Politisi PDI-P Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto (Dok: Sinta Kabar Makassar).KabarMakassar.com — Langkah mantan Wali Kota Makassar dua periode, Mohammad Ramdhan ‘Danny’ Pomanto, mengikuti penjaringan dan uji kelayakan (fit and proper test) calon Ketua DPD PDI Perjuangan Sulawesi Selatan menjadi perhatian politik lokal.
Bagi pengamat politik, langkah tersebut bukan sekadar manuver pribadi, melainkan bagian dari reposisi strategis yang berpotensi mengubah peta kekuasaan di internal partai berlambang banteng moncong putih itu.
Direktur Profetik Institute, Muhammad Asratillah, menilai keikutsertaan Danny Pomanto merupakan tanda bahwa mantan wali kota dua periode tersebut tengah menata ruang legitimasi baru dalam lanskap politik struktural partai.
“Langkah ini bukan sebatas mencari panggung atau mempertahankan eksistensi politik. Danny ingin menegaskan bahwa dirinya bukan hanya figur eksekutif, tetapi juga aktor politik yang berakar di sistem kepartaian,” ujarnya, Kamis (09/10).
Menurut Asratillah, keputusan PDIP membuka fit and proper test untuk posisi Ketua DPD menunjukkan adanya mekanisme penyegaran dan konsolidasi pasca-Pemilu 2024.
Partai sedang menakar figur yang tidak hanya loyal secara ideologis, tetapi juga memiliki daya jangkau elektoral dan jaringan sosial yang kuat.
Dalam konteks ini, Danny Pomanto membawa modal besar berupa rekam jejak elektabilitas dan basis dukungan nyata di Makassar, kota terbesar dan paling strategis di Sulawesi Selatan.
“DPP PDIP tentu akan menimbang dua hal utama, kesetiaan struktural dan kapasitas aktual. Danny unggul di aspek elektoral, tapi ia perlu meyakinkan pusat bahwa dirinya bisa memperkuat soliditas partai, bukan sekadar memperluas personal branding,” kata Asratillah menegaskan.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa peluang Danny tidak bisa semata diukur dari popularitas publik. PDIP memiliki kultur organisasi yang sangat sentralistik di bawah kendali DPP dan Ketua Umum. Karena itu, hubungan vertikal menjadi kunci.
“Di PDIP, dukungan DPC dan PAC memang penting, tapi keputusan final tetap di tangan pusat. Di titik ini, komunikasi politik Danny ke DPP menjadi penentu apakah ia akan diterima sebagai kepanjangan tangan ideologis partai di daerah,” jelasnya.
Selain faktor struktural, rivalitas internal PDIP Sulsel juga menjadi variabel penting. Figur lama seperti Ridwan Andi Wittiri dan Rudi Pieter Goni masih memiliki pengaruh kuat dan koneksi langsung ke DPP.
Persaingan kali ini, kata Asratillah, bukan sekadar pertarungan figur, tapi juga uji keseimbangan antara kader lama dan wajah baru.
“PDIP tentu tidak ingin memunculkan gesekan internal. Karena itu, posisi Danny akan sangat bergantung pada kemampuannya membangun komunikasi dengan kader senior agar diterima sebagai bagian dari kontinuitas, bukan ancaman,” urainya.
Dari sisi kalkulasi jangka panjang, Asratillah menilai langkah Danny merupakan bagian dari reposisi politik pasca-masa jabatan. Setelah tidak lagi menjabat wali kota, Danny perlu menjaga relevansi politiknya di tingkat provinsi.
Bergabung dalam kontestasi kepemimpinan PDIP Sulsel adalah strategi untuk memastikan dirinya tetap menjadi pemain penting dalam konstelasi politik Sulawesi Selatan, terutama menjelang Pilgub 2029.
“Jika ia berhasil merebut posisi Ketua DPD PDIP Sulsel, maka posisinya akan jauh lebih terlembaga. Itu akan memperkuat aksesnya terhadap jalur elektoral dan membuka ruang bagi langkah-langkah politik berikutnya. Dengan modal ideologis PDIP dan kekuatan massa Makassar, Danny bisa menjadi poros baru dalam peta politik Sulsel,” terang Asratillah.
Ia menambahkan, dinamika ini bukan hanya tentang siapa yang menjadi ketua DPD, tetapi tentang bagaimana PDIP mengatur regenerasi kepemimpinan lokal untuk memperkuat struktur partai pasca pemilu.
“PDIP tengah menakar ulang keseimbangan antara loyalitas ideologis dan kapasitas elektoral. Dalam konteks itu, Danny Pomanto hadir sebagai variabel baru yang menantang status quo,” pungkasnya.


















































