Dumono, rohaniwan RSUP Sardjito. - Istimewa.
Harianjogja.com, JOGJA—Pasien tidak hanya bergulat dengan sakit fisiknya. Dumono mendampingi dan membimbing pasien di RSUP Dr. Sardjito dari sisi rohani.
“La ilaha illallah. Suara itu terdengar dari jauh, kemudian semakin mendekat. Baru kemudian saya bangun,” kata Dumono, Rabu (23/10/2024).
Dumono masih berusia 25 tahun pada 1989, saat dia harus berada di intensive care unit (ICU). Sakit jantung membuatnya sempat tak berdaya. Di momen sakitnya semakin kritis, ada rohaniawan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito yang menalqinnya. Secara umum, talqin merupakan bimbingan mengucapkan kalimah tahlil (La ilaha illallah) pada umat muslim sebelum meninggal.
Kala itu, Dumono sudah bekerja di RSUP Dr. Sardjito selama enam tahun. Dia berpindah dari unit satu ke yang lainnya. Pengalaman mendengar tahlil saat kondisi kritis, membuat Dumono ingin menjadi rohaniawan di tempat kerjanya. “Kemudian saya semakin yakin, saya ingin jadi rohaniawan, saya kemudian belajar,” katanya.
Rohaniawan termasuk profesi baru di RSUP Dr. Sardjito kala itu. Bibitnya muncul sekitar tahun 1986. Salah satu pemicunya, pasien dan keluarganya ingin ada pembimbingan agama selama perawatan di RS. Manfaatnya dari yang praktis hingga filosofis.
Bimbingan praktis misalnya cara salat saat tidak bisa wudhu atau tidak bisa berdiri dengan normal. Belum tentu semua muslim yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito paham ibadah dalam kondisi darurat. Sementara bimbingan filosofis berupa mengingat, berserah, serta berprasangka baik pada Allah.
Di samping itu, sebagai rohaniawan, Dumono bertugas mengajak pasien dan keluarganya untuk berdzikir, menasehati, memotivasi, hingga menalqin. “Misal ada pasien stroke, kita bantu tayamumkan. Muncul ide seperti itu selama pengembangannya, dulu hanya doa saja, kini semakin berkembang,” kata Dumono.
Tenang dan Berprasangka Baik
Dumono termasuk rohaniawan awal di RSUP Dr. Sardjito. Kini ada 15 rohaniawan di rumah sakit tersebut, dengan sebelasnya dari muslim. Mereka bergantian mengunjungi para pasien, dengan kategori biasa dan terminal atau kritis. Dalam sehari, ada sekitar 100-120 pasien di RSUP Dr. Sardjito. Rohaniawan terbagi dalam tiga sif, selalu siap sedia dalam 24 jam.
Untuk pasien biasa alias non kritis, ada kunjungan secara rutin, meski tidak setiap hari. Saat menjalankan tugasnya, Dumono akan membawa identitas pasien, termasuk jenis sakit dan penanganannya. Setelah menyapa pasien dan keluarganya, Dumono akan berbincang.
Secara garis besar, dia akan mengajak pasien dan keluarganya untuk mengingat Allah. Segala penyakit dan obatnya datang dari Allah. Sehingga tidak perlu cemas. Perlu terus berprasangka baik atas segala kondisi. Sebagai manusia, pasien dan keluarganya perlu berusaha mencari cara mendapatkan kesembuhan (berobat), dengan tetap bersabar dan optimis. “Supaya dia tenang hatinya, supaya tidak ada kekhawatiran, kami ajak juga berdzikir dan berdoa,” katanya.
Dumono juga mengajak pasien sesuai kondisi, menuju keadaan yang lebih baik. Pernah ada pasien yang tidak mau minum obat. “Saya bilang, ‘ibu ingin sembuh? Harus gimana, minum obat kan? Obatnya dimana bu?’ Setelah lama diam, ternyata obatnya disembunyiin di kolong tempat tidur. Setelah ngobrol baru mau jujur enggak suka minum obat, akhirnya dimasukkan ke infus obatnya. Besoknya udah bisa pulang,” katanya.
