Konferensi Pers Catahu LBH Makassar. (Dok: Dwiki KabarMakassar)KabarMakassar.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai pemerintah pusat telah mengabaikan prinsip kemanusiaan dengan tidak menetapkan bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra, khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, sebagai bencana darurat nasional.
Sikap tersebut dinilai berdampak serius terhadap efektivitas penanganan korban serta pemenuhan hak-hak dasar warga terdampak.
Direktur LBH Makassar, Azis Abdul Dumpa, menjelaskan bahwa fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang sangat darurat dan tidak dapat diperlakukan sebagai bencana skala daerah semata.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal akibat rangkaian banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Sumatra telah melampaui seribu orang, ratusan lainnya masih dinyatakan hilang, serta hampir setengah juta warga terpaksa mengungsi.
“Kalau kita melihat konteks dan situasi faktanya hari ini, di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara itu kondisinya sangat darurat. Update korban sudah menelan lebih dari 1.100 orang meninggal, ratusan hilang, dan ratusan ribu mengungsi. Ini data resmi BNPB,” kata Azis Abdul Dumpa, Rabu (24/12)
Menurut Azis, penetapan status darurat bencana nasional bukan sekadar persoalan administratif, melainkan instrumen penting untuk memastikan negara hadir secara maksimal. Status tersebut akan mendorong pengalokasian anggaran berskala nasional, mempercepat pengambilan kebijakan, serta memungkinkan langkah penanganan yang lebih sistematis dan terkoordinasi untuk menyelamatkan korban.
“Ketika ditetapkan sebagai bencana darurat nasional, itu akan membuka ruang pengalokasian sumber daya secara maksimal oleh negara, sekaligus memastikan langkah-langkah penanganan yang efektif dan terstruktur,” ujarnya
LBH Makassar menilai tidak adanya penetapan status nasional justru memperlihatkan sikap politik yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Azis menyebut bencana yang terjadi di Sumatra tidak bisa dipandang semata sebagai peristiwa alam, melainkan juga sebagai bencana ekologis yang dipicu oleh kerusakan lingkungan dalam skala besar.
“Bencana Aceh dan Sumatra ini tidak bisa dilihat hanya sebagai bencana alam. Ada deforestasi besar-besaran, kerusakan ekologis akibat pembalakan hutan dan alih fungsi lahan. Itu dibuktikan dengan banyaknya kayu gelondongan yang terbawa banjir bandang, yang berasal dari aktivitas penebangan dan kegiatan perusahaan, baik perkebunan maupun pertambangan,” katanya.
Azis menilai, apabila status darurat bencana nasional ditetapkan, maka negara juga dituntut untuk membuka dan mengungkap faktor penyebab struktural di balik bencana tersebut. Menurutnya, hal inilah yang justru dihindari karena akan menyeret tanggung jawab lebih luas, termasuk soal kebijakan tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam.
“Kalau ditetapkan sebagai darurat nasional, bukan hanya soal penanganan korban, tapi juga membuka fakta-fakta penyebab bencana yang memakan korban sangat besar. Di situ ada persoalan lingkungan dan korporasi. Ini yang kami lihat sebagai bentuk politisasi,” tegasnya.
LBH Makassar menekankan bahwa keselamatan rakyat seharusnya menjadi hukum tertinggi dalam setiap kebijakan negara. Dalam konteks bencana, negara dinilai memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin perlindungan maksimal terhadap warganya, tanpa dikalahkan oleh pertimbangan politik maupun fiskal.
“Di atas semua itu, kemanusiaan adalah yang paling tinggi. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Situasi seperti ini wajib ditetapkan sebagai bencana darurat nasional,” kata Azis.
Lebih jauh, LBH Makassar juga mengingatkan bahwa situasi serupa berpotensi terjadi di wilayah lain, termasuk Sulawesi Selatan, apabila pola kerusakan lingkungan terus dibiarkan. Menurut Azis, deforestasi, alih fungsi lahan, serta aktivitas pertambangan dan industri perkebunan yang masif juga terjadi di Sulawesi.
“Kalau kita melihat apa yang terjadi di Sumatra dan Aceh hari ini, itu bisa terjadi di Sulawesi Selatan. Kerusakan lingkungan hidup, deforestasi, tambang, dan alih fungsi lahan juga terjadi di sini. Kalau bencana terjadi dan negara tetap tidak hadir secara maksimal, maka rakyat yang akan menanggung dampaknya,” ujarnya.

















































