Kucing yang Menggunggung Ikan ke Mana-mana

23 hours ago 7

Exhibition Scoopy x Kuromi - Klikpositif

Kampung kami baru saja selesai melaksanakan pemilihan Ketua Kebahagiaan Masyarakat. Ada sekitar tujuh orang kandidat yang mencalonkan diri. Entah apa yang menarik dari jabatan tersebut, hingga orang-orang berambisi untuk menjabat sebagai ketua. Isu-isu di kampung, itu organisasi basah. Ada juga cerita kalau ketua organisasi akan punya peluang besar membuka jaringan dengan para petinggi yang berkuasa di wilayah tersebut. Dengan alasan kedekatan, tentu berbagai permintaan dan keinginan akan mudah diperoleh.

Akhirnya dari tujuh kandidat tersebut yang terpilih adah Kambut. Seorang juragan ikan kering yang usahanya semakin lancar dan berkembang. Ia mulai menguasai pasar terutama seluruh lapak-lapak yang menjual ikan kering.

Anehnya, semenjak Kambut terpilih menjadi ketua, seekor kucing jantan berwarna hitam melintasi kampung mereka. Mulutnya menggunggung sepotong ikan. Ikan itu selalu dibawanya ke mana-mana, tak pernah ia lepaskan.

Awalnya penduduk kampung tidak ada yang peduli. Menganggap itu hal yang biasa saja. Apa anehnya seekor kucing yang menggunggung ikan di mulutnya? Bukankah itu sesuatu yang lazim? Dan lagi kucing memang doyan makan ikan. Jadi buat apa dipikirkan?

Setelah menjadi Ketua Kebahagiaan Masyarkat, Kambut sudah jarang ke pasar. Soal dagangan ikan sudah diurus oleh seorang yang diangkat menjadi tangan kanannya, dan dibantu oleh beberapa orang yang ditunjuk Kambut. Hanya sesekali saja ia turun mencek ke pasar, apakah dagangannya lancar dan semua lapak langganan masih terlayani oleh tangan kanannya. Selebihnya ia hanya menunggu laporan dan setoran.

Kambut kini sibuk masuk kantor ke luar kantor, mengurus beberapa proyek kampung. Penampilannya lebih rapi dari biasanya. Sekejap tak terlihat jika ia adalah seorang juragan ikan kering di pasar rakyat.

Sebenarnya orang-orang kampung itu banyak yang tidak suka pada Kambut. Lagaknya angkuh. Suka merendahkan orang. Tapi entah kenapa ia yang terpilih menjadi Ketua Kebahagiaan Masyarakat. Siapa yang memilihnya? Kabar-kabar pun berseliweran. Bersilang-pintang. Dari mulut ke mulut. Antara lepau dan lepau. Tapi kemudian menghilang begitu saja. Orang-orang kampung kembali disibukkan oleh rutinitas masing-masing. Ke ladang, berdagang, bertukang, dan lain sebagainya.

Esok hari kucing hitam itu melintas lagi. Mengitari jalan-jalan kampung. Mulutnya masih menggunggung seekor ikan. Lama-lama penduduk merasa heran juga. Apa lagi esok, esok, dan esoknya kucing itu terus mengelilingi kampung. Lepau-lepau mulai diseret oleh cerita tentang seekor kucing hitam yang menggunggung ikan ke mana-mana.

“Awalnya kucing itu hanya membuat heran, sekarang justru sudah meresahkan. Penduduk sudah mulai tersita pikirannya oleh kucing itu. Ini tidak bagus,” kata seseorang memulai sambil menjangkau sepotong goreng ubi yang masih hangat.

“Apakah itu pertanda buruk?” tanya pengunjung lepau yang lain.

“Bisa jadi. Bisa juga kucing itu adalah jelmaan dari tetua kita yang sudah meninggal,” timpal yang lain.

Lepau itu kia ramai oleh cerita-cerita tanpa kepastian. Tak jelas hulu dan muaranya.

“Kalau jelmaan dari tetua kita yang sudah meninggal, lalu apa yang diinginkannya?”

“Bisa saja kita atau siapa saja sudah lupa untuk berbuat kebaikan, jarang ke surau, sibuk dengan dunia, atau penduduk kampung ini banyak yang telah berbuat yang tidak-tidak.”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, ia datang untuk memperingati. Bukankah kucing itu berkeliling-keliling di setiap sudut kampung kita?”

“Hust! Tahayul….”

“Dugaanmu tidak masuk akal,” sambung seorang yang duduk di sebelahnya.

Lalu diam. Cukup lama. Mereka-reka apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Hanyut oleh pikiran masing-masing. Kemudian, ada yang menyosok kopi atau tehnya yang mulai dingin. Ada yang menjangkau goreng pisang yang tidak lagi sepanas tadi. Ada yang berdiri, membayar minum dan makanan, lalu pergi. Ada yang baru tiba, kemudian membentangkan cerita baru tentang kucing itu. Lalu mereka membahasnya lagi bersama-sama tanpa ujung-pangkal.

Di luar lepau, matahari sudah mulai naik. Cahayanya menembus sela-sela daun. Ada suara kicau burung bersahutan. Terbang dan berpindah dari pohon ke pohon, dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting. Seolah mengingatkan mereka bahwa sudah saatnya untuk berkerja. Kemudian masing-masing kembali mencebur pada urusan dan kesibukan masing-masing. Menuju pekerjaan yang telah menunggu.

Tapi beberapa hari kemudian, terbetik pula kabar, bahwa penduduk kampung telah sepakat untuk menyelidiki keberadaan kucing hitam tersebut. Mengapa tiba-tiba ia muncul begitu saja di kampung mereka.

