LBH Makassar Catat 46 Kasus Kekerasan pada Perempuan, Anak, dan Disabilitas Sepanjang 2025

5 hours ago 4

KabarMakassar.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar memotret masifnya kekerasan terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas sepanjang tahun 2025.

Dalam Catatan Akhir Tahun (CATAHU), LBH Makassar menilai negara belum menghadirkan ruang aman yang memadai bagi kelompok rentan, bahkan di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat perlindungan.

Paparan tersebut disampaikan dalam konferensi pers CATAHU LBH Makassar yang digelar di Kantor LBH Makassar, Jalan Nikel I No.18 Blok A 22, Balla Parang, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar oleh Kepala Bidang Hak Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar, Ambara Dewita Purnama, Rabu (24/12)

Sepanjang 2025, LBH Makassar mencatat sebanyak 46 kasus struktural yang berkaitan dengan pemenuhan hak perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.

Dari jumlah tersebut, kekerasan terhadap perempuan mendominasi dengan 25 kasus yang melibatkan 44 korban perempuan. Selain itu, tercatat delapan kasus kekerasan terhadap anak dengan 12 korban anak, serta dua kasus kekerasan berbasis gender yang menimpa tiga korban dari ragam gender.

Ambara menjelaskan, tingginya angka kekerasan tersebut menunjukkan bahwa ruang aman bagi kelompok rentan semakin menyempit, baik di ruang domestik, ruang publik, hingga ruang digital.

“Kami melihat ruang-ruang yang seharusnya aman justru menjadi lokasi terjadinya kekerasan. Negara belum hadir secara serius untuk memastikan perempuan, anak, dan penyandang disabilitas mendapatkan perlindungan yang utuh,” ujar Ambara.

LBH Makassar juga mencatat sedikitnya 11 kasus kekerasan seksual sepanjang 2025. Bentuk kekerasan tersebut meliputi pemerkosaan, persetubuhan yang berujung kehamilan tidak diinginkan, pemaksaan pengguguran kandungan, pencabulan terhadap anak, pelecehan seksual fisik, hingga kekerasan seksual berbasis elektronik yang berujung pada pemerasan korban.

Pelaku berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari rekan kerja, dosen pembimbing akademik, oknum penyidik, hingga anggota keluarga korban sendiri.

Menurut Ambara, pola kekerasan seksual tersebut memperlihatkan adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Modus yang digunakan antara lain bujuk rayu, iming-iming, penyesatan, intimidasi, penguntitan, hingga ancaman kekerasan lanjutan jika korban berani melawan atau menolak.

“Ketika relasi kuasa dibiarkan dan sistem perlindungan tidak bekerja, korban akhirnya terjebak dalam situasi yang terus berulang dan sulit keluar,” katanya.

Selain kekerasan seksual, LBH Makassar mencatat 12 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kekerasan tersebut tidak hanya berbentuk penganiayaan fisik menggunakan senjata tajam, tetapi juga penelantaran ekonomi terhadap istri dan anak.

Dalam sejumlah kasus, pelaku tidak memberikan nafkah, menguasai penghasilan istri, melarang korban bekerja, atau membatasi ruang gerak korban agar bergantung secara ekonomi. Kondisi ini membuat korban kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan demi keselamatan dirinya dan anak-anaknya.

Kekerasan negara juga masih dialami anak-anak. Pasca aksi Agustus 2025, LBH Makassar mendokumentasikan tindakan represif aparat kepolisian terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Pola penangkapan acak, penggunaan kekuatan yang tidak proporsional, penganiayaan saat pemeriksaan, hingga pemaksaan pengakuan menjadi praktik yang dilaporkan. Dampaknya, hak anak atas perlindungan, bantuan hukum yang layak, bebas dari penyiksaan, serta hak atas pendidikan terlanggar.

Di ruang digital, perempuan juga menghadapi ancaman serius. LBH Makassar mencatat praktik doxing terhadap perempuan berinisial C dan Z, yang dilakukan sebagai bentuk pembungkaman atas ekspresi pendapat di media sosial. Identitas pribadi korban ditelusuri dan disebarkan, bahkan dikaitkan dengan keberadaan fisik korban untuk menimbulkan rasa takut.

“Dalam kasus-kasus ini, korban justru dibebani untuk melindungi dirinya sendiri, sementara sistem negara lamban dan tidak responsif. Ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin rasa aman, termasuk di ruang digital,” kata Ambara.

Ancaman terhadap perempuan juga terjadi di wilayah konflik sumber daya alam. Perempuan di Tamalanrea, Takalar, dan Torobulu terlibat aktif menolak proyek PLTSa, ekspansi perkebunan, dan pertambangan demi mempertahankan lingkungan hidup yang sehat. Namun, perlawanan tersebut dibalas dengan intimidasi, kekerasan aparat, hingga kriminalisasi, seperti yang dialami seorang perempuan berinisial H yang dituduh menghalangi aktivitas tambang.

Selain itu, LBH Makassar menyoroti kondisi buruh perempuan di pabrik PT Huadi Nickel Alloy Indonesia. Jam kerja hingga 12 jam per hari tanpa persetujuan buruh disebut berkontribusi pada kondisi kesehatan serius, termasuk tiga kasus keguguran yang dialami buruh perempuan selama bekerja.

LBH Makassar menegaskan bahwa rangkaian kasus tersebut mencerminkan kegagalan sistemik negara dalam memenuhi kewajiban perlindungan terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Tanpa pembenahan kebijakan dan penegakan hukum yang berpihak pada korban, situasi ini dinilai akan terus memperparah ketidakamanan kelompok rentan di Sulawesi Selatan.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news