konferensi pers LBH MakassarKabarMakassar.com — LBH Makassar menilai situasi penegakan hak-hak sipil dan politik di Sulawesi Selatan sepanjang tahun 2025 menunjukkan kemunduran serius, ditandai masih maraknya kekerasan aparat serta menyempitnya ruang kebebasan sipil. Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun (Catahu) yang digelar di Kantor YLBHI-LBH Makassar, Jalan Nikel I No.18 Blok A 22, Balla Parang, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Rabu (24/12).
Koordinator Bidang Hak-Hak Sipil dan Politik YLBHI-LBH Makassar, Hutomo Mandala Putra, mengungkapkan bahwa sepanjang 2025 pihaknya mencatat dan mendampingi berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan langsung dengan hak sipil dan politik warga. Pelanggaran tersebut umumnya melibatkan institusi negara, khususnya aparat penegak hukum.
Berdasarkan pendokumentasian YLBHI-LBH Makassar, terdapat 39 kasus pelanggaran fair trial yang seluruhnya melibatkan kepolisian sebagai aktor pelaku.
Selain itu, tercatat 15 kasus kekerasan aparat oleh kepolisian, dua kasus pelanggaran kebebasan berekspresi atau berpendapat, dua kasus pelanggaran identitas hukum, serta satu kasus korupsi. Dari keseluruhan data tersebut, kepolisian menempati posisi teratas sebagai pelaku pelanggaran HAM dengan total 58 kasus.
“Sepanjang aktivitas pendampingan hukum yang kami jalankan tahun ini bahkan dari tahun-tahun sebelumnya, hampir tidak pernah ada pemohon yang tidak mengalami kekerasan. Ini mengindikasikan praktik-praktik kekerasan tidak pernah habis di kepolisian,” ujar Hutomo dalam konferensi pers tersebut.
Ia menegaskan bahwa praktik kekerasan tidak memiliki dasar pembenaran dalam norma hukum apa pun. Menurutnya, kondisi tersebut seharusnya menjadi pekerjaan rumah serius bagi Komisi Percepatan Reformasi Polri yang baru saja dibentuk.
“Padahal jelas tidak satupun norma hukum yang membenarkan praktik kekerasan,” tambahnya.
Dalam pemaparannya, YLBHI-LBH Makassar juga menyoroti keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang dinilai berpotensi mengancam hak asasi warga negara. Hutomo menyebut masih terdapat norma-norma dalam KUHAP baru yang memperluas kewenangan aparat penegak hukum tanpa diiringi mekanisme pengawasan yang memadai.
Meski KUHAP baru belum diberlakukan, ia menilai praktik pelanggaran sudah terjadi saat ini. Hal itu disebabkan KUHAP lama yang masih berlaku dinilai minim mengatur mekanisme pengawasan terhadap tindakan aparat penegak hukum di lapangan.
YLBHI-LBH Makassar juga mencatat adanya dua kasus penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian sepanjang 2025. Kasus tersebut masing-masing menimpa korban kriminalisasi aksi pada Agustus 2025, serta seorang warga di Kabupaten Takalar yang dituduh memiliki narkotika. Selain itu, terdapat pula dugaan tindakan pemerasan terhadap pedagang di Kabupaten Bone yang diduga dilakukan oleh personel Polda Sulawesi Selatan.
Menurut Hutomo, kultur kekerasan yang masih mengakar di tubuh Polri berpotensi semakin menguat apabila KUHAP baru diberlakukan tanpa pengawasan ketat.
“Situasi ini juga akan melanggengkan impunitas polisi dari proses pidana,” katanya. Ia mengungkapkan bahwa sejak 2018 hingga 2025, terdapat empat laporan pidana terhadap anggota Polda Sulsel yang tidak diproses lebih lanjut.
Pada aspek kebebasan sipil, YLBHI-LBH Makassar mencatat sedikitnya tiga kasus upaya kriminalisasi terhadap warga yang tengah memperjuangkan haknya.
Kasus-kasus tersebut meliputi kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah, penolakan terhadap aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan, serta upaya protes atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat desa.
Selain itu, YLBHI-LBH Makassar juga menyoroti kekerasan berbasis akademik yang menimpa dua dosen Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Toraja. Keduanya diberhentikan dari jabatannya setelah memprotes dugaan plagiasi karya tulis ilmiah milik mahasiswa yang diduga dilakukan oleh rektor institusi tersebut.
Dalam Catahu 2025, YLBHI-LBH Makassar turut memotret menguatnya keterlibatan militer di ruang-ruang sipil pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Kondisi ini dinilai menimbulkan kekhawatiran serius terhadap perlindungan HAM.
Salah satu peristiwa yang disorot adalah penangkapan 40 orang terduga pelaku penipuan digital oleh Tim Khusus Gabungan Intelijen Kodam XIV Hasanuddin pada 24 April 2025, yang dinilai berada di luar kewenangan TNI.
Selain itu, keterlibatan TNI dalam pengamanan aksi penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Bone pada 20 Agustus 2025, serta pengamanan aksi besar di Kota Makassar pada 29 Agustus 2025, disebut sebagai bukti nyata implementasi revisi UU TNI.
“Keterlibatan TNI yang merangsek masuk dalam ruang penegakan hukum dan keamanan memperbesar potensi pelanggaran HAM dan penyempitan ruang-ruang sipil,” ujar Hutomo.
Ia menambahkan bahwa kultur militer yang lekat dengan kekerasan dan dominasi persenjataan berpotensi memperkuat impunitas di tubuh TNI.
YLBHI-LBH Makassar menegaskan, tanpa langkah perbaikan serius dari pemerintah terhadap berbagai pelanggaran tersebut, situasi hak asasi manusia di Sulawesi Selatan berpotensi semakin memburuk dan berdampak langsung terhadap kehidupan warga.

















































