Subandi saat berada di rumahnya. Harian Jogja - Sirojul Khafid.
Harianjogja.com, JOGJA—Seni lukis kaca Jogja berada di titik nadirnya. Subandi Giyanto menjadi orang yang berusaha memperpanjang usia seni lukis kaca.
Intensitas bicara Subandi Giyanto lebih banyak dari hari biasanya. Dia perlu menjawab pertanyaan dan menjelaskan karya lukisnya pada para tamu. Dari tanggal 5 November 2024 hingga awal Januari 2025, Subandi memamerkan karyanya dalam pameran tunggal bertajuk Pawukon Prayungan: Wasiat Simbol dalam Gradasi Waktu di Gramm Hotel by Ambarrukmo, Sleman.
Pameran itu banyak berisi lukisan Subandi dengan model wayang di medium kanvas. Namun ini tidak wayang yang biasa, ada ciri khas yang dia sematkan. Bentuk lukisan wayang yang tidak sama persis seperti umum, menjadi cara Subandi menghormati para seniman pendahulunya.
Karya Subandi di media kanvas memang berciri khas. Namun saat kita berkunjung ke rumahnya, ciri kesenian Subandi bisa semakin mencolok. Di rumahnya, tertempel banyak lukisan dengan media kaca sebagai alasnya. Banyak yang menggambarkan model wayang, dengan penambahan unsur pitutur (pepatah Jawa).
Penyematan pitutur sebagai cara Subandi melestarikan Bahasa Jawa. Terlebih saat ini banyak anak-anak yang lebih terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia. Pitutur dalam karya Subandi bisa sesuai dengan isu sosial dan politik yang terjadi, misalnya ‘Adigang, Adigung dan Adiguna’; Becik Ketitik Ala Ketara; Asu Gedhe Menang Kerahe, sampai Ojo Rebutan Kursi. Pitutur terakhir merupakan pesan untuk tidak berebut kekuasaan.
“Ojo rebutan kursi saya buat tahun 1998, saat reformasi,” kata Subandi, beberapa waktu lalu.
Namun, melestarikan Bahasa Jawa dalam seni lukis kaca itu satu hal, sementara kelestarian seni lukis kaca merupakan hal lain. Saat ini, keberlangsungan seni lukis kaca seakan terancam. “[Seniman lukis] kaca tradisional hampir sudah habis. Dalam arti tinggal saya, Pak Lasno sudah meninggal awal Maret 2023, anaknya yang meneruskan enggak begitu intens,” katanya.
Tidak Bisa Hanya Seniman
Hidup dan menghidupi seni lukis kaca bisa menjadi hal kompleks. Menurut Subandi, seni lukis kaca cukup terkucilkan. Kolektornya tidak ada, yang belajar tidak ada, perhatian pemerintah juga tidak ada. Sampai Lasno meninggal, dia masih tinggal dengan mengontrak rumah. Subandi lebih beruntung. Di seniman yang sekaligus pegawai negeri sipil (PNS).
Status PNS bukan pemberian langsung dari langit. Semasa kecil, Subandi perlu ngeyel pada ayahnya. Dia berambisi melanjutkan sekolah, sementara ayahnya tidak begitu senang anaknya melanjutkan pendidikan. Subandi bertekad untuk punya sekolah yang tinggi, agar bisa memperbaiki hidup. Dia melihat kehidupan ayahnya sebagai penatah dan penyungging wayang cukup susah. Untuk makan sehari-hari, kadang mereka kesulitan.
Dinamika hidup membuat Subandi bisa menyelesaikan sekolah di Sekolah Seni Rupa Indonesia (sekarang Sekolah Menengah Seni Rupa). “Tahun 1979, lulus dari SMSR, mau masuk ke IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta), Hardiyono, kakak angkatan di Saggar Bambu minta saya ngajarin anaknya lukis kaca,” kata Subandi, yang saat ini berusia 66 tahun.
Awalnya Subandi tidak bisa lukis kaca. Namun Hardiyono meyakinkan, apabila bisa buat wayang, maka bisa juga melukis kaca. Sembari menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa di IKIP, Subandi mengiyakan tawaran itu.