Mengantar ke Peristirahatan
Apabila kunjungan ke pasien biasa dalam jangka waktu tertentu, rohaniawan akan berkunjung setiap hari di pasien kritis ICU dan paliatif. Secara umum, pasien paliatif merupakan orang yang penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Saat dokter sudah melihat indikasi pasien akan meninggal, mereka memanggil rohaniawan, termasuk Dumono.
Dumono terlebih dahulu berkoordinasi dengan keluarga, meminta izin dan juga menguatkan. Setelahnya, dia akan mendampingi pasien dengan menalqin. Dengan mendekatkan mulut ke kuping kanan pasien, Dumono mengucapkan ‘La ilaha illallah’ secara perlahan. Harapannya, pasien yang hendak meninggal bisa menirukan. Dalam beberapa hadis nabi, orang yang meninggal dengan mengucap kalimah tahlil, akan masuk surga.
Talqin bisa berlangsung hingga puluhan menit atau berjam-jam. Dumono pernah menalqin pasien, namun dia tidak bisa menirukan tahlil dengan baik. Setelah cukup lelah, dia meminta cucu pasien yang masih SMA untuk menggantikannya. “Saya bilang, ‘Mas tolong ditalqin mbahnya ya, dengan kalimah tahlil pelan-pelan, jangan keras. Udah lama, setengah jam lebih, dia teriak sambil nggebrak tempat tidur, ‘Mbah nyebut mbah.’ Akhirnya pasien bilang, ‘mak but’, dia meninggal dengan ucapan ‘mak but’,” kata Dumono.
Namun ada pula pasien yang sangat lancar mengucap tahlil sebelum meninggal. Dumono hanya mengucap tahlil sekali, pasien tersebut langsung bisa menirukan dengan sempurna. Tidak lama setelahnya, pasien meninggal. Usut punya usut, pasien tersebut memang rajin salat, puasa, hingga ibadah sunah.
“Saat mendampingi pasien yang meninggal dalam keadaan mengucap ‘La ilaha illallah’ rasanya senang, karena bisa antarkan [dia] ke surga. Apalagi kalau mendampingi pasien yang bisa sembuh, itu juga senang banget,” kata Dumono, laki-laki berusia 62 itu.
Dari Pasien Jadi Saudara
Dumono pernah mendampingi pasien dari Wonosobo. Dia sakit setelah jatuh dari pohon. Dumono mendampingi seperti biasa, mengingatkan hubungan pasien dengan Allah, serta memberikan nasihat. Setelah beberapa hari perawatan, pasien itu bisa sembuh dan pulang.
Hubungan yang dekat masih berlanjut, dengan saling bertukar kabar melalui daring. Namun pasien itu masuk RSUP Dr. Sardjito lagi, karena sakit yang sama. Ternyata penyakitnya sudah merembet ke otak. Dumono mendampingi pasien dari bisa salat di masjid, hingga meminta bimbingan untuk tayamum, alias bersuci dengan menggunakan debu. Pasien sudah tidak lagi sanggup salat di masjid, dan hanya berada di tempat tidurnya.
“Kondisinya semakin menyurut. Kami yakin kan istrinya, untuk mulai belajar menerima keadaan. Sakit itu sudah menjadi ketentuan Allah, jadi enggak [perlu] kemudian berpikir negatif terus,” kata Dumono.
Keadaan pasien itu semakin memburuk, dan akhirnya meninggal. Dumono sempat menalqin pasien tersebut. Dia mendampingi si pasien cukup lama. Bahkan saat ini keluarga pasien seakan menjadi saudara. “Istrinya juga enggak begitu sedih, karena sudah kami siapkan dari awal. Cerita semacam itu tidak hanya satu atau dua, tapi banyak,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News