KabarMakassar.com — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus menggaungkan pentingnya perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana. Kali ini, semangat tersebut dibawa ke Kota Makassar, Sulawesi Selatan, lewat kegiatan sosialisasi yang berlangsung di Swissbell Panakukang pada Jumat (24/10).
Kegiatan sosialisasi ini merupakan hasil kerja sama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan mitra kerja Komisi XIII DPR RI.
Hadir sebagai pembicara Wakil Ketua LPSK Sri Suparyati ditemani Anggota Komisi XIII DPR RI, Meity Rahmatia.
Pelibatan anggota DPR RI dalam kegiatan sosialisasi dinilai penting, mengingat kedekatan mereka dengan konstituen dapat menjadi jembatan antara LPSK dan masyarakat, khususnya kelompok rentan serta mereka yang memiliki keterbatasan pemahaman hukum.
Melalui kolaborasi ini, LPSK berharap dapat memperluas jangkauan informasi, meningkatkan kesadaran publik, serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam memanfaatkan layanan perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana.
Wakil Ketua LPSK, Mahyudin menegaskan pentingnya perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana sebagai wujud nyata kehadiran negara yang berperspektif korban serta membantu proses hukum berjalan.
“LPSK hadir sebagai wujud kehadiran negara untuk memastikan saksi dan korban memperoleh perlindungan, rasa aman, serta akses terhadap pemulihan,” ujarnya.
Mahyudin mengungkapkan, dalam lima tahun terakhir, permohonan perlindungan dan layanan ke LPSK menunjukkan tren peningkatan signifikan.
Jenis tindak pidana dengan jumlah permohonan tertinggi saat ini adalah tindak pidana pencucian uang dengan lebih dari 6.500 permohonan, disusul kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 2.495 permohonan, dan pelanggaran HAM berat sebanyak 2.448 permohonan.
Khusus di Sulawesi Selatan, sepanjang Januari hingga Oktober 2025 tercatat 173 permohonan perlindungan, dengan jumlah terbanyak berasal dari kasus kekerasan seksual terhadap anak (61 permohonan), pencucian uang (48), tindak pidana lainnya yang mengancam jiwa (26), kekerasan seksual (19), perdagangan orang (9), penganiayaan berat (6), terorisme (2), korupsi (1), dan narkotika (1).
Dari jumlah tersebut, terdapat 145 orang terlindung, di mana 83 orang di antaranya merupakan korban kekerasan seksual terhadap anak.
Kota Makassar menjadi wilayah dengan jumlah pemohon terbanyak yakni 55 pemohon, Tana Toraja (13), Gowa (12), Takalar (9), Bone (8), Jeneponto (7) dan lainnya.
Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati dalam paparannya mengatakan kesadaran masyarakat Sulawesi Selatan terhadap pentingnya perlindungan saksi dan korban sudah cukup tinggi. Namun, pemahaman terkait peran, fungsi, dan kewenangan LPSK masih perlu diperluas.
“Harapan kami, para peserta tidak hanya memperoleh pemahaman, tetapi juga menjadi bagian dari jejaring yang aktif memperkuat perlindungan saksi dan korban di wilayah masing-masing. LPSK tidak mungkin bekerja sendiri, sinergi adalah kunci,” pungkasnya.
Anggota Komisi XIII DPR RI, Meity Rahmatia dalam penjelasannya menyoroti rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengakses layanan perlindungan LPSK.
Data menunjukkan, permohonan perlindungan dari wilayah Indonesia Timur termasuk Sulsel masih di bawah 10 persen dari total nasional. Hal ini menandakan masih adanya kesenjangan besar antara kebutuhan perlindungan dan akses terhadap layanan negara.
“Hasil pengawasan DPR menunjukkan penyebab kesenjangan karena rendahnya pengetahuan masyarakat tentang mekanisme pengajuan perlindungan LPSK, keterbatasan sumber daya dan jangkauan lembaga di daerah, lemahnya koordinasi antarpenegak hukum, serta masih kuatnya stigma dan ketakutan korban, terutama dalam kasus kekerasan seksual dan perdagangan orang,” jelas Meity.
Sebagai bagian dari Komisi XIII DPR RI, Meity menyampaikan bahwa pihaknya terus mendorong efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta percepatan pembahasan RUU Perubahan Kedua yang kini telah mencapai tahap akhir.
“Kami juga memperjuangkan penguatan kelembagaan dan anggaran LPSK agar layanan perlindungan bisa menjangkau hingga ke pelosok daerah,” tambahnya.
Selain itu, DPR turut mendorong sinergi lintas lembaga seperti Polri, Kejaksaan, Komnas Perempuan, Kementerian Sosial, dan pemerintah daerah, serta kampanye literasi hukum nasional untuk menumbuhkan keberanian masyarakat melapor.
Sebagai arah kebijakan ke depan, Meity menekankan pentingnya kolaborasi antara LPSK dan pemerintah daerah dalam membentuk jejaring perlindungan di tingkat lokal, integrasi sistem data kejahatan nasional antara POLRI, BPS, dan LPSK, serta penyusunan peraturan turunan agar implementasi UU Perlindungan Saksi dan Korban di daerah lebih operasional.


















