Inilah pertemuan pertama Subandi dengan seni lukis kaca. Dia lakukan secara otodidak, mengajar sekaligus belajar. Seni yang ternyata dia bawa cukup jauh. Bahkan pameran tunggal pertama Subandi juga terkait lukis kaca.
Beradaptasi
Saat melukis di medium kaca, maka seniman menggoreskan kuasnya di bagian belakang kaca. Saat sedang belajar, Subandi mulai dari warna muda ke tua, seperti yang biasa dia lakukan di medium kanvas. Namun saat kaca dibalik untuk melihat hasilnya, ternyata hanya warna putih yang terlihat. Setelah banyak berpikir dan mencoba dengan warna tua ke muda, barulah lukisan itu terlihat benar.
Sejak saat itu, Subandi terus berlatih. Di samping tetap menjadi seniman, setelah lulus dari IKIP, Subandi juga mengajar di sekolah. Keduanya berjalan beriringan. Saat pensiun menjadi guru, Subandi mendapat penghargaan Anugerah Prestasi dari Gubernur DIY tahun 2017. Sementara dalam bidang seni, salah satu penghargaannya Anugerah Seni Kebudayaan dari Gubernur DIY pada tahun 2018. “Tiga karya saya juga dikoleksi di Galeri Nasional,” katanya.
Pencapaian ini, kata Subandi, sangat layak disyukuri. Tidak semua seniman bisa hidup layak. Subandi mengilustrasikan, dari lebih 7.000 seniman yang ada di DIY, mungkin yang hidupnya baik sekitar 20 orang saja. Di sinilah, peran banyak pihak perlu semakin nyata. Termasuk dari pemerintah, perlu ada dukungan dari berbagai lini.
Apabila kondisinya rentan, tidak menutup kemungkinan seniman akan semakin sedikit. Contohnya ada di Gendeng, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, tempat tinggal Subandi. Sekitar tahun 1990-an, sempat ada pertemuan pengrajin wayang yang jumlahnya bisa 300 lebih seniman. “Saat ini hanya tinggal 31 orang, dengan hanya satu orang yang memiliki pegawai. Mayoritas hanya mengerjakan wayang apabila ada pesanan,” katanya.
Mengajak Anak-Anak
Meski sudah pensiun sebagai guru, jiwa mengajar Subandi masih bisa tersalurkan. Dia mengajak anak-anak di sekitar rumahnya untuk belajar melukis. Subandi membebaskan anak-anak melukis di medium kanvas atau kaca. Bahkan setiap kali anak-anak datang untuk belajar, Subandi akan memberikan uang saku sebagai motivasi dan penghargaan.
Dalam proses ini, Subandi juga menyarankan anak-anak didiknya untuk tetap sekolah, syukur-syukur sampai kuliah. “Ketika ada anak yang pintar saya senang, pengrajin pinter saya senang. Ketika jadi pengrajin [yang pintar], dia tidak akan pernah kehilangan cara untuk memecahkan problem hidup dia, dalam apa saja, inovasi karya, mengembangkan pasar, kalau enggak sekolah [akan susah],” katanya.
Bagi anak-anak yang kemudian tertarik masuk ke dunia seni, Subandi tidak ingin mereka terjebak dengan masalah klasik berupa hidup yang kurang layak. Dia mengusulkan pemerintah untuk memiliki lembaga seni seperti bulog. Fungsinya, lembaga itu bisa menampung karya-karya seniman. Sehingga seniman tidak hanya berkarya apabila ada pesanan, namun setiap hari.
Meski tahu kehidupan di dunia seni tidak selalu menyenangkan, Subandi tetap ingin melestarikannya. Sebenarnya bisa saja Subandi fokus menjadi PNS. Namun pesan ayahnya selalu terngiang hingga hari ini.
Kata ayah Subandi, meski menjadi seniman itu susah, namun dunia itu yang bisa memberi makan, pakaian, sampai biaya sekolah anaknya. “Kalau kamu bisa jadi pegawai, tolong ilmu senimu simpan di lipatan sarungmu (dijaga keahliannya). Kalau kamu tidak bisa jadi pegawai, wayang itu bisa buat kamu hidup. Jadi wayang jangan kamu lupakan, semua kehidupanmu dari wayang,” kata Subandi, menirukan pesan ayahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News