Ketua DPRD Kota Makassar, Supratman saat Rapat Juknis Pemilihan RT/RW, (Dok: Sinta KabarMakassar)KabarMakassar.com — Rapat gabungan Komisi A dan B DPRD Kota Makassar yang membahas juknis pemilihan RT/RW berlangsung memanas setelah Ketua DPRD Kota Makassar, Supratman, mengungkap dugaan tekanan politik hingga ketidaksiapan teknis di lapangan.
Dalam rapat kerja tersebut, ia menyoroti maraknya intervensi yang membuat para lurah disebut gemetar ketika didatangi pihak tertentu yang dianggap representasi Wali Kota.
Supratman menegaskan bahwa DPRD tidak bisa dipermainkan secara politis. Ia menilai banyak praktik di lapangan yang tidak diketahui oleh pimpinan daerah maupun kepala BPM, namun tekanan semacam itu dirasakan langsung oleh lurah dan anggota dewan bisa melihat hal tersebut.
“Ketika ada orang-orang tertentu datang, tidak perlu disebut siapa, langsung gemetar lurahnya. Karena dianggap ini adalah orangnya Wali Kota,” ujarnya, saat rapat berlangsung di ruang paripurna gedung sementara DPRD Kota Makassar Jalan Hertasning, Selasa (25/11).
“Jangan bermain politik karena kita di DPRD ini semua orang politik, kita tahu mana yang berpolitik mana yang tidak,” tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa kemenangan Wali Kota hanya 51 persen, sementara 49 persen masyarakat lainnya memiliki pilihan berbeda. Menurutnya, angka itu seharusnya menjadi dasar untuk menyatukan persepsi, bukan memicu sekat politik.
“Kita tidak boleh lagi ada kotak-kotak. Kalau DPRD saja pecah, bagaimana masyarakat?,” katanya.
Selain itu, Supratman menyinggung munculnya intimidasi kepada calon-calon RT/RW, termasuk ancaman bahwa seseorang tidak akan diloloskan jika terlihat berfoto dengan pihak tertentu. Ia menyebut persoalan kecil seperti legalisir ijazah pun bisa berujung masalah di kelurahan.
Dari sisi teknis, ia menilai juknis pemilihan RT/RW masih kacau. Persyaratan berbeda-beda antar kelurahan, terutama terkait domisili dan aturan pakaian. Banyak calon memaksimalkan pengambilan KK, namun ketika warga membawa KK ke TPS, nama mereka justru tidak terdaftar dalam DPT.
“Lalu siapa yang buat DPT? Bahkan ada nama orang meninggal masuk daftar,” tegasnya.
Supratman menyarankan pemilihan ditunda demi menghindari potensi kerusuhan. Menurutnya, panitia belum jelas, kotak suara belum dirancang, kertas suara belum tercetak, sementara anggaran mencapai sekitar Rp5 miliar jika digabung kecamatan dan BPD.
“Kalau tidak siap, jangan dipaksakan. Ini bisa membuat masyarakat terkotak-kotak. Jangan sampai calon justru berhadapan dengan lurahnya sendiri,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa DPRD dapat mengeluarkan rekomendasi untuk tidak menggunakan anggaran jika persiapan masih berantakan. Supratman mengingatkan agar kelurahan tidak mempermainkan kualifikasi berkas calon.
“Tidak apa-apa kalau ada yang protes, tapi jangan sampai keputusan lurah yang menentukan. Ini harus dibenahi,” tutupnya.


















































