Guru SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis (kiri) dan Rasnal (kanan) (dok. Ist)KabarMakassar.com — Kasus yang menimpa dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara, Rasnal dan Abdul Muis, bermula dari niat membantu guru honorer yang belum menerima gaji.
Namun perjalanan panjang kasus itu berujung pada hukuman penjara dan pemecatan keduanya sebagai aparatur sipil negara (ASN). Berikut kronologinya.
5 Januari 2018
Rasnal resmi dilantik sebagai Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara. Di awal masa jabatannya, ia menemukan pembelajaran di sekolah berjalan kurang maksimal. Beberapa hari kemudian, sekitar sepuluh guru honorer datang mengadu bahwa gaji mereka selama sepuluh bulan di tahun 2017 belum dibayarkan.
Pertengahan Januari 2018
Menanggapi keluhan itu, Rasnal menggelar rapat internal sekolah. Para guru honorer meminta agar gaji mereka diselesaikan dan mengusulkan insentif tambahan untuk tugas-tugas tambahan seperti wali kelas dan kepala laboratorium. Karena dana BOS tidak bisa digunakan untuk kebutuhan tersebut, Rasnal berinisiatif berkoordinasi dengan Ketua Komite Sekolah guna mencari jalan keluar.
Akhir Januari 2018
Rasnal bersama empat wakil kepala sekolah menemui Ketua Komite di rumahnya. Dalam pertemuan itu, disepakati untuk mengundang seluruh orang tua siswa ke rapat komite agar solusi dapat dibahas bersama.
Awal Februari 2018
Dalam rapat bersama orang tua siswa, disepakati adanya iuran sukarela sebesar Rp20 ribu per bulan untuk membantu pembayaran guru honorer dan mendukung kegiatan sekolah.
Kesepakatan itu diterima tanpa keberatan.
2018–2020
Selama tiga tahun berjalan, iuran komite membantu keberlangsungan kegiatan belajar di SMA Negeri 1 Luwu Utara. Guru honorer kembali aktif, pembelajaran lebih tertib, dan sejumlah program sekolah kembali berjalan normal.
Februari–Maret 2020
Di masa pandemi COVID-19, seorang anggota LSM menghubungi pihak sekolah untuk meminta data terkait dana komite. Karena tidak menunjukkan surat tugas resmi, bendahara komite menolak memberikan dokumen. Tak lama kemudian, LSM tersebut melaporkan dugaan pungutan liar (pungli) ke pihak kepolisian.
Pertengahan 2020
Pihak kepolisian Luwu Utara memanggil pihak sekolah dan pengurus komite untuk dimintai keterangan. Empat orang ditetapkan sebagai terlapor: kepala sekolah, ketua komite, bendahara, dan sekretaris. Dari hasil penyidikan, dua orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka: Rasnal (kepala sekolah) dan Abdul Muis (bendahara komite).
2021
Berkas perkara diserahkan ke Kejaksaan Negeri Luwu Utara. Setelah diperiksa, jaksa menyatakan tidak menemukan unsur pidana dalam kasus tersebut.
2022
Meski demikian, polisi menggandeng Inspektorat Luwu Utara untuk pemeriksaan lanjutan, meski keduanya berstatus pegawai provinsi. Setelah empat bulan pemeriksaan, inspektorat menyimpulkan adanya kerugian negara akibat pungutan komite. Hasil ini dijadikan dasar bagi jaksa untuk membawa perkara ke pengadilan.
15 Desember 2022
Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Makassar. Majelis hakim memutuskan Rasnal dan Abdul Muis tidak bersalah atas tuduhan korupsi dan membebaskan keduanya dari seluruh dakwaan.
Perkara Rasnal tercatat dengan nomor 56/Pid.Sus-TPK/2022-PN Mks, sedangkan perkara Abdul Muis bernomor 57/Pid.Sus-TPK/2022-PN Mks.
23 Oktober 2023
Kejaksaan Negeri Luwu Utara mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, MA membatalkan putusan bebas dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada keduanya.
Putusan kasasi ini tercatat dengan nomor 4999 K/PID.SUS/2023.
2024
Setelah menjalani masa hukuman, Rasnal dan Abdul Muis kembali mengajar di sekolah. Namun, Rasnal tidak menerima gaji selama lebih dari satu tahun, meskipun saat itu belum ada surat resmi pemecatan dari pemerintah provinsi.
21 Agustus 2025
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan, Rasnal resmi diberhentikan sebagai ASN pada tanggal ini.
4 Oktober 2025
Sekitar enam pekan setelahnya, Abdul Muis juga diberhentikan berdasarkan keputusan gubernur tertanggal 4 Oktober 2025.
Atas rentetan kasus tersebut, keduanya telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, dan dijadwalkan bertolak ke Jakarta pada Rabu (12/11/2025) malam untuk bertemu pimpinan DPR RI. Pertemuan ini difasilitasi oleh Fraksi Gerindra DPRD Sulawesi Selatan.
Selain itu, rencana peninjauan kembali atau PK ke Mahkamah Agung juga akan ditempuh sebagai upaya hukum untuk mencari keadilan atas kasus yang menimpa mereka.


















































