenghuni, dimakan rayap, lalu roboh. Sebagai seorang perempuan, ia ingin orang-orang tercintanya tak kehilangan jejak masa lalu.
”Rumah dan tanah bukan soal harta,” igaunya pada mimpi yang entah keberapakalinya.
***
”Maaf…, ibu! Maaf…, ayah! Ampuuun…!” teriakan panjang itu menerobos tajam ke ruang tengah. Nenek dan kakek terkejut dan saling tatap. Tapi hanya membeku.
Seiring dengan itu, Mawar terlihat berlari dari arah gudang barang rongsokan. Ia meraung, menangis sejadi-jadinya. Sebuah paket telah penuh debu di tangannya.
Ia tahu betul dengan isinya. Sebab, dia yang mengirim pada Lebaran tahun lalu. Sebagai bentuk permintaan maaf karena tak bisa mudik. Satu set gelas terbaik buatan Jepang dan baju baru keluaran Eropa. Bagaimana pemberian itu dipaketkan, seperti itu pula bentuk yang ia dapati kini.
Dalam pelukan penuh penyesalan, sedu-sedan berpilin di antara tiga beranak ini. Seakan hari itu adalah hari terakhir mereka akan bertemu. Perih di hati tak tertahankan. Mereka merasa saling menyakiti.
Kejadian tersebut telah lewat bertahun-tahun lalu. Jauh sebelum Mawar menikah dan sibuk mengejar karir. Karena ribuan kilometer jarak serta izin cuti yang singkat, pulang tak jadi pilihan.
Kakek dan nenek betul-betul kecewa. Lebaran saat itu terasa dingin bagi mereka berdua. Namun, di depan orang-orang tersayang tak pernah mereka perlihatkan.
Walau pernah diremukkan penantian, kakek dan nenek sadar, hal yang sama akan sangat mungkin terjadi lagi. Untuk itu mereka sebetulnya telah bersiap diri.
”Bila terjadi kembali, kita harus bisa ikhlas,” kata kakek pada satu waktu.
”Ya. Harus bisa. Tapi, entahlah,” timpal nenek dengan lirih diikuti helaan napas yang panjang dan sedikit tertahan. ”Semoga saja tak terjadi lagi. Kalaupun iya, aku akan berusaha, berdamai dengan kenyataan.”
***
Di ruang tengah rumah itu terpajang sebuah foto keluarga. Hampir sama besar dengan televisi 45 inchi. Sering sekali, saat sore, nenek menatapnya. Dalam genggaman ada secangkir teh jahe hangat. Tangan yang tadi gemetar, perlahan jadi tenang.
Ia membayangi masa kanak-kanak dari orang-orang tersayang. Orang-orang yang dia dan suaminya besarkan. Keluguan, kenakalan, dan berbagai ulah lainnya, kerap membuat nenek tersenyum tipis sendiri.
Setelah itu berlalu, air matanya meleleh dan menetes ke dalam cangkir yang telah kosong. ”Kau tidak sendiri. Apa yang kau khawatirkan juga aku rasakan,” tutur kakek sambil merangkul pundak nenek. Dia coba menguatkan perempuan yang terkenal ”killer” saat masih mengajar matematika di SMP kampung tetangga itu, meski ia pun rapuh dalam penantian.
Beberapa kali kakek menurunkan foto itu. Menyimpannya dengan rapi dalam lemari. Pernah juga ia tutupi dengan kain coklat sewarna tembok rumah. Tapi hanya bertahan beberapa hari saja.
Apa yang ia lakukan tetap saja tak mendatangkan kebahagian. Rumah itu malah terasa lebih lengang. Nyaris semua lampu tak dimatikan. Namun tak mampu membuat suasana hati kakek dan nenek jadi benar-benar hidup.
Memajang foto itu kembali seperti menantang kepiluan dan kecemasan. Walau mereka tahu tak pernah bisa memenanginya. Tapi paling tidak, senyum nenek selalu hadir di antaranya. Dan kakek, tak harus berpura-pura kuat, walau hanya untuk menatap pintu lemari dan kain sewarna tembok rumah itu.
Bicara tentang foto, sama dengan bunga-bunga yang mereka tanam di taman depan rumah. Akan bersih beberapa hari jelang orang-orang tersayang pulang. Bahkan sedikit pun tak boleh berdebu.
”Sebagai sebuah kenangan dia harus dirawat. Dan pada satu waktu dia harus tampil dalam kondisi terbaik,” sebut kakek pada kesempatan lain.
Sebab itu, jelang orang-orang tersayang pulang, foto itu selalu bersih tak berdebu. Bahkan bingkainya selalu diganti dengan kayu dan ukiran terbaik. Jumlah orang di dalam foto akan berganti bila lahir keturunan baru. Satu hal yang akan selalu sama. Warna emasnya.
***
”Kubur aku di bukit itu,” pesan nenek pada kakek. Melewati sebuah jendela kamar, pandangnya mengejar jauh perbukitan, tepat berada di depan rumah mereka.
”Mengubur orang mati itu urusan orang hidup. Jangan menyusahkan,” jawab kakek.
”Bukankah mawar yang pertama kali kau beri padaku, kau ambil dari sana?”
Pertanyaan berulang yang selalu muncul dalam masa-masa penantian mereka. Penjelasan kakek pun masih tetap sama.
”Aku bohong. Maafkan aku termakan kasmaran masa remaja. Itu hanya dari halaman tetangga.”
”Ya. Aku tahu. Dan aku melihat saat kau mengambilnya.”
”Agh. Nostalgia. Haruskah kebohongan termaafkan karena mabuk cinta?” batin kakek. ”Lalu mengapa kau menerimaku?” kata kakek.
”Untuk yang satu ini, aku tak bisa menjawabnya. Karena memang tak ada jawabannya.”
”Kalau kau mati, mau dikuburkan di mana? Lalu kenapa mengejarku dulu,” nenek balik bertanya.
Tapi kakek tak menjawabnya. Dia hanya mengangkat bahu untuk pertanyaan pertama. Sedangkan untuk yang kedua, hanya senyum. Seperti ingin membawa sebuah rahasia hingga ajal datang.
”Masak apa kita untuk makan malam nanti?” hindar kakek agar tak dikejar pertanyaan lain.
”Sayur lobak saja. Tapi kali ini tak usah pakai garam. Mengakhiri hari tua ini yang asin cuma penantian.” jawab nenek datar.
Mendengar itu kakek hanya diam. Kemudian bergegas ke dapur. Nenek melangkah ke ruang tengah. Menyalakan televisi dan membaringkan tubuh gempalnya. Fly Me to The Moon yang aslinya berjudul In Other Words ciptaan Bart Howard, dinyanyikan seorang bintang muda dalam sebuah ajang pencarian bakat. Lagu lawas dengan cara masa kini.
”Cinta memang tak pernah usang,” komentar kakek sambil ikut bernyanyi. (*)
Padang, April 2024
*) Ganda Cipta lahir 4 Mei 1984. Alumni Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas. Selain menulis cerpen juga menulis puisi, resensi buku, dan wartawan di Kota Padang.