Salah satu dua penduduk mulai memperhatikan gelagatnya. Awalnya hanya meliha-lihat saja. Kemudian mulai mengikuti ke mana tujuannya.  Ada kadang saat kucing itu berhenti. Mungkin di teras rumah penduduk, di belakang rumah, di sudut jalan, dan mulutnya selalu menggunggung seekor ikan. Ia tak kunjung memakan ikan itu. Juga tak melepasnya. Kecuali saat ia menjilat-jilat kulit tubuh atau wajahnya, atau menggaruk-garuk sebagian badannya. Setelah puas berhenti, ia akan berjalan lagi. Keliling kampung. Entah apa yang dicarinya.

Entah siapa yang memulai, atau memberikan komando, penduduk kampung telah sepakat untuk menangkap kucing hitam tersebut.

“Kucing itu semakin meresahkan. Kita harus menangkapnya. Mengurungnya. Atau bila perlu membuangnya jauh-jauh.”

“Setuju…. Saya setuju!” sorak sesorang seolah sangat mengerti persoalan. Padahal pikrannya entah ke mana.

“Apakah ini tidak pekerjaan yang sia-sia saja? Toh, ia belum begitu mengganggu sebenarnya?” ungkap seorang lain ragu-ragu.

“Membuat kita resah, itu sudah menggangu namanya.”

“Iya, kita tangkap saja.”

“Kalau dapat hanyutkan ke sungai. Atau kita campakkan jauh-jauh agar ia tidak kembali.”

“Terserahlah. Kapan kita mulai?”

“Besok.”

“Ya, besok saja!”

“Saya setuju besok!” sela sesorang seraya mengacungkan tangan. Yang lain pun mengikuti.

Besoknya mulailah mereka mengitari kampung. Mengejar kucing hitam yang selalu menggunggung ikan ke mana-mana itu.

“Jangan sampai lepas jika tertangkap.”

“Kalau perlu kita rantai lehernya.”

“Adakah yang membawa jaring untuk menjeratnya?”

“Sebagian pintas ke arah sana!”

“Waspadai kolong-kolong dan parit. Kalau-kalau ia bersembunyi di sana.”

“Itu kucingnya. Ayo kita tangkap!”

“Jangan sembarangan. Itu kucing ibu kepala kampung.”

“Kanc…,” ada yang mengumpat terperosok ke dalam banda.

Suara simpang siur. Hiruk-pikuk. Bagai pasar yang heboh oleh suara orang tawar-menawar. Tapi kucing itu tak jua berhasil ditangkap. Kalau tidak sembunyi di kolong yang sempit, ia akan berlari sekencang-kencangnya. Sampai penduduk kampung merasa letih sendiri. Begitu juga besoknya. Besoknya lagi. Berkali-kali penduduk kampung berusaha, tapi kucing itu selalu lepas dari kejaran. Akhirnya mereka berhenti keletihan.

Sejenak penduduk kampung pun lupa pada kucing tersebut. Mereka kembali ke lepau-lepau. Menunggu kabar baru yang datang. Berita baru. Isu baru. Meski semua itu serba tak pasti. Tapi kabar-kabar serupa itu akan menghangatkan lepau hingga mereka merasa bahagia.

Sampai kemudian lepau-lepau kembali dipanaskan oleh cerita baru. Si Kambut Ketua Kebahagiaan Masyarakat telah banyak berbuat segala sesuatu yang merugikan penduduk. Selama ini penduduk kampung disibukkan oleh kucing hitam yang menggunggung ikan ke mana-mana. Mereka tidak sadar Kambut telah berbuat semena-mena. Proyek pembangunan di kampung banyak yang telah diselewengkan dan dikerjakan seadanya saja. Ada hak yang sebenarnya milik penduduk dikisainya sendiri, dan tidak diberikannya. Itu baru satu dua. Banyak lagi deretan kecurangan yang dilakukan Kambut selama ini. Selama penduduk sibuk dengan seekor kucing.

Kembali pada kebiasaan penduduk, entah siapa yang memberi perintah, mereka telah seiya-sekata begitu saja. Bahwa Kambut harus mundur dari jabatannya. Kalau tidak, mereka akan melakukan secara paksa.

Lalu mereka melaporkan semua pada Kepala Kampung. Didampingi Kepala Kampung mereka mengundang Kambut ke Kantor Berlungguk Masyarakat. Di sana Kambut diadili. Seluruh penyelewengannya ditelanjangi. Lalu memaksa Kambut untuk mundur. Kambut terdesak. Ketakutan. Dan mengakuinya pelan-pelan. Ia berjanji untuk melepas jabatannya. Menyerah. Pasrah. Daripada penduduk melakukan secara paksa, pikirnya. Ia merinding membayangkan itu.

Setelah mundur, Kambut kembali ke pasar. Mengurus dagangannya. Menjadi orang biasa. Tawar-menawar. Berjaja dari lapak ke lapak. Tak ada lagi tangan kanannya. Apalagi beberapa orang yang selama ini ikut membantu. Dagangannya tidak semaju dulu lagi. Mungkin diurus asal saja oleh tangan kanannya itu. Beberapa langganan telah pergi meninggalkan. Ia harus memulai lagi dari bawah. Tak ada lagi sebutan juragan, selain pedagang ikan kering biasa di pasar rakyat.

Dan sejak saat itu pula, tidak terlihat lagi seekor kucing hitam yang menggunggung ikan ke mana-mana sepanjang kampung mereka. []

IYUT FITRA
Lahir dan besar di Kota Payakumbuh Sumatera Barat. Menulis Cerpen dan Puisi di berbagai media. 1 buku Kumpulan Cerpen telah diterbitkan dan 9 buku Kumpulan Puisi. Beberapakali pernah  mendapatkan Penghargaan Sastra misalnya dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, dari Perpusnas RI, dari Kemendikbud RI, dll.
Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news