Guru Besar Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Nurhayati, (Dok: KabarMakassar).KabarMakassar.com — Guru Besar Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Nurhayati, menegaskan bahwa aksara Lontara merupakan puncak pencapaian peradaban masyarakat Sulawesi Selatan, namun ironisnya justru ditinggalkan oleh generasi pewarisnya sendiri.
Pernyataan itu disampaikan dalam talk show pada Kick Off Haul Internasional yang dirangkaikan dengan Kick Off Festival Aksara Lontara VII di Amfiteater Bikin-Bikin Creative Hub, Nipah Mall Makassar, Jumat (19/12).
Paparannya, Prof. Nurhayati menyebut kepemilikan huruf atau aksara adalah tanda kebesaran sebuah bangsa. Ia merujuk pada berbagai teori kebudayaan dunia yang menyebut penemuan sistem tulisan sebagai capaian tertinggi dalam peradaban manusia.
“Bangsa yang memiliki huruf adalah bangsa yang besar, karena melalui huruf, seluruh pemikiran dan sejarahnya bisa diabadikan,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana peradaban Islam dikenal luas karena adanya Al-Qur’an yang ditulis dengan huruf Arab. Menurutnya, tanpa aksara, peradaban besar tidak akan pernah dikenali lintas zaman. Hal yang sama, kata dia, berlaku bagi masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) melalui aksara Lontara.
“Sayangnya, di Sulawesi Selatan kita justru menelantarkan penemuan leluhur kita sendiri,” tegas Prof. Nurhayati.
Prof. Nurhayati menjelaskan bahwa para ahli dunia sepakat aksara Lontara telah ada jauh sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Sejumlah pendapat menyebut Lontara hadir sejak abad ke-10 hingga ke-15, bahkan ada yang memperkirakan lebih awal. Ia menyebut Prof. Nuruddin Syahadat yang menempatkan Lontara pada abad ke-9, serta Prof. Christian Pelras yang memperkirakan kemunculannya pada abad ke-11.
Dalam perjalanan sejarahnya, aksara Lontara telah merekam begitu banyak peristiwa penting, termasuk karya monumental La Galigo yang ditulis pada masa pra-Islam.
“La Galigo ditulis ketika belum ada listrik, mungkin hanya dengan lampu minyak dari kemiri, di atas daun lontar, di bawah pohon atau di kolong rumah. Tapi karya itu bisa bertahan sampai hari ini karena ada huruf,” jelasnya.
Ia kemudian membandingkan kondisi masa lalu dengan situasi generasi sekarang yang serba memiliki fasilitas modern. Menurutnya, tantangan terbesar hari ini justru terletak pada kemauan untuk berkarya dan mewarisi tradisi literasi leluhur.
“Sekarang semua punya laptop, HP, listrik, tapi kenapa tidak berkarya? Nenek kita sudah berkarya di masa pra-Islam,” ujarnya.
Prof. Nurhayati menyoroti kenyataan bahwa banyak generasi muda Sulsel tidak lagi mampu membaca aksara Lontara. Padahal, tidak semua suku di dunia memiliki sistem tulisan sendiri.
“Ini kebanggaan besar. Tapi saya yakin di sini hampir tidak ada yang bisa membaca Lontara,” katanya.
Ia menegaskan bahwa tanpa kemampuan membaca Lontara, generasi muda akan terputus dari identitas dan sejarahnya sendiri.
“Kita tidak akan mengenal La Galigo, Tosora, dan banyak misteri peradaban kita kalau tidak bisa membaca Lontara,” ucapnya.
Dalam pesannya kepada generasi Z, Prof. Nurhayati mengajak anak muda untuk berhenti merasa minder dengan identitas sendiri dan tidak terlalu berorientasi ke budaya Barat. Ia mengkritik sikap bangga menggunakan bahasa asing, tetapi malu menggunakan bahasa ibu dan aksara sendiri.
“Itu tanda bangsa inferior, bangsa yang rendah diri. Bangsa besar tidak malu dengan bahasanya dan hurufnya sendiri,” tegasnya.
Ia membandingkan dengan bangsa Korea dan Jepang yang tetap menggunakan bahasa dan aksara sendiri dalam sistem pendidikan dan teknologi mereka. Prof. Nurhayati bahkan menceritakan pengalamannya sebagai profesor tamu di Korea, di mana ia membutuhkan waktu lama hanya untuk mengubah sistem komputer dari huruf Hangeul ke huruf Latin.
“Bayangkan, mereka begitu bangga dengan hurufnya. Kita justru bangga kalau bisa meninggalkan huruf sendiri,” katanya.
Prof. Nurhayati berharap Festival Aksara Lontara tidak hanya menjadi seremoni budaya, tetapi menjadi gerakan kesadaran jangka panjang. Ia membayangkan suatu hari generasi muda Sulawesi Selatan bisa kembali berkomunikasi menggunakan bahasa ibu dan aksara Lontara, termasuk melalui perangkat digital.
“Banggalah menjadi dirimu sendiri. Bacalah hurufmu, bacalah kebudayaanmu. Karena di situlah wajah aslimu,” pungkasnya.

















